LIPUTAN KHUSUS:
#TutupTPL: Sepucuk Surat Terbuka Oni untuk Jokowi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Anita Martha Hutagalung salah satu peserta Aksi Jalan Kaki Ajak Tutup TPL, mewakili TIM 11 akhirnya menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi
Agraria
Senin, 02 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebelas orang yang menamakan diri sebagai TIM (tulus, ikhlas dan militan) 11 Ajak Tutup TPL (Toba Pulp Lestari), yang melakukan aksi jalan kaki dari kawasan Danau Toba ke Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), telah tiba di Jakarta sejak 27 Juli 2021 lalu.
Namun hingga kini sebelas orang tersebut belum juga mendapat kabar dari Istana tentang kesediaan Presiden untuk bertemu. Anita Martha Hutagalung salah satu peserta Aksi Jalan Kaki Ajak Tutup TPL, mewakili TIM 11 akhirnya menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi.
Dalam surat terbuka yang dipublikasikan melalui media sosial Facebook Anita Martha Hutagalung itu, diuraikan berbagai hal seputar aksi jalan kaki yang telah dilakukan TIM 11. Mulai dari tujuan aksi jalan kaki, latar belakang peserta aksi, suka duka selama berjalan kaki melewati berbagai daerah, perlakuan pihak kepolisian yang dinilai kurang mengena yang diterima TIM 11 setibanya di Jakarta, hingga kegelisahan TIM 11 yang tak kunjung mendapat kabar dari Istana Negara tentang kapan mereka bisa bertemu dengan Presiden Jokowi.
"Bapak Presiden Jokowi Yang Baik. Kami 11 orang rakyat Bapak yang menamakan diri TIM 11. Mengadakan Aksi Jalan Kaki dari Makam Sisingamagaraja ke XII, Soposurung, Balige, menuju Istana Negara di Jakarta. Yang dimulai dari 14 Juni 2021, dan tiba di Jakarta tanggal 27 Juli 2021," kata Anita Martha Hutagalung, seperti yang tertulis di laman Facebooknya, Senin (2/8/2021).
Tujuan TIM 11, lanjut Anita, adalah ingin bertemu langsung dengan Presiden Jokowi, untuk mengadukan langsung keresahan mereka dan masyarakat seputaran Danau Toba. Bukan hanya persoalan keadaan Danau Toba yang saat ini sudah tercemar tidak seindah dulu lagi. Suhu yang memanas, air danau yang menyurut hutan yang rusak sehingga di Parapat bisa terjadi banjir bandang.
"Tetapi ada banyak persoalan dan konflik yang terjadi di masyarakat dengan pihak perusahaan Toba Pulp Lestari. Soal perampasan tanah adat, perlakuan tindakan semena-mena. Dan sudah berlangsung lama serta sudah banyak yang korban/mati bahkan mencapai 31 orang."
Anita mengungkapkan, peristiwa konflik masyarakat adat dan karyawan atau pekerja PT TPL di Desa Natumingka 18 Mei 2021 lalu, memicu kegeraman dan kemarahan banyak orang. Termasuk Togu Simorangkir, sosok yang mencetuskan ide Aksi Jalan Kaki Tutup TPL.
"Dengan waktu yang singkat kami akhirnya terkumpul menjadi 11 orang. Saya berumur 54 tahun adalah seorang ibu rumah tangga, opung atau nenek dari 2 cucu, dan biasa di panggil Oni singkatan dari Opung NIta."
Anita mengaku sebelumnya sama sekali tidak mengenal anggota TIM 11, kecuali Togu Simorangkir dan anaknya Bumi yang berusia 8 tahun. Orang-orang yang kini tergabung dalam TIM 11 saling mengenal satu sama lain saat bertemu sehari sebelum aksi jalan kaki akhirnya dilakukan.
"Kami bukan aktivis, kami bukan orang partai, kami bukan orang yang terlibat ormas apapun. Kami bergerak tanpa disponsori siapapun. Kami dari berbagai daerah. Ada yang dari Serapuh, Muara, Parapat, Ajibata, Pandumaan, Perdagangan, Binjai dan Tongging," kata Anita alias Oni.
