LIPUTAN KHUSUS:

Ramai-Ramai Kritik Pidato Kenegaraan Presiden


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kritik-kritik itu muncul dilatari oleh isi pidato Presiden Jokowi yang dianggap tidak berisikan hal-hal yang penting, namun justru berisikan banyak kontradiksi.

Lingkungan

Rabu, 18 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pidato kenegaraan Presiden Jowo Widodo (Jokowi) pada Sidang Tahunan MPR RI di Kompleks Parlemen, Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (16/8/2021) kemarin menuai banyak kritik, termasuk dari kalangan pegiat pemerhati lingkungan, hak asasi manusia (HAM), advokasi hukum dan lain-lain. Kritik-kritik itu muncul dilatari oleh isi pidato Presiden Jokowi yang dianggap tidak berisikan hal-hal yang penting dan tidak realistis, namun justru berisikan banyak kontradiksi.

Contohnya, Presiden Jokowi tidak bicara soal HAM dalam pidatonya, di saat kekerasan, termasuk kepada para jurnalis, tengah berlangsung di Papua. Pemerintah Jokowi juga tidak menyebut soal pemberantasan korupsi, padahal kemunduran pemberantasan korupsi di rezim ini, yang membuat bangsa ini mundur ke orde sebelumnya.

Dalam pidatonya, Jokowi juga tidak bicara soal krisis iklim, satu isu yang kini hampir semua pemimpin global tengah bekerja untuk menekan pemanasan global dan mencegah bencana klimatologis.

Irma Hidayana Inisiator Platform Lapor Covid-19 mengatakan, dalam Pidato Kenegaraannya, Presiden banyak menyebutkan kata pandemi, tapi Irma menyayangkan dalam pidatonya itu Presiden tidak menyatakan besarnya angka kasus Covid-19 di Indonesia. Padahal lebih dari 100 ribu penduduk yang meninggal akibat gagalnya pengendalian pandemi. Bahkan saat ini selain mencatatkan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara, rasio vatalitas Indonesia juga tertinggi di dunia.

Presiden Joko Widodo dalam acara pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI di Kompleks Parlemen, Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (16/8)./Foto: Putra/Kemenpora

Irma juga menilai, di lihat dari isi pidatonya, Presiden Jokowi juga tidak memiliki empati terhadap para keluarga korban Covid-19 yang ditinggalkan. Penilaian itu didasarkan dari tidak adanya ucapan permintaan meminta maaf dari Presiden Jokowi atas jatuhnya korban pandemi, termasuk ribuan tenaga kesehatan yang kehilangan nyawa.

Selanjutnya Irma menyoroti soal sulitnya pasien Covid-19 mendapatkan perawatan medis di rumah sakit, maupun pembiayaan perawatan yang masih belum sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Soal vaksinasi juga mendapat catatan dari Irma. Menurut Irma, telah terjadi pelanggaran vaksinasi. Yang mana pada tahap awal vaksininasi, kelompok rentan justru tidak didahulukan.

"Tapi apa yang selama ini ditunjukkan pemerintah sendiri. Anggota DPR pejabat, elit politik, selebriti justru mewarnai pemberian vaksinasi di awal-awal dan ini melanggar ketentuan dan melanggar Peraturan Menteri Kesehatan tentang siapa saja sih urutan orang yang divaksi. Bahwa mereka yang rentan harus divaksi duluan," kata Irma dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (17/8/2021).

Di kesempatan yang sama, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan, ada kontradiksi yang muncul dalam pidato Presiden Jokowi. Presiden Jokowi, lanjut Tata, mengatakan bahwa ekosistem investasi dan kolaborasi di dunia usaha dimaksudkan untuk memperkuat perkembangan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi, khususnya ke arah Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy) yang berkelanjutan.

Dari topik tersebut, ada beberapa hal normatif yang disampaikan Presiden Jokowi yang tidak dijalankan pemerintah. Yang pertama pandemi harus pembelajaran dalam berbangsa dan bernegara, faktor non-ekonomi dapat melumpuhkan ekonomi bangsa dan negara. Dalam hal ini, krisis iklim tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan, tapi juga merugikan manusia, perekonomian dan Indonesia di masa mendatang.

"Jadi ini hal normatif pertama yang disampaikan Pak Jokowi, tapi tidak dijalankan oleh pemerintah sejauh ini, pandemi sebagai pembelajaran," kata Tata.

Kedua, Presiden Jokowi mengatakan bahwa kemerdekaan bukan hadiah namun hasil perjuangan. Sama halnya dengan kemerdekaan, saat Presiden menyampaikan mengenai ekonomi hijau, maka perlu ada tindakan nyata dan arah yang jelas ke arah transisi ekonomi hijau. Karena hal itu juga bukanlah hadiah.

Presiden Jokowi juga menilai pandemi memberikan pembelajaran dalam menginjak gas dan rem dalam mengelola Negara. Menurut Tata, bicara soal ekonomi hijau, bukan soal menginjak gas dan rem, tapi sebetulnya mau dibawa kemana.

