LIPUTAN KHUSUS:
Jalan Sunyi Perjuangan Dayak Modang Long Wai Desa Long Bentuq
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq: kita tidak bisa membuat tanah, kita tidak bisa menanam tanah supaya menjadi tanah. Kita tidak bisa melahirkan tanah.
Agraria
Kamis, 09 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - "Team entoa noaq, team entoa peloaq nyeuin tenoaq. Han newauq, team entoa peloag ngenoaiq tenoaq," ujar Ketua Adat Long Bentuq, Daud Lewing dalam Bahasa Dayak Modang Long Wai.
Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya, kita tidak bisa membuat tanah, kita tidak bisa menanam tanah supaya menjadi tanah. Kita tidak bisa melahirkan tanah.
Apa yang disampaikan Daud Lewing itu adalah alasan utama yang mendasari perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Modang Long Wai di Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim), dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dianggap telah dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit.
"Ya kalau menurut kami sebagai orang Dayak Modang Long Wai ini, kita tidak bisa membuat tanah. Kita tidak bisa menanam tanah supaya dipupuk menjadi tanah. Kalau seperti sawit kan tanam sawit tumbuh sawit. Tanam tanah tidak bisa jadi tanah, tidak ada yang tanam tanah menjadi tanah. Kalau tanah itu bisa ditanam atau bisa dilahirkan oleh manusia, mungkin kita enggak repot. Hantam saja perusahaan di situ," terang Daud Lewing dalam sebuah video berjudul Suara dari Long Bentuq yang dibuat bersama Koalisi Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai.
Tokoh Perempuan Adat Desa Long Bentuq, Magdalena Meah Dea We menyebut, Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq mayoritas hidup dari bertani. Karena itulah pihaknya merasa betul-betul sayang terhadap tanah ini. Tanah ini, lanjut Magdalena, sudah dianggap sebagai seorang ibu yang menyusui anaknya. Sehingga sesusah apapun kehidupan mereka di Long Bentuq, namun mereka masih bisa mencari makan.
"Tapi kami tetap berjuang mencari hidup kami ini dengan bertani. Sesusah apapun kami masih mendapat sesuap nasi dari tanah leluhur kami. Karena itulah kami tidak mau kehilangan tanah leluhur kami, kami berjuang untuk mempertahankan sekalipun kami harus mati di atas tanah ini," kata Magdalena.
Pada konferensi pers yang digelar 1 September lalu, Pastor Paroki Santo Paulus Long Bentuq, Herry Kiswoyo Sitohang, SVD mengungkapkan, konflik antara MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq dengan perusahaan sawit ini telah menyebabkan dan memicu terjadinya konflik horizontal antara Desa Long Bentuq dengan desa tetangga lainnya. Terbaru masyarakat Desa Rantau Sentosa mengklaim wilayah adat Modang Long Wai Long Bentuq dan membabati wilayah itu untuk perkebunan sawit.
"Ada kemungkinan konflik horizontal. Karena Desa Rantau Sentosa membabat hutan yang dipertahankan oleh Dayak Modang. Sebagai orang tua di kampung kami sudah berusaha menahan masyarakat untuk tidak melakukan aksi menyebabkan konflik horizontal," kata Pastor Herry, Rabu (1/9/2021) lalu.
Pastor Herry barharap upaya adu domba dan konflik horizontal dengan masyarakat desa tetangga itu sebisa mungkin harus dihindari. Pastor Herru juga berpendapat konflik yang terjadi di Long Bentuq ini menurutnya hanyalah soal keseriusan pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan.
Bila ditarik ke belakang, konflik agraria MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq dengan perusahaan perkebunan sawit ini umurnya sudah cukup panjang, 13 tahun. Permasalahan ini mulanya dipicu oleh adanya penerbitan Izin Lokasi untuk PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) dan PT Hamparan Perkasa Mandiri di Kecamatan Busang, Kabupaten Kutim.
