LIPUTAN KHUSUS:

Studi: Cuaca Abnormal Terkait dengan 5 Juta Kematian Per Tahun


Penulis : Kennial Laia

Kematian akibat cuaca panas ekstrem meningkat selama 20 tahun terakhir. Berkebalikan dengan kematian yang berhubungan dengan suhu dingin.

Perubahan Iklim

Jumat, 09 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Lebih dari 5 juta orang meninggal setiap tahun secara global akibat kondisi cuaca yang terlalu panas atau dingin. Sementara itu, angka kematian terkait suhu panas terus meningkat, studi baru mengungkap.

Penelitian selama 20 tahun itu melibatkan puluhan ilmuwan di seluruh dunia, dipimpin oleh Monash University. Temuannya, 94% kematian global setiap tahun disebabkan oleh paparan panas atau dingin, setara dengan 74 kematian tambahan per 100.000 orang. 

Ilmuwan mendorong agar perumahan memasang insulasi yang lebih baik dan memperbanyak pendingin ruangan bertenaga surya, dengan peringatan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan kematian terkait suhu di masa depan. 

Para peneliti menganalisis data kematian dan cuaca dari 750 lokasi di 43 negara antara tahun 2000 dan 2019, dan menemukan suhu rata-rata harian di lokasi tersebut meningkat sebesar 0,26 derajat celcius per dekade.

Ilustrasi gelombang panas ekstrem. Foto: iStock

Studi ini menemukan lebih banyak orang meninggal karena dingin ketimbang cuaca panas selama dua dekade. Namun kematian terkait panas cenderung meningkat sebesar 0,21% sementara kematian terkait dingin menurun sebanyak 0,51%.

Prof Yuming Guo dari Monash University, salah satu peneliti utama studi tersebut mengatakan tren ini akan berlanjut karena perubahan iklim, dan tingkat kematian total dapat meningkat.

“Di masa depan, kematian terkait dingin akan terus menurun, namun karena kematian terkait panas akan terus meningkat, akan ada break point pada titik tertentu,” kata Guo melalui rilis, Kamis, 8 Juli 2021.  

Guo mengatakan di Eropa telah ada peningkatan keseluruhan dalam tingkat kematian yang terkait dengan suhu. “Jika kita tidak mengambil tindakan apapun untuk mengurangi perubahan iklim, lebih banyak kematian akan terjadi,” katanya.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Planetary Health itu memperhitungkan suhu optimal yang berbeda untuk orang yang tinggal di berbagai wilayah. 

“Populasi manusia memiliki kemampuan beradaptasi dengan cuaca lokal,” kata Guo. 

Jumlah kematian akibat panas paling banyak di Eropa Timur, sementara sub-Sahara Afrika memiliki tingkat kematian tertinggi terkait suhu dingin. 

Sumber: Monash University 

Prof Adrian Barnett dari Queensland University of Technology, yang tidak terlibat dalam studi tersebut, mengatakan serangan jantung dan henti jantung (cardiac arrest) dan stroke meningkat baik di wilayah dengan kondisi dingin maupun panas yang ekstrem.

“Orang-orang yang sangat berisiko adalah orang yang memiliki semacam kondisi jantung dan paru-paru yang sudah ada sebelumnya,” kata Barnett, dikutip The Guardian.  

Populasi beradaptasi dengan baik dalam iklim tempat mereka tinggal, dalam hal perumahan, pakaian, dan perilaku mereka, jelas Barnett. “Negara-negara panas memiliki lebih sedikit kematian akibat panas, tetapi itu kemungkinan akan berubah.”

Menurut Barnett, strategi mitigasi seperti insulasi perumahan yang lebih baik dan AC bertenaga surya off-grid harus dipertimbangkan.