LIPUTAN KHUSUS:
Pemerintah Sulit Setop Gunakan Energi Fosil Karena Kontrak
Penulis : Kennial Laia
Kontrak puluhan tahun PLTU batu bara jadi penghalang Indonesia untuk berhenti dari penggunaan batu bara dan turunkan emisi sektor energi.
Energi
Jumat, 27 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia menyatakan tidak dapat melakukan phasing out sepenuhnya dari energi fosil dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam waktu dekat karena terikat kontrak puluhan tahun.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, saat ini Indonesia sulit untuk menentukan puncak emisi pada 2040-2050 dan net zero emission pada 2050. Pasalnya, hal itu memerlukan PLTU batu bara eksisting berhenti beroperasi.
“Kalo zero fossil, PLTU (batu bara) harus pensiun pada 2050. Bagaimana dengan implikasi kontrak secara hukum? Kita harus realistis. Ini kontrak yang tidak bisa kita intervensi,” kata Satya dalam diskusi publik, Selasa, 24 Agustus 2021.
Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, saat ini ada beberapa PLTU batu bara masih dalam pembangunan dan akan beroperasi pada 2025 hingga 2055.
“Ini yang perlu kita perhatikan dalam sektor pembangkit atau ketenagalistrikan,” kata Chrisnawan.
“Kalau energi terbarukan masuk ke dalam sistem jaringan dan PLTU pensiun, konsekuensi keuangannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang kita inginkan,” tambah Satya.
Menurut Satya, saat ini strategi pemerintah untuk menurunkan emisi di sektor energi adalah mempercepat penggunaan energi terbarukan, hidrogen, dan kendaraan listrik, serta mengganti sistem dengan smart grid. Satya mengatakan, pihaknya juga mendukung co-firing untuk mengurangi emisi karbon.
“PLTU fosil eksisting tetap kita pelihara dan kurangi, seiring dengan peralihan ke energi terbarukan. Maka infrastruktur energi terbarukan pun harus diberesin dulu. Ini jadi masa depan kita,” kata Satya.
Analisis Auriga Nusantara pada 2019 mengungkap, nilai pinjaman perbankan yang telah untuk proyek rencana pembangunan PLTU di Indonesia mencapai US$47 miliar atau senilai sekitar Rp658 triliun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, pendanaan yang mengalir ke Indonesia merupakan yang paling besar, 69 persen mengalir ke Indonesia.
Koordinator peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) Pamela Simamora mengatakan, pemerintah harus memiliki keinginan politik untuk mewujudkan emisi nol pada 2050. Menurutnya, berbagai studi kredibel telah mengungkap bahwa batu bara dan energi fosil lainnya akan semakin mahal seiring beralihnya dunia ke energi terbarukan.
“Sesuai rekomendasi ilmuwan, memang sudah harus sesegera mungkin menurunkan emisi termasuk di sektor energi,” jelasnya.
Pamela juga mengkritisi rencana iklim Indonesia dalam dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang didominasi oleh teknologi carbon capture and storage (CCS) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“LTS KLHK itu tidak transparan. Sebab, bagaimana mungkin CCS bisa mendominasi pada 2050. Padahal batu bara plus CCS akan jauh lebih mahal pada 2050. Ini patut dipertanyakan,” ujarnya.
Pamela mengatakan, model menuju emisi nol yang baik memprioritaskan biaya rendah, seperti penggunaan pembangkit tenaga solar bersama dengan panas bumi atau tenaga air. “Jika ongkos energi rendah, akan mempengaruhi daya saing Indonesia,” katanya.
Pamela mengatakan, potensi investasi di sektor energi terbarukan juga sangat besar. Menurutnya, pemerintah harus menghapus pembatas untuk menarik minat investor.
“Tapi menurut saya, yang paling penting adalah political will,” katanya.
“Pemerintah seharusnya menjadikan penurunan emisi ini sebagai kebutuhan, bukan beban. Karena perubahan iklim sudah semakin nyata dampaknya,” pungkas Pamela.