Izin Lokasi itu terbit dengan SK masing-masing Nomor 22/02.188.45/HK/I/2006 tentang Izin Lokasi Perkebunan a.n PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) seluas sekitar 14.350 hektare di Kecamatan Busang dan SK Nomor 27/02.188.45/HK/I/2006 tentang Izin Lokasi Perkebunan a.n PT Hamparan Perkasa Mandiri (HPM) seluas sekitar 12.180 hektare di Kecamatan Busang. Penerbitan dua SK Izin Lokasi itu telah mengakibatkan sekitar 4 ribu hektare areal wilayah adat Modang Long Wai Desa Long bentuq masuk dalam areal perusahaan sawit PT SAWA.
Pada 2008, atau dua tahun berselang setelah mendapat Izin Lokasi, PT SAWA tanpa izin dan persetujuan masyarakat adat melakukan pembukaan dan pembersihan lahan disertai penanaman sawit, di atas lahan yang dianggap merupakan wilayah MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq, sesuai batas adat yang sudah disepakati desa-desa setempat pada 1993. Dari sini konflik tersebut mulai memanas.
Kala itu, masyarakat adat telah meminta kepada pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya. Terlebih karena sejak awal MHA Modang Long Wai memang sudah menyatakan menolak masuknya investasi perkebunan sawit di wilayahnya.
Bahkan sebelum wilayah adat mulai dibabat, masyarakat Long Bentuq pernah melakukan Resolusi Bersama Menolak Kebun Sawit. Isi resolusi tersebut yakni, pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, baik model perusahaan (Inti) maupun model perkebunan rakyat (sawit plasma) tidak memberikan jaminan ruang kehidupan bagi masyarakat terhadap hak-hak tanah adat, hutan adat dan sumber daya alam lainnya, yang akan terancam musnah serta mengancam kelestarian lingkungan hidup di sepanjang DAS Atan.
Terhitung sejak 2008 tersebut, hutan wilayah adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq berangsur-angsur lenyap ditebang untuk perkebunan sawit PT SAWA. Sejak 2008 itu pula berbagai bentuk protes penolakan penggusuran lahan wilayah adat dilakukan oleh MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq. Namun semua ekspresi tersebut tidak mampu menghentikan penggusuran yang terjadi.
Pencaplokan dan penggusuran wilayah Long Bentuq ini juga diperparah oleh terbitnya SK Bupati Kutai Timur Nomor 130/K.905/2015 tentang Penetapan Batas Administrasi antar Desa Long Bentuq, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong. Lantaran terbitnya SK Tata Batas ini telah mengakibatkan sebagian wilayah adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq masuk dalam wilayah administrasi desa lain.
Tata batas antardesa berdasarkan SK Bupati Kutim ini tentu saja tidak dapat diterima oleh MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq. Karena penerbitan SK itu tidak melibatkan MHA Modang Long Wai Long Bentuq. Selain itu, batas antardesa yang ditetapkan oleh Bupati Kutim lewat SK itu juga tidak sesuai dengan hasil kesepakatan batas desa yang sudah disepakati pada 1993 silam.
Atas permasalahan yang terjadi tersebut, MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq mencari perhatian ke berbagai pihak terkait di pemerintah. Pada 2015 misalnya, mereka pernah mengirim laporan tertulis mengenai pengusuran hutan adat dan illegal logging PT SAWA kepada pihak kepolisian, dengan ditembuskan kepada Bupati Kutim, dinas terkait seperti Dinas Kehutanan maupun Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Ombudsman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Komisi Pemberantasan Korupsi, Gubernur Kaltim, Ketua DPRD Kaltim dan Bapedas Mahakam Berau. Namun tidak ada respon dan hasil yang didapat.
Di tahun yang sama, perwakilan tokoh adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq bahkan terbang ke Jakarta untuk menyampaikan secara langsung permasalahan penggusuran hutan di wilayah adatnya dan aktivitas illegal logging oleh PT SAWA ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Pada 2016 KLHK mengirimkan timnya ke Long Bentuq untuk berdiskusi dengan hasil KLHK menyarankan agar Long Bentuq menjalin kemitraan dengan perusahaan, namun saran tersebut ditolak oleh masyarakat dan tetap kembali pada keputusan awal bahwa PT SAWA tidak boleh beroperasi di wilayah Long Bentuq.
Selain mengadu ke berbagai pihak di pemerintahan, daerah maupun pusat. MHA Modang Long Wai ini juga beberapa kali mengekspresikan perjuangan dan penolakannya terhadap pembangunan perkebunan sawit di desanya lewat beberapa aksi lapangan. Pada 2015 misalnya, sekitar 286 warga Long Bentuq melakukan aksi damai di kantor PT SAWA menuntut hak atas tanah yang digusur.
Terbaru, aksi damai melibatkan ratusan warga berupa penutupan jalan desa bagi akses mobilisasi pengangkutan CPO dan buah sawit milik PT SAWA yang digelar 30 Januari hingga 10 Februari 2021 lalu. Aksi damai pembatasan akses jalan bagi kendaraan PT SAWA ini berbuntut penangkapan secara paksa dua tokoh adat Long Bentuq, yakni Daud Luwing dan Benediktus Beng Lui, serta Elisason dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kaltim.
Tokoh Adat Desa Long Bentuq lainnya, Benediktus Beng Lui menguraikan, penutupan akses jalan bagi PT SAWA ini adalah pilihan terakhir yang bisa dilakukan warga, setelah berbagai cara yang telah dilakukan untuk mencari solusi permasalahan perampasan wilayah adat Modang ini, baik melalui mediasi dengan pihak perusahaan maupun mencari solusi ke pemerintah daerah, hanya berakhir pada kebuntuan.
Beng Lui mengatakan, jalan yang ditutup kala itu adalah jalan desa yang merupakan umum. Namun penutupan jalan tidak dilakukan sepenuhnya. Hanya akses ditutup hanya bagi kendaraan perusahaan saja, sedangkan kendaraan lainnya tetap mendapatkan akses untuk lewat.
"Nah sehingga pada waktu itu kami mendapat panggilan dari pihak kepolisian. Kami melihat unsur yang dituduhkan kepada kami itu tidak benar. Tidak memenuhi syarat, yang dianggap merusak jalan. Justru sebaliknya pihak perusahaanlah yang merusak jalan masyarakat. Jalan hancur dipaksa untuk pengangkutan buah sawit, pengangkutan kernel dan pengangkutan CPO," ujar Beng Lui.
Lebih lanjut Beng Lui menjelaskan, sejak perusahaan perkebunan sawit beraktivitas di wilayah adat, sekira 2008 silam, warga Long Bentuq sudah kesulitan untuk masuk ke hutan di wilayah adat untuk berburu, mencari tumbuhan obat maupun mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga. Tiap kali warga ketahuan masuk hutan, warga selalu diusir oleh perusahaan. Dengan alasan hutan dimaksud masuk dalam areal perkebunan sawit perusahaan.
Sepekan terakhir, yakni 1 dan 6 September 20201 kemarin, MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq mendapat kesempatan untuk mengutarakan segala permasalahan dan kekawatirannya seputar penggusuran wilayah adatnya itu kepada pada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Segala permasalahan dan kegelisahan MHA di Desa Long Bentuq ini tercurah.
Secara umum, ada empat tuntutan MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq bagi pemerintah dan perusahaan. Yang pertama, menuntut PT SAWA dan PT HPM, keduanya merupakan anak usaha Grup Triputra Agro Persada, untuk keluar dari wilayah MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq.
Kedua menuntut pemulihan fungsi lingkungan di wilayah MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq seperti sedia kala, sebelum digusur untuk perkebunan sawit. Ketiga, menuntut PT SAWA membayar denda adat atas kerusakan material dan immaterial MHA Modang Lon Wai Desa Long Bentuq.
Terakhir menuntut Pemerintah Kabupaten Kutim untuk membatalkan SK Bupati Kutai Timur Nomor: 130/K.905/2015 tentang Penetapan Batas Administrasi antara Desa Long Bentuq, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong, karena tidak melibatkan MHA Modang Long Wai Long Bentuq.