"Nah ini yang saya lihat Presiden Jokowi memiliki banyak kontradiksi dan disorientasi. Kemana seharusnya kita membawa perekonomian kita mengacu pada konstitusi. Yang jelas dalam pembukaan UUD 45 misalnya memajukan kesejahteraan umum dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia."

Masih tentang ekonomi hijau, dapat didefinisikan bahwa ekonomi hijau adalah rendah karbon, efisien dalam penggunaan daya sehingga akan ramah lingkungan dan inklusif. Nyatanya, pemerintah masih saja menggantungkan perekonomian pada sektor ekstraktif dan eksploitasi yang merusak sumber daya dan lingkungan.

Selain itu, transisi energi Indonesia lambat, bahkan mandek. Karena dalam rentang waktu 2021 hingga 2025 pemerintah masih berencana membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, dengan total kapasitas 27 gigawatt. Hal ini menutup ruang untuk pengembangan energi bersih dan terbarukan. Karena batu bara penghasil emisi karbon dan beracun yang tinggi.

"Ketika bicara green economy, mau tidak mau kita bicara target net zero emission. Nah Pemerintah Indonesia salah satu Negara yang tidak jelas dalam komitmen ini."

Selanjutnya ekonomi hijau mensyaratkan ekonomi yang inklusif. Nyatanya saat ini pemerintah bergerak ke ekonomi yang eksklusif. Yang mana masyarakat tidak dilibatkan dan terjadi sentralisasi kewenangan yang menyebabkan pemerintah daerah berkurang keterlibatannya.

"Kontrakdisi yang keenam, adanya kelonggaran peraturan lingkungan. Itu juga terjadi dari 2020 sampai 2021."

Meskipun menyadari kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkannya salah, imbuh Tata, namun Presiden Jokowi tidak berani menyampaikan kekeliruan dan keinginan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia dalam pidatonya. Dari sekian banyak kontradiksi-kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraannya hanyalah lips service belaka.

Erick Tanjung dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga menyadari adanya kontradiksi dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis, pembungkaman media dan lain sebagainya. Erick mencontohkan, ketika jurnalis memberitakan tentang adanya 63 pasien Covid-19 yang meninggal akibat kelangkaan oksigen di Rumah Sakit Sarjito, pemerintah bahkan kepolisian menganggap berita itu sebagai berita palsu atau hoax.

Kemudian kasus kekerasan terhadap jurnalis juga masih marak terjadi. Catatan AJI, dalam satu tahun terakhir ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Itu meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 55 kasus.

"Yang terbaru menjelang hari kemerdekaan ini, kasus kekerasan masih marak terjadi. Yang terbaru adalah di Papua, kekerasan, teror dan intimidasi dialami oleh beberapa jurnalis di Papua."

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mencatat, Presiden Jokowi dalam pidatonya juga tidak menyampaikan komitmen serius dalam hal pemberantasan korupsi. Hal itu sejalan dengan rekam jejak Presiden, yang salah satunya gagal mencegah atau mengatasi pelemahan KPK. Padahal Presiden mampu dan dapat mencegah hal itu itu terjadi.

"Ke depan kita tidak layak berharap membayangkan hal-hal postif untuk pemberantasan korupsi akan terjadi dalam pemerintahan ini. Saya pribadi membayangkan ke depan pemberantasan korupsi akan semakin gelap dari yang sudah ada sebelumnya."

Menurut Egi, gelapnya masa depan pemberantasan korupsi ini terlihat dari oligarki yang telah mencengkram demokrasi yang sangat kuat. Yang bahkan sudah berhasil mendorong produk legislasi yang bermasalah disahkan. Seperti revisi Undang-Undang (UU) KPK, UU Minerba, UU MK, UU Cipta Kerja dan lainnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti bilang, isu HAM lagi-lagi tidak masuk dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi 16 Agustus 2021 kemarin. Hal yang sama yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Menurut Fatia, hal itu menandakan bahwa pemerintah Jokowi memang tidak pernah memprioritaskan isu HAM.

Dilihat dari rekam jejak Presiden Jokowi selama setahun terakhir, pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah coba dituntaskan. Ia Ketidakpedulian Presiden Jokowi pada isu HAM juga terlihat dari pemberian bintang jasa utama kepada Eurico Guterres, eks milisi Timor Timur pro-NKRI yang diputus sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dalam pengadilan tribunal di Timor Leste.

"Jadi sebetulnya kalau kita melihat dari rekam jejaknya tersebut, kita tahun HAM tidak pernah dijadikan prioritas apalagi pelanggaran HAM berat."

Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, pidato kenegaraan merupakan konvensi yang seharusnya berisi laporan atau akuntabilitas lembaga tinggi Negara. Namun dalam pandangan YLBHI Pidato Kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi kemarin justru menjadi kontra-narasi.

Kontra-narasi itu gejala-gejalanya terlihat dari kontradiksi-kontradiksi yang muncul. Seperti bagaimana Presiden Jokowi menganggap UU Cipta Kerja dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Padahal keberadaannya mendapat penolakan dari banyak kalangan.