Anita menegaskan, TIM 11 hanya dipersatukan oleh visi misi yang sama, yakni demi Danau Toba dan alam sekitarnya lestari. Anita menegaskan pula, mereka tidak dibayar oleh siapapun untuk melakukan aksi jalan kaki itu, bahkan tidak pula mengumpulkan dana dengan membuka rekening ke publik.
"Kami hanya menerima bantuan atau sumbangan dari keluarga dan orang orang yang mengenal siapa kami dan paham bahwa kami ini TIM. Tulus Ikhlas dan Militan (TIM)."
Anita juga menyampaikan bahwa TIM 11 semua punya keluarga. Anggota TIM 11 semua rela meninggalkan keluarga, dan sebaliknya keluarga juga merelakan mereka. Anita menuturkan tentang banyaknya pengalaman yang ingin ia ceritakan pada Presiden Jokowi. Tentang banyaknya orang baik di sepanjang perjalanan TIM 11 yang dengan tulus ikhlas memberi mereka makanan, minuman juga uang.
"Kami makan apa saja yang ada, dan kami tidur di mana saja kami bisa merebahkan badan."
Anita menyebut, dalam perjalanan TIM 11 beristirahat dan tidur di berbagai tempat. Baik itu di tempat ibadah seperti gereja dan mushala, di warung pinggir jalan. Pernah pula mereka tidur di penginapan murah, baik itu atas inisiatif TIM 11 sendiri maupun difasilitasi oleh orang lain. Tak jarang pula terdapat warga yang bersedia membuka rumahnya bagi TIM 11 untuk sekedar beristirahat.
"Dan semua orang baik itu kebanyakan tidak kami kenal. Tapi mereka mengikuti perjalanan kami dari medsos. Terakhir ada Mak Ifani orang baik yang menyediakan apartemen buat TIM 11 menginap selama di Jakarta."
Kemudian Anita menyampaikan perlakuan yang menurutnya tidak mengena yang diterima dari pihak kepolisian. Anita berkata, di hari ke-44 aksi berjalan kaki, tepatnya pada 27 Juli 2021, langkah kaki TIM 11 terpaksa terhenti di Jalan Sisingamangara XII, Jakarta Selatan, yang hanya sekitar 8 kilomter ke Istana Negara.
"Entah apa salah kami, kami tidak mengerti. Kami dihadang oleh banyak sekali polisi. Ada puluhan polisi berseragam lengkap bersenjata. Kami diserukan dengan toa yang memekakkan telinga untuk berhenti dan melakukan swab antigen saat itu juga."
Setelah menjalani test swab antigen, semua anggota TIM 11 dinyatakan negatif covid-19, hanya Togu Simorangkir yang hasil tesnya reaktif. Selanjutnya, tulis Ani, toa kembali diteriakkan dengan seruan agar mereka semua harus segera naik mobil keranjang (berbungkus terali besi) untuk dikirim ke Wisma Atlit untuk di karantina selama 14 hari.
"Bapak Jokowi yang baik. Togu Simorangkir yang konon katanya reaktif disatukan dengan kami yang semua negatif (hasil test swab antien), berjejalan di mobil keranjang, yang lebih tepat disebut mobil tahanan karena di kerangkeng."
TIM 11, kata Anita, dikawal oleh petugas berpakaian alat pelindung diri (APD) lengkap. Dengan sirine meraung-raung dari segala penjuru, kemudian sesampainya di Wisma Atlit mereka menunggu di mobil kerangkeng, tidak diperkenankan turun.
"Setelah sekian lama kemudian mobil berbalik arah, keluar dari Wisma Atlit. Kembali kami dibawa lagi putar-putar entah kemana. Akhirnya TIM 11 sampai ke Rusun Pasar Rumput. Di sana kami TIM 11 disuruh turun, kemudian dikumpulkan di sebuah tenda."
Menurut Anita, di Rusun Pasar Rumput mereka diminta untuk mengumpulkan KTP dan kemudian didata, lalu mereka dibiarkan begitu saja. Hanya Togu Simorangkir yang dipanggil masuk ke gedung, karena hanya Togu yang hasil test antigennya reaktif.
