LIPUTAN KHUSUS:

Soal Jokowi, Baju Adat dan Catatan Kritik Masyarakat Adat


Penulis : Kennial Laia

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengkritisi Presiden Jokowi kenakan baju adat Badui namun tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Lingkungan

Selasa, 17 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Selama dua periode kepemimpinan, Presiden Joko Widodo kerap mengenakan pakaian adat dalam berbagai acara kenegaraan. Pada sidang tahunan MPR/DPR 2021, Senin (16/8), misalnya, Presiden hadir mengenakan baju milik suku Badui.

Masyarakat adat Badui bermukim di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Pada umumnya suku ini memiliki penghormatan yang tinggi terhadap alam melalui kebiasaan hidup yang menjaga dan melestarikan alam serta merawat dan menjaga hutan.

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, praktik masyarakat Baduy tersebut tidak tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi. 

 “Presiden Jokowi saat ini tengah menunjukkan dirinya sendiri dengan menjadikan pakaian adat dari Masyarakat Adat Baduy sekadar pembungkus badan, tapi Indonesia dibuat sangat jauh dari paradigma pembangunan ala Baduy yang begitu menghormati bumi,” kata Rukka yang juga tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, . 

Presiden Jokowi memberikan pidato dalam sidang tahunan MPR/DPR 2021. Foto: Tangkapan layar video Youtube Sekretariat Kabinet.

Menurut Rukka, dalam kampanye Nawacita-nya, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Kebijakan perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dengan meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan terkait pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak masyarakat.

Terkait kebijakan, komitmen yang belum dipenuhi Presiden Jokowi adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat; serta proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam dan penyusunan undang-undang terkait penyelesaian konflik agraria, dan pembentukan komisi independen masyarakat adat.

“Namun sampai saat ini janji Nawacita belum terpenuhi satu pun. Bahkan perampasan wilayah adat terus terjadi. Sementara itu Satgas Masyarakat Adat menguap tidak tahu kemana. Dan RUU Masyarakat Adat tak juga disahkan, bahkan terus melemah di DPR,” tambah Rukka Sombolinggi.

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rahma Mary mengatakan, menghormati masyarakat adat tidak cukup dengan simbol melalui pengenaan pakaian saja. 

Pengakuan terhadap tanah, wilayah, asal-usul, dan budaya diabaikan. Catatan YLBHI, 88% konflik tanah dan sumber daya alam yang diadvokasi YLBHI-LBH tiga bulan terakhir berada di wilayah masyarakat adat. 

“Apakah dengan mengenakan pakaian adat, Presiden hendak merayakan kemenangan atas pengusiran masyarakat adat di bawah Undang-Undang Cipta Kerja?” tutur Siti.

Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) Persatuan Gereja Indonesia, mendorong agar pemangku kebijakan memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat. “Ini sebagai kado kemerdekaan yang sejati,” kata Pdt. Jimmy.

Sementara itu Direktur Perkumpulan HuMA Indonesia Agung Wibowo mengatakan, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat harus disertai dengan pengakuan dan penghormatan hak tradisionalnya.

“Kedua, hak menguasai negara terhadap sumber daya alam harus dan hanya boleh dilakukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan saat ini pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perintah konstitusi tersebut,” kata Agung.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak untuk segera memastikan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adat. Koalisi memandang bahwa draf RUU Masyarakat Adat yang ada di DPR saat ini tidak akan menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat namun akan semakin menjauhkan hak-hak konstitusionalnya.