"Sebetulnya Pak Presiden dan atau perancang pidato, karena saya tidak tahu apakah Pak Presiden menulis sendiri. Salah satunya dilakukan dengan metode double speak. Double speak itu bukan kebohongan tapi pada akhirnya missleading, menyesatkan. Dan double speak ini bukan hasil pikiran yang bodoh, dia justru hasil pikiran yang sangat jernih dan dirancang dengan sangat hati-hati dengan tujuan menyesatkan," kata Asfinawati.

Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar menilai, melalui pidato kenegaraannya Presiden Jokowi sebenarnya memberikan pengakuan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan situasi pandemi Covid-19, hal itu tersirat dari semantik redaksional isi pidato.

Ali Akbar juga menilai, apresiasi Presiden Jokowi terhadap kesadaran rakyat Indonesia yang sudah mulai tumbuh, yang dibuktikan dari kebiasaan mencuci tangan dan menggunakan masker, justru merendahkan rakyat. Seolah sebelum pandemi Covid-19, rakyat Indonesia tidak memiliki kesadaran tentang kebiasaan mencuci tangan dan menggunakan masker.

"Sekali lagi saya bilang, bikin pidato itu bukan pekerjaan yang gampang, tetapi jangan pula bikin pidato yang agak konyol. Itu hal yang agak menyakitkan," ujar Ali Akbar.

Ali Akbar menilai, Presiden Jokowi juga sama sekali tidak menyampaikan apresiasi kepada para pegiat dan pejuang lingkungan yang telah berjuang menyelamatkan lingkungan atau menurunkan polusi yang berkaitan erat dengan aspek kesehatan. Yang seolah pemerintah telah bekerja sendirian dan mati-matian serta merasa hebat.

Ketua Umum serikat buruh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengaku tidak kaget dengan isi pidato Presiden yang mana apa yang disampaikan Presiden bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya. Nining menyebut, dalam pidatonya Presiden bilang bahwa pemerintah memastikan agar masyarakat bisa memperoleh pekerjaan yang layak, hal itu seolah menggembirakan.

"Ini sangat bertolak belakang. Kenapa? UU Cipta Kerja yang dilahirkan itu justru melahirkan perbudakan modern. Orang kehilangan tentang kepastian kerja, orang kehilangan tentang bagaimana pendapatan yang layak, terus juga persoalan tentang bagaimana tempat tinggal yang layak," kata Nining.

Teresya Jari dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur juga mencatatkan adanya kontradiksi dalam pidato Presiden. Yang mana dalam pidatonya Presiden Jokowi mengatakan, yang utama adalah menyelamatkan rakyat. Menyelamatkan rakyat adalah hukum tertinggi dalam bernegara. Tere menilai hal yang disampaikan Presiden tersebut sangat ironi. Karena 6 hari sebelum pidato tersebut disampaikan, ada anak yang meninggal di lubang tambang.

"Yang menjadi tambahan deretan kasus lubang tambang di Kalimantan Timur menjadi 40. Dan tidak ada satupun kasus orang yang meninggal di lubang tambang yang terselesaikan," kata Tere.

Lebih lagi, pernyataan Presiden dalam pidatonya yang menyebut kecepatan kerja dalam pelayanan peradilan juga tidak bisa ditunda, bahkan harus dipercepat, juga sangat ironis. Sebab di Kutai Barat salah satu warga yang lahannya dirampas oleh perusahaan tambang sampai sekarang tidak mendapat kepastian hukum.

Masih soal tambang, ditariknya kewenangan penerbitan izin dan pengawasan pertambangan, dari daerah ke pusat, malah mengakibatkan semakin menjamurnya tambang-tambang liar. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah bukan menghadirkan perbaikan sektor pertambangan, malah sebaliknya.

"Yang ketiga, perkembangan sektor pangan terus kita upayakan untuk membangun kemandirian pangan. Ini juga sangat ironis. Kalimantan Timur sudah tidak lagi punya lumbung-lumbung pangan karena ruang-ruang pertanian kemudian ruang-ruang bagi nelayan sudah habis dikaveling oleh konsesi-konsesi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit."

Ashov Birry, juru bicara Koalisi Bersihkan Indonesia dari Trend Asia menganggap, Presiden Jokowi gagal melaporkan realita sebenarnya kondisi Indonesia secara jujur dalam pidato kenegaraannya. Salah satunya melaporkan kondisi krisis iklim yang padahal hanya ada waktu 9 tahun lagi sampai krisis iklim di Dunia tidak dapat dikendalikan lagi.

Kemudian, pidato Presiden juga gagal menggambarkan masa depan Indonesia secara jujur. Yang sebagai dampaknya pidato Presiden itu juga gagal memberi alur jalan yang baik menuju masa depan.

"Tiga kegagalan itu tadi harus membuat kita bertanya. Dia sedang berbicara dengan siapa? Realita siapa yang sedang dia coba gambarkan? Kemudian masa depan siapa yang sedang dia coba gambarkan? Dan jalan untuk siapa yang sedang dia coba gambarkan?" heran Ashov.