LIPUTAN KHUSUS:
UNESCO Soroti Dampak Jalan TransPapua di Kawasan TN Lorentz Papua
Penulis : Sandy Indra Pratama
Pemerintah Indonesia tak gubris surat peringatan yang pertama- dikirim 2018- dari UNESCO soal Taman Nasiona Lorentz.
Hutan
Kamis, 05 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (UNESCO) menyatakan kekhawatirannya atas pembangunan proyek Jalan TransPapua yang membelah Taman Nasional Lorentz, Papua. Pernyataan itu disebutkan dalam dokumen konvensi tentang perlindungan warisan budaya dan alam dunia, WHC/21/44.COM/7B yang dapat diakses publik melalui situs resmi UNESCO.
Ruas jalan Wamena-Habema-Kenyam dari jalur Trans Papua yang panjangnya 190 kilometer merupakan ruas jalan yang menurut UNESCO, sudah bisa dianggap mengusik zona rehabilitasi taman nasional yang saat ini pun sudah rusak akibat penebangan liar.
Dalam catatannya, UNESCO menyebut ada satu tumbuhan bernama Nothofagus ditemukan mati pucuk atau mengalami kepunahan (dieback), meski belum jelas benar apakah diakibatkan karena pembangunan jalan, namun jarak kepunahan itu berada tidak jauh dari jalan TransPapua.
Mengapa UNESCO merasa perlu menyikapi soal Jalan TransPapua yang menggerus Taman Nasional Lorentz? Badan PBB itu berpendapat dalam dokumen bahwa 35 persen dari wilayah Taman Nasional Lorentz merupakan zona inti yang sangat berdampak pada Nilai Universal Luar Biasa (Outstading Universal Value/OUV) alias warisan dunia. OUV merupakan kriteria penilaian yang digunakan UNESCO untuk penetapan status sebagai warisan dunia.
Atas terbitnya dokumen ini, UNESCO memberikan pesan desakan kepada pemerintah RI, pertama, menyerahkan rincian tindakan mitigasi yang telah dilakukan dan yang direncanakan untuk jalan Habema-Kenyam ke Pusat Warisan Dunia (WHC). Kedua, meminta menutup jalan untuk kepentingan umum sampai tindakan mitigasi dilaksanakan sepenuhnya.
“Meminta pemerintah RI untuk memberika klarifikasi kepada WHC atas penilaian potensi dampak dari Jalan TransPapua terhadap Taman Nasional Lorentz,” ujar dokumen itu.
Klarifikasi yang dimaksud, berdasarkan dokumen, pemerintah bisa mengklarifikasi ihwal rinican peta, salinan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta langkah-langkah mitigasi yang diperkirakan, sebagai prioritas dan sebelum pekerjaan lebih lanjut dilakukan.
UNESCO lantas juga mempertanyakan ihwal kebenaran adanya laporan perihal rencana zonasi baru properti di OUV. Disebutkan beberapa di antaranya akan ada zona penggunaan khusus di mana berbagai kegiatan diizinkan, termasuk pembangunan bandara.
Unesco meminta Pemerintah RI bisa memenuhi desakannya untuk klarifikasi. Selama masa pemenuhan itu, PBB meminta agar semua kegiatan proyek bisa dihentikan sebelum terbitnya rekomendasi baru dari UNESCO.
UNESCO menyatakan misi pemantauan yang menghasilkan temuan belum mbisa dikembangkan lebih labjut dengan alasan keamanan.Oleh karenanya, pihak PBB meminta kepada pemerintah RI untuk kembali membuka akses bagi misi UNESCO meninjau secara langsung ke TN Lorentz.
Pemerintah Indonesia, kata UNESCO sebenarnya pernah dikirimi surat permohonan klarifikasi tentang proyek jalan Trans Papua yang berpotensi membahayakan OUV (TN Lorentz), sejak 2018. Namun hingga pertemuan UNESCO di Fuzhao, Tiongkok pada bulan lalu, UNESCO menyatakan belum menerima klarifikasi yang memuaskan sampai saat ini.
WHC UNESCO meminta pemerintah RI segera menyerahkan rincian proyek Trans Papua dan mendorong upaya mitigasi di wilayah tersebut. WHC UNESCO mengatakan analisa potensi dampak pembangunan terhadap OUV juga harus diupayakan.
Menyoal Jalan TransPapua
Sebelumnya,Studi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengungkap data adanya puluhan perusahaan berbasis lahan yang berpotensi mendulang untung paling besar, dengan adanya proyek strategis pembangunan jalan TransPapua.
Dalam paparannya, Walhi mengatakan saat ini terdapat 9 proyek pembangunan ruas jalan. Lima ruas di Provinsi Paua, sisanya 4 ruas di Papua Barat. “Rata-rata ruas jalan yang dibangun di Provinsi Papua ini terletak di pegunungan tengah,” ujar salah seorang tim peneliti, Umi Marufah dalam diskusi daring, Selasa (6/7).
Menurut peneliti Walhi Bagas Yusuf, ada kategori keuntungan yang dipilah dalam studi Walhi terhadap puluhan perusahaan berbasis lahan yang berpotensi mendulang untung paling besar itu. Pertama, adalah kateogri pihak yang sangat diuntungkan, adalah perusahaan yang dilewati langsung oleh Jalan TransPapua. Terlebih, jika perusahaan itu sudah memiliki jaringan jalan lokal yang terkoneksi dengan jalan TransPapua.
Kedua, perusahaan yang terkategori sebagai pihak diuntungkan, yakni perusahaan yang meski tidak berada di ruas jalan TransPapua, namun terkoneksi langsung dengan akses jalan-jalan lokal. “Baik yang dekat maupun yang jauh dari rencana ruas jalan,” ujar Bagas.
Siapa sajakah mereka?
Dari puluhan perusahaan itu, menurut Bagas, secara kepemilikannya beberapaterafiliasi dengan grup korporasi ternama dan lama beroperasi di Papua. Seperti PT Indobunta dengan Grup Salim, Abimulya Grup, Patria, PTPN, Sinar Mas. Mega Masindo. “Perusahaan itu aktif beroperasi di tanah Papua,” ujarnya.
Banyak sekali pengaruh negatif dari pembangunan jalan TransPapua. “Mulai dari tutupan hutan, gambut, karst hingga sosial ekonomi rakyat,” ujar Umi. Dari data dilihat, bahwa ruas-ruas jalan yang dibangun sebanyak 22 persennya menapak di kawasan hutan lindung dan konservasi. Artinya, pemerintah menerabas sebagal aturan soal konservasi yang mereka buat sendiri.
Sebagian kesimpulan dari studi Walhi mengemukakan bahwa pembangungan jalan TransPapua atau juga dikenal dengan Jalan MP-31 selama ini telah mengurangi keberadaan hutan, kawasan gambut serta keanekaragaman hayati. Dalam kurun waktu dua dekade, sejak 2001-2019, pembangunan jalan itu menurunkan tutupan hutan seluas 22 ribu hektare lebih, merusak 2 ribuan hektare lebih kawasan gambur dan karst, serta berpengaruh negatif terhadap keberadaan satu flora yakni Anggrek khas Papua dan lima fauna dengan kategori terancam.
Dalam kesimpulan lain, Walhi juga menyoroti, bahwa ruas pembangunan dari Wamena-Eleim-Jayapura juga Fakfak-Windesi merupakan proyek pembangunan ruas jalan dengan jumlah kehilangan hutan dan kerusakan ekosistem gambut terbesar. Di dua ruas jalan itu, terdapat 25 perusahaan yang diuntungkan dengan adanya proyek pembangunan jalan Trans Papua.
“Terekam pula jejak soal pelepasan hutan dan pelanggaran atas hak masyarakat adat di setiap proyek jalan MP-31,” ujar Bagas.