LIPUTAN KHUSUS:
Mendedah Data Survey Kesadaran Warga Dunia Soal Krisis Iklim
Penulis : Tim Betahita
Survei global menemukan 74% juga menginginkan krisis iklim dan melindungi alam diprioritaskan daripada proyek dan keuntungan ekonomi belaka.
Perubahan Iklim
Rabu, 18 Agustus 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Sebuah survei global yang dilancarkan oleh perusahaan survei Ipsos Mori untuk Global Commons Alliance (GCA) menemukan sebuah fenomena sosial menarik ihwal krisis iklim.
Menurut survei, lebih dari separuh bahkan nyaris tiga perempat orang di negara-negara kaya dunia percaya bahwa manusia merupakan faktor pendorong terjadinya krisis iklim. Alasan utamanya adalah demi pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Namun, kesadaran akan bahaya dan keprihatinan atas dampak krisis iklim juga ditemukan dengan angka yang tinggi, 58 persen dari jumlah itu.
Bahkan, menurut survei, empat dari lima responden mengatakan mereka yang sadar bersedia untuk melangkah dan berbuat lebih banyak guna menumbuhkan kembali keseimbangan global.
Penulis utama laporan survei, Owen Gaffney dari GCA, mengatakan hasil kajian menunjukkan dukungan adanya yang kuat dari warga dunia untuk adanya tindakan mendesak dan tegas untuk menanggulangi krisis iklim dan alam.
“Dunia tidak berjalan dalam tidur menuju bencana. Orang-orang tahu mereka sedang mengambil risiko besar, mereka ingin berbuat lebih banyak dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak,” katanya.
Temuan ini, kata Owen, harus memberi para pemimpin G20 kepercayaan diri untuk bergerak lebih cepat guna menerapkan kebijakan yang lebih ambisius untuk melindungi dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Mendedah Data Opini Warga Dunia
Cuplikan opini publik ini diambil pada bulan April dan Mei 2021. Itu artinya digelar sebelum musim panas menggila di belahan bumi utara yang menyebabkan gelombang panas, banjir, dan kebakaran serta suhu yang memecahkan rekor.
Survei juga dilakukan beberapa bulan sebelum laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim yang isinya: memperingatkan tentang perubahan iklim tidak lagi dapat dihindari dan tidak dapat diubah lantaran aktivitas manusia. .
Di antara negara-negara G20, 73 persen orang percaya aktivitas manusia telah mendorong Bumi mendekati titik kritis. Kesadaran akan risiko ini secara nyata lebih tinggi di negara-negara berkembang seperti: Indonesia (86%), Turki (85%), Brasil (83%), Meksiko (78%) dan Afrika Selatan (76%)
Sementara di negara kaya, kesadaran juga tingi meski angkanya di bawah negara berkembang. Misal, di Amerika Serikat Serikat (60%), Jepang (63%), Inggris Raya (65%) dan Australia (66%).
Dapat disimpulkan secara keseluruhan, lebih dari setengah (59%) responden percaya bahwa alam sudah terlalu rusak untuk terus memenuhi kebutuhan manusia di masa depan.
Orang-orang, kata survei, mulai merasa bahwa “alam sedang memukul balik”, tulis ahli lingkungan Kenya Elizabeth Wathuti dalam kata pengantar laporan tersebut.
“Orang-orang yang berkuasa tampaknya merasa tidak apa-apa menebang pohon tua atau menghancurkan ekosistem alami untuk bangunan atau jalan, atau menggali minyak, asalkan mereka menanam pohon baru. Tetapi pendekatan ini tidak berhasil, dan temuan dalam laporan ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi mendukung kebijakan ekonomi yang bodoh itu,” ungkap Elizabeth.
Dalam survei yang sama tercatat, lebih dari empat perlima (83%) responden dari negara G20 ingin berbuat lebih banyak untuk melindungi dan memulihkan alam. Lalu lebih dari dua pertiga (69%) percaya bahwa manfaat tindakan untuk melindungi kepentingan bersama global melebihi biayanya.
Pandangan ini paling umum muncul di Brasil dan paling tidak umum di Prancis (44%). Namun Secara keseluruhan, 74% orang setuju bahwa negara harus bergerak melampaui fokus pada produk domestik bruto dan keuntungan, dan sebaliknya lebih fokus pada kesehatan dan kesejahteraan manusia dan alam.
Survei Global Commons sengaja dilakukan menjelang serangkaian pertemuan internasional tentang keadaan mengerikan sistem pendukung kehidupan di bumi ini, seperti: KTT iklim Cop26 di Glasgow, konferensi keanekaragaman hayati Cop10 di Kunming dan konferensi tinggi “Stockholm+50” tahun depan serta pertemuan tingkat untuk menandai peringatan 50 tahun konferensi PBB pertama tentang lingkungan manusia.
Seperti yang terjadi pada setengah abad terakhir, langkah untuk memperkuat ekosistem bumi kemungkinan akan menemui perlawanan dari kepentingan politik dan ekonomi. Survei menunjukkan ada dukungan kuat di antara masyarakat global untuk mengatasi rintangan tersebut.