"Entah bagaimana si Togu kami tidak tau lagi. Kami berpisah. Karena setelah lama menunggu di tenda kami dibawa lagi, dengan mobil kerangkeng lagi, ke Polres Metro Jaya Jakarta Pusat."
Anita menyebut, sebelumnya Ketua TIM 11, Jevri Manik, sudah berdebat alot dengan oknum polisi tentang apa dasar membawa TIM 11 ke kantor polisi? Karena TIM 11 tidak melanggar aturan, tidak melanggar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), tidak berkerumun, tidak berdemontrasi dan tidak berorasi.
"Kami hanya berjalan kaki di jalan raya menuju Istana Negara. Saya yang sudah kelelahan lahir bathin meminta pada Ketua TIM 11 untuk menurut saja dibawa ke Polres Metro Jaya. Karena katanya setelah didata di sana kami dilepas," kata Anita.
Selama kurang lebih 2 jam di Polres Metro Jaya, imbuh Anita, pihaknya tidak dipersilahkan masuk ke ruangan apapun. Mereka dikumpulkan di halaman kantor polisi. Tanpa ada basa basi kemudian mereka disodori nasi kotak dan air mineral dan mereka disuruh makan.
"Tentu saja kami tolak. Kami tidak butuh makan. Kami butuh dibebaskan!"
Anita melanjutkan, saat itu banyak teman-teman yang bersimpati pada TIM 11 ikut mendatangi TIM 11 di Polres tersebut. Di antaranya adalah Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional sebagai saksi mata atas penghadangan Polisi di Jalan Sisingamangaja XII.
"Karena beliau yang menemani Oni berjalan kaki. Dan kembali lagi perdebatan terjadi dengan pihak kepolisian. Singkat cerita akhirnya kami dibebaskan, sebenarnya sih bukan dibebaskan, seolah-olah kami diberi polisi kebebasan. Tepatnya kami pulang, karena memang tidak ada 1 pasal pun pelanggaran yang TIM 11 lakukan. Sehingga polisi tak punya dasar untuk menahan kami."
Anita melanjutkan, sejak peristiwa itu TIM 11 tertahan di sebuah apartemen di kawasan Brawijaya. Terhitung hingga Senin (2/8/2021) TIM 11 sudah menghabiskan hari yang ke-50 dan mereka tidak tahu mau harus mengadu kepada siapa untuk segera dipertemukan dengan Presiden Jokowi.
"Keluarga kami di kampung sudah khawatir akan sampai kapan kami di Jakarta ini. Pertanyaan "Kapan TIM 11 ketemu Bapak Jokowi" masih belum bisa kami jawab Pak."
Anita mengungkapkan, bahwa seluruh anggota atau peserta Aksi Jalan Kaki Ajak Tutup TPL merupakan rakyat biasa. Mulai dari Togu Simorangkir (45 tahun) yang sehari-hari adalah petani, dirinya Anita Martha Hutagalung (54 tahun) hanya seorang opung atau nenek, Rait Irwandi (40 tahun) penyandang disabilitas yang bekerja sebagai penjahit, Christian Gultom (41 tahun) yang seorang petani, Jevri Manik (43 tahun) seorang tenaga medis atau perawat, Yman Munthe (32 tahun) yang merupakan petugas Kaur Kecamatan Tongging, Agustina Pandiangan (29 tahun) yang hanyalah guru honorer, Ferry J. Sihombing (40 tahun) bekerja di bengkel bubut, Ewin Rico Hutabarat (32 tahun) seorang supir, Lambok Siregar (28 tahun) bekerja di warung makan dan Bumi Simorangkir (8 tahun) seorang siswa kelas 3 SD.
"Kami TIM 11 masih akan setia menunggu kesediaan Bapak Jokowi untuk menerima kedatangan kami sebentar saja pun jadi Pak. Kami akan menyerahkan segala bukti-bukti yang berkenaan dengan TPL. Sebelumnya kami TIM 11 akan menyelesaikan Aksi Jalan Kaki sampai finish ke Istana Negara Jakarta."