LIPUTAN KHUSUS:
Sawit dan Akasia Banyak Tumbuh di Gambut Bekas Terbakar
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Melalui verifikasi lapangan di 405 titik sampel, Pantau Gambut menemukan sebagian besar titik tersebut terdapat penanaman sawit atau akasia, sisanya diterlantarkan.
Gambut
Sabtu, 29 Mei 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Analisis spasial dan observasi lapangan yang dilakukan Pantau Gambut di sejumlah areal konsesi perusahaan yang terbakar 2015-2019 lalu, di 7 provinsi dengan gambut terluas di Indonesia, menghasilkan sejumlah temuan. Melalui verifikasi lapangan pada 405 titik sampel, Pantau Gambut menemukan sebagian besar titik tersebut terdapat penanaman tanaman ekstraktif, sawit atau akasia, sisanya diterlantarkan.
Pantau Gambut sendiri merupakan sebuah inisiatif publik independen yang menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam mengawal restorasi gambut, mendorong para perusahaan untuk lebih berkomitmen pada kegiatan restorasi di lahan gambut.
Berdasarkan hasil analisis Pantau Gambut, 39 persen atau sekitar 5,2 juta hektare dari 13,43 juta hektare luasan lahan gambut Indonesia masuk dalam area kerja korporasi di bidang kehutanan ataupun perkebunan.
Secara rinci, Hak Guna Usaha (HGU) sebesar 2.300.122,43 hektare (yang mayoritas merupakan perkebunan kelapa sawit), kemudian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) 1.993.780,37 hektare, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) 569.153,74 hektare dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) 336.012,31 hektare.
Koordinator Nasional Pantau Gambut, Lola Abas mengungkapkan, hasil analisis spasial dan observasi lapangan pada 1.222 titik sampel area gambut dalam yang tersebar di 43 konsesi perusahaan yang terbakar atau terindikasi mengalami pembukaan lahan menunjukkan, hilangnya tutupan pohon di area gambut dengan Fungsi Lindung seluas 421.221 haktare di area konsesi selama periode 2015-2019. Analisis dan pemantauan tersebut dilakukan d 7 provinsi dengan gambut terluas di Indonesia, yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, dan Papua Barat.
Selanjutnya, melalui verifikasi lapangan di 405 titik sampel area gambut lindung tersebut, ditemukan adanya penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau aksia di 64,4 persen titik sampel. Sisa titik sampel menunjukkan lahan yang diterlantarkan tanpa adanya upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan pemerintah.
"Periode pengamatan untuk penentuan titik-titik sampel lapangan dilihat menggunakan penginderaan jauh dan analisa spasial dalam kurun waktu tahun 2015-2019. Verifikasi lapangan dilakukan dalam periode November 2019 hingga April 2021, bervariasi pada masing-masing provinsi yang melakukan pemantauan," kata Lola, Jumat (28/5/2021).
Lebih lanjut, analisa yang dilakukan terhadap luasan area terbakar di gambut selama periode 2015-2019 menunjukkan, dari total 1,4 juta hektare gambut yang terbakar, 70 persennya atau sekitar 1,02 juta hektarnya berada di dalam area konsesi. Dengan rincian seluas 580.764,5 hektare di atas kawasan HGU, 168.988,1 hektare ditemukan di konsesi IUPHHK-HTI, 83.575,6 hektare di atas konsesi IUPHHK-RE, dan 187.047,9 hektare di atas konsesi IUPHHK-HA.
"Sama seperti sebelumnya, verifikasi lapangan di 482 titik lahan bekas terbakar di 39 perusahaan menunjukkan 67,8 persennya menjadi lahan terlantar tanpa ada upaya pemulihan, sedangkan sisanya ditanami oleh tanaman ekstraktif berupa akasia atau sawit."
Pantau Gambut, lanjut Lola, juga mengunjungi 335 titik sampel lainnya yang secara perencanaan, baik Rencana Kontijensi atau Rencana Tindak Tahunan, disusun oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Pada titik sampel ini seharusnya terdapat infrastruktur restorasi sebagai tanggung jawab pemulihan oleh perusahaan, namun Pantau Gambut menemukan bahwa hanya 1,8 persen wilayah yang memiliki infrastruktur restorasi, baik sekat kanal atau sumur bor, dengan kondisi baik.
"Sebagian besar dari titik sampel atau sebanyak 91,5 persen tidak terdapat infrastruktur restorasi sama sekali. Observasi ini menunjukkan bahwa perusahaan belum melaksanakan perintah pemulihan ekosistem gambut, baik itu pembangunan sekat kanal ataupun revegetasi kawasan, khususnya di area kerja perusahaan yang telah mengalami kebakaran lahan gambut."
Sesuai dengan Permen LHK Nomor 16 Tahun 2017, kegiatan pemulihan wajib dilakukan pemegang usaha dan/atau kegiatan di atas lahan gambut. Pemerintah berperan dalam menetapkan perintah pemulihan gambut hingga melakukan supervisi serta penilaian terhadap kegiatan pemulihan yang dilakukan oleh konsesi.
Sepanjang periode 2015-2020, Lola melanjutkan, Pemerintah Indonesia melalui BRG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah melaporkan pencapaian kegiatan restorasi. BRG menyebutkan telah tercapai restorasi seluas 645 ribu hektare dari total target seluas 1,7 juta hektare di area konsesi. Sedangkan pada laporan terpisah, KLHK mengklaim sebanyak 294 perusahaan atau sekitar 3,6 juta hektare area konsesi HTI telah berhasil direstorasi.
"Kedua data ini sayangnya tidak bisa menjelaskan kaitannya satu sama lain. Ditambah lagi, keduanya sama-sama belum ada keterbukaan data mengenai detail implementasi pemulihan lahan gambut di wilayah konsesi dan metode seperti apa yang digunakan untuk menakar keberhasilan kegiatan restorasi," kata Lola.
Menurut Lola, dengan ditemukannya pelanggaran yang masih dilakukan di wilayah konsesi, sangat penting untuk dilakukan evaluasi terhadap implementasi kegiatan restorasi, terutama mengenai hal-hal yang menyebabkan perusahaan belum melakukan restorasi gambut.
Pemerintah juga dianggap perlu untuk memperbaiki sistem pemantauan yang ada untuk dapat memastikan implementasi dan efektivitas restorasi gambut di wilayah konsesi secara transparan. Selain itu, perbaikan penegakan hukum juga diperlukan sehingga dapat memberikan efek jera untuk konsesi yang melanggar peraturan.