LIPUTAN KHUSUS:

Studi: 76% Rencana Pembangunan PLTU Batu Bara Dunia Batal


Penulis : Kennial Laia

Kebijakan coal phasing out Indonesia dinilai berperan penting dalam transformasi energi secara global.

Perubahan Iklim

Rabu, 15 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru mengungkap sebanyak 76% rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di seluruh dunia batal pasca-penandatanganan Kesepakatan Paris  atau Paris Agreement

Sejak 2015, 44 pemerintah (27 negara OECD & UE, 17 di tempat lain) telah berkomitmen untuk tidak membangun PLTU batu bara baru. Laporan juga menemukan bahwa lebih dari 40 negara (delapan di negara OECD & UE, 32 di negara lainnya) tidak lagi memiliki rencana pembangunan proyek PLTU batu bara. Laporan itu diterbitkan oleh sebuah lembaga think tank yang berbasis di Eropa, Third Generation Environmentalism (E3G) pada 14 September 2021.

Namun demikian, setidaknya terdapat enam negara yang masih memiliki rencana pembangunan PLTU batu bara. Cina, India, Vietnam, Indonesia, Turki, dan Bangladesh disebut sedang dalam tahap prakonstruksi sebesar 82% dari PLTU batu bara yang tersisa di dunia.

Menurut E3G, langkah nyata enam negara tersebut membatalkan rencana pembangunan dapat menghilangkan 82% PLTU dunia dari tahap prakonstruksi, yang tersebar di 31 negara dan 16 diantaranya hanya memiliki satu proyek.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

“Negara-negara ini dapat mengikuti momentum global dan banyak dari rekan-rekan regional mereka dalam mengakhiri pengejaran mereka terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara baru.” tulis laporan tersebut.

Apabila Cina mengikuti langkah Jepang dan Korea Selatan dalam mengakhiri pembiayaan batu bara luar negeri, itu akan memfasilitasi pembatalan lebih dari 40 GW proyek di 20 negara.

Associate Director E3G dan penulis laporan Chris Littlecott mengatakan, ekonomi batu bara menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan, sementara risiko aset terlantar telah meningkat.

“Pemerintah sekarang dapat bertindak dengan percaya diri untuk berkomitmen pada 'tidak ada batu bara baru',” katanya.

Sementara itu Manajer Riset E3G Leo Roberts mengatakan, transformasi struktural di sektor ketenagalistrikan global semakin cepat. Negara-negara semakin menjauh dari pembangkit listrik tenaga batu bara karena mereka menyadari bahwa batu bara adalah bahan bakar masa lalu.  

“Ke-40 negara yang berada dalam posisi untuk berkomitmen pada ‘tidak ada batu bara baru’ sekarang dapat bergabung dengan mereka yang telah melakukannya sejak Paris. Negara-negara yang masih mempertimbangkan pembangkit listrik baru harus segera menyadari keniscayaan pergeseran global dari batu bara, dan menghindari kesalahan mahal dalam membangun proyek baru,” ujar Leo.

Laporan ini diluncurkan bertepatan dengan UN High-Level Dialogue on Energy yang direncanakan akan berlangsung pada 24 September 2021 mendatang. Dialog international tersebut akan dihadiri sejumlah kepala negara yang akan menyatakan komitmennya dalam bentuk “Energy Compacts” yang bertujuan untuk mencapai energi bersih dan terjangkau untuk semua pada 2030 (UN SGD7) dan emisi nol karbon pada 2050.  

Batubara adalah kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim. Menurut laporan PBB baru-baru ini, penggunaan batu bara harus turun 79% pada tahun 2030 pada tingkat 2019 untuk memenuhi janji negara-negara yang ditandatangani dalam Perjanjian Paris.