LIPUTAN KHUSUS:

Pengakuan Hak Masyarakat Adat Solusi Atasi Krisis Iklim


Penulis : Kennial Laia

Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah disebut sebagai langkah pertama solusi mengatasi krisis iklim.

Perubahan Iklim

Senin, 26 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Aliansi global masyarakat adat dan komunitas lokal, Global Alliances of Territorial Communities, mendesak pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas tanah ulayat. Hal itu disebut sebagai langkah pertama dalam upaya mengatasi krisis iklim secara serius.

Seruan itu sebagai respon atas Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Aliansi itu sendiri mewakili 18 negara, dengan anggota termasuk dari Brazil, Indonesia, serta negara-negara Amazon dan Mesoamerika. 

“Ini bukan permintaan untuk amal, atau bahkan untuk keadilan; Ini adalah hak kami, dan juga yang diindikasikan data dan ilmuwan barat sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi krisis iklim,” kata Tuntiak Katan, koordinator Global Alliance of Territorial Communities dan pemimpin suku Shuar dari Ekuador, dalam keterangan yang diterima Betahita, Kamis, 22 April 2021.

Katan, yang juga pemimpin suku Shuar dari Ekuador, hadir sebagai pembicara dalam salah satu sesi KTT tersebut. Mewakili Aliansi, Katan menyambut pengumuman pendanaan dari Presiden Biden untuk aksi iklim dan peluncuran inisiatif tentang Penurunan Emisi melalui Percepatan Pendanaan Hutan (LEAF).

Perempuan adat Sierra Leone. Foto: Land Portal Foundation

Katan mengajak pimpinan negara dan lembaga internasional untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan menghindari bergantung pada model keuangan yang sama yang tidak membuahkan hasil yang diharapkan terkait dampak dan solusi iklim. Hal itu dikatakan Katam dalam mengkritik inisiatif REDD+ yang hanya berfokus pada masalah karbon.

Menurut Katan, ada temuan terbaru yang melaporkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal menerima kurang dari 1% pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Katan mengatakan hal itu harus berubah jika dunia benar-benar ingin mencegah perubahan iklim. Hutan yang menjadi fokus KTT tersebut bukanlah ruang kosong, namun ditempati oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Dan komunitas itu siap menyumbangkan hutannya untuk mengatasi salah satu tantangan terpenting zaman ini yaitu restorasi Bumi. 

“Namun, pemulihan nyata hanya dapat dapat terjadi dengan pengakuan hukum atas hak-hak atas wilayah kami. Tanpa ini, tidak mungkin untuk memastikan integritas ekosistem atau keamanan iklim,” ujar Katan.

Di 18 negara yang diwakili Global Alliance of Territorial Communities, masyarakat adat dan komunitas lokal menempati lebih dari 840 juta hektare hutan dan lahan, setara dengan 80% luas wilayah Amerika Serikat. Dari luas tersebut, setidaknya 400 juta hektare belum mendapat pengakuan hukum.

“Kita membutuhkan pengakuan ini sebagai langkah pertama untuk memastikan keutuhan ekosistem dan untuk hidup sesuai dengan hak kami sendiri,” kata Katