LIPUTAN KHUSUS:
Jokowi Minta Sidang JR UU Minerba Diundur, Pemohon Kecewa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Presiden melalui kuasa hukum mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim MK untuk menunda sidang JR UU Minerba. Sidang akan kembali digelar pada 8 November 2021.
Hukum
Jumat, 08 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Menunggu sekitar satu bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sidang uji materiil atau judicial review (JR) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sidang tersebut mestinya digelar pada Kamis (7/10/2021) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tapi sayang, sidang tersebut akhirnya ditunda oleh Majelis Hakim MK. Salah satu sebabnya adalah karena Presiden Jokowi melalui kuasa hukum pemerintah mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim MK untuk menunda persidangan. Sedangkan sebab lainnya, tidak ada perwakilan DPR RI yang hadir di persidangan.
Ketua Hakim, Anwar Usman yang memimpin sidang JR UU Minerba mengatakan, berdasarkan absensi, pihak Pemerintah mewakili Presiden Jokowi dan pihak Pemohon hadir. Sementera DPR berhalangan hadir dan ada surat pemberitahuannya. Kemudian, lanjut Anwar, ada surat dari Kuasa Hukum Presiden yang meminta agar sidang ditunda. Atas alasan-alasan tersebut maka sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden itupun akhirnya tidak bisa diteruskan
"Tidak bisa dilanjutkan karena DPR tidak hadir dan pemerintah atau kuasa Presiden meminta penundaan sidang. Untuk itu sidang ditunda, hari Senin, 8 November 2021, jam 11.00 WIB. Dengan agenda yang sama, yaitu mendegar keterangan DPR dan Presiden," kata Anwar Usman, dalam sidang JR UU Minerba yang disiarkan secara langsung melalui Kanal You Tube Mahkamah Konstitusi, Kamis (7/10/2021).
Penundaan sidang itu tentu saja mendapat respon dari pihak Pemohon JR UU Minerba. Penasehat hukum dari Tim Advokasi UU Minerba #BersihkanIndonesia Lasma Nadia mengatakan, penundaan ini merupakan bukti Presiden Jokowi dan DPR tidak menganggap serius kesalahan fatal yang ada pada UU Minerba. Presiden seharusnya merespon dengan cepat dan serius upaya hukum yang dilakukan warga. Sebab undang-undang tersebut nyata-nyata telah menghilangkan hak perlindungan hukum bagi warga dan lingkungan dari dampak kerusakan industri pertambangan.
"Di saat presiden meminta penundaan, di saat itulah regulasi tersebut terus dimanfaatkan oleh elit pebisnis tambang untuk mengabaikan dampak lingkungan juga hak warga. Sementara secara substansi, banyak pasal dalam UU Minerba ini yang bertentangan dengan aturan hukum. Kami juga menyesalkan DPR yang memilih tidak hadir dan meletakkan proses hukum ini bukan prioritas mereka," kata Lasma, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/10/2021).
UU Minerba digugat dua warga dari Banyuwangi Jawa Timur dan Sungai Liat Bangka Belitung tepat ketika Presiden Jokowi berulangtahun yang ke-60. Selain warga, JR ini juga diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) yang selama ini mendampingi dan membela masyarakat dari dampak industri ekstraktif pertambangan baik hulu maupun di hilir.
Ada sembilan pasal dalam UU Minerba 2020 yang diajukan untuk diuji kepada Hakim MK, harapannya regulasi ini dicabut. Menuru Lasma, regulasi ini sangat berbahaya bagi keselamatan rakyat yang selama ini telah menjadi korban praktik melanggar hukum dari pebisnis tambang. Namun di bawah kepemimpinannya, bukan memperkuat pengamanan bagi keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan, Jokowi malah memberi karpet merah berupa insentif perpanjangan otomatis bagi pemilik konsesi.
Lasma melanjutkan, UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 adalah satu dari sedikitnya tiga regulasi pro-oligarki yang disahkan secara kontroversial di era Jokowi. Regulasi lain adalah UU Cipta Kerja dan UU KPK yang substansinya saling memperkuat keuntungan bagi bisnis tambang dan elit politik di negara ini.
"UU Minerba adalah bagian dari rentetan aturan bentukan oligarki yang berpotensi mencelakakan kehidupan rakyat. Regulasi ini disahkan ketika rakyat menghadapi krisis pandemi virus. Tak hanya ditolak oleh warga dan tokoh agama, tapi juga dikritik oleh akademisi. Kami berharap hakim berada pada posisi memastikan hukum memberi perlindungan pada rakyat bukan pada sekelompok oligarki 1 persen," ujar Lasma.