LIPUTAN KHUSUS:

Sidang Uji Omnibus Law Dimulai, Dugaan Cacat Formil Menguat?


Penulis : Kennial Laia

Koalisi masyarakat sipil menilai, Mahkamah Konstitusi harus batalkan RUU Cipta Kerja.

Hukum

Minggu, 15 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Mahkamah Konstitusi telah dimulai, Kamis, 12 Agustus 2021. Agendanya mendengarkan keterangan ahli yang diajukan pemohon yang terdiri dari gabungan 15 organisasi masyarakat. 

Gunawan, perwakilan pemohon dari International Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), mengatakan keterangan ahli dalam persidangan tersebut membuktikan bahwa partisipasi dari masyarakat adalah persyaratan wajib untuk dipenuhi dalam pembentukan sebuah undang-undang.

Menurut Gunawan, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat yang berpotensi terdampak dari implementasi aturan sapu jagad tersebut tidak pernah mendapatkan sosialisasi atau kesempatan untuk memberikan pendapat. Hal itu kontras dengan pembentukan undang-undang sebelumnya yang melibatkan masyarakat sipil. 

“Ini adalah diskriminasi. UU Cipta Kerja mengubah undang-undang terkait hak petani, nelayan, buruh, dan hak atas pendidikan. Namun aspirasinya tidak diserap dalam pembentukan UU Cipta Kerja,” kata Gunawan, Kamis, 13 Agustus 2021.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Koordinator tim kuasa pemohon Janses E Sihaloho mengatakan, keterangan yang disampaikan ahli memberikan gambaran kepada Majelis Hakim bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja yang disahkan Presiden Joko Widodo tahun lalu banyak melanggar syarat formil pembentukan suatu undang-undang.

Keterangan ahli menguatkan temuan penggugat pada saat proses inzage  (pemeriksaaan alat bukti). Menurut tim kuasa hukum tersebut, bukti yang diajukan pemerintah memperjelas cacat prosedur dalam pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja.

“Misalnya dalam bukti yang diajukan oleh Pemerintah mengenai partisipasi masyarakat, dalam buktinya Pemerintah hanya melibatkan organisasi masyarakat yang justru tidak terlalu terdampak dari berlakunya UU Cipta Kerja,” kata Janses.

“Namun pemohon yang terkena dampak langsung malah sama sekali tidak pernah dilibatkan untuk disosialisasikan maupun ikut berpartisipasi, namun yang paling penting bagi kami adalah adanya bukti dari pemerintah bahwa Pengambilan Keputusan Tingkat I dilakukan tertutup dan terburu-buru,” kata Janses.

Tahun lalu anggota parlemen dan pemerintah mendapat kritikan keras karena dalam pengambilan keputusan tingkat I dilakukan pada malam hari, 3 Oktober 2020, tanpa adanya naskah final RUU Cipta Kerja dan pembacaannya.

Janses mengatakan, agar bisa disebut sah, pengambilan keputusan tersebut harus dilakukan dengan membacakan naskah RUU dan disetujui substansi pasal per pasal hingga titik dan koma.

“Secara logika dan penalaran wajar, kami sangat meragukan RUU Cipta Kerja dapat dibahas dan disetujui dalam waktu yang sangat singkat, apalagi naskah tersebut memuat 79 undang-undang dengan materi muatan berbeda,” jelas Janses.

Koordinator Inzage dari Tim Advokasi Gugat Omnibus Law David Sitorus menambahkan, pihaknya menilai bahwa pemerintah tidak memiliki naskah RUU Cipta Kerja hasil rapat paripurna, maupun naskah yang dikirimkan ke Presiden untuk ditandatangani yang diminta Mahkamah Konstitusi. Pemerintah hanya melampirkan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan.

“Hal ini semakin membuktikan bahwa telah terjadi perubahan substansi antara Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui bersama antara DPR dengan Presiden pada pengambilan keputusan Tingkat II (paripurna), padahal seharusnya apabila sudah ketok palu pada rapat paripurna tidak boleh lagi ada perubahan-perubahan apapun,” kata David.

“Berdasarkan hal-hal tersebut, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tambah Gunawan.