LIPUTAN KHUSUS:
Greenpeace: Banyak Dampak Buruk Lepas Setahun Omnibus Law
Penulis : Kennial Laia
Satu tahun berjalan, Omnibus Law dinilai berdampak buruk dalam berbagai aspek seperti lingkungan, masyarakat adat, dan kebebasan berpendapat.
Lingkungan
Rabu, 06 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Satu tahun berjalan, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dinilai berdampak buruk dalam berbagi aspek. Eksploitasi sumber daya alam, keselamatan lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan masyarakat adat, dan pelemahan pemberantasan korupsi adalah contohnya, menurut Greenpeace Indonesia.
Hal tersebut disampaikan dalam aksi di halaman gedung DPR, Selasa, 4 Oktober 2021. Para aktivis membawa properti berbentuk gurita raksasa, yang disebut sebagai ‘monster oligarki’. Monster tersebut terlihat mencengkeram sejumlah sektor kehidupan rakyat seperti energi, pertanian, kebebasan berpendapat, kehidupan masyarakat adat, serta pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas, aturan tersebut semakin memperburuk konflik lahan, kriminalisasi masyarakat adat, dan merugikan masyarakat terdampak dari aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. , dan pelemahan pemberantasan korupsi.
“Satu tahun pasca UU Cipta Kerja disahkan, beberapa konflik lahan yang melibatkan masyarakat melawan perusahaan telah muncul ke permukaan,” ucap J, Selasa, 4 Oktober 2021.
Menurut Arie, undang-undang tersebut banyak digunakan perusahaan untuk merampas lahan milik masyarakat. Salah satu contohnya adalah operasi perusahaan tambang emas yang mengancam ekologi pulau dan ekonomi masyarakat petani dan nelayan di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
“Konflik-konflik ini memicu kemarahan publik, karena alih-alih mendatangkan investasi yang menguntungkan masyarakat setempat, justru penghidupan masyarakat setempat dan kelestarian lingkungan yang menjadi taruhannya,” tegas Arie.
Greenpeace Indonesia memandang kerusakan lingkungan hidup, hilangnya hak rakyat (khususnya masyarakat adat, perempuan, dan kelompok rentan), serta ancaman terhadap proses demokrasi adalah dampak dari menguatnya kekuatan ekonomi-politik oligarki di Indonesia.
Pasalnya, saat ini elite politik kini banyak diampu oleh pejabat sekaligus pengusaha ataupun empunya kepentingan bisnis, sehingga memengaruhi kebijakan yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam.
Salah satu ancaman utama bagi lingkungan hidup dalam Omnibus Law terletak pada perubahan proses perizinan untuk investasi yang berbasis lahan yang terkait dengan bisnis ekstraktif di sektor sumber daya alam, dan sebagai karpet merah untuk proyek strategis nasional, kata Greenpeace Indonesia.
Aspek lingkungan, menurut Arie, juga turut melemah. Dalam izin berusaha, izin lingkungan diganti menjadi “persetujuan lingkungan”, istilah yang lebih umum. Selain itu, persyaratan untuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) menjadi longgar, terutama dengan menghilangkan hak eksplisit pemangku kepentingan untuk mengajukan keberatan.
Komisi evaluasi AMDAL daerah, yang dalam UU Lingkungan Hidup harus mengikutsertakan perwakilan masyarakat lokal, pemerhati lingkungan, dan ahli lingkungan, dihapuskan, dan kewenanganannya diambil alih oleh pemerintah pusat.
Arie mengatakan, masih banyak pasal yang didesain dengan sengaja untuk melemahkan upaya penegakan hukum dan justru memberikan amnesti bagi perusahaan yang tidak mematuhi prosedur hukum. Akar dari kerusakan lingkungan di Indonesia juga berkelindan dengan praktek korupsi karena hubungan yang kuat antara elit politik dengan pengusaha untuk mengeruk keuntungan yang mengabaikan standar perlindungan lingkungan. Pelemahan KPK juga merupakan skenario untuk terhindar dari jeratan korupsi di sektor sumberdaya alam.
“Undang-undang ini digadang-gadang sebagai regulasi yang akan mendatangkan investasi sehingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Namun, jika melihat faktanya di lapangan justru UU ini hanya akan merugikan masyarakat, berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan, serta memperburuk dampak krisis iklim,” pungkas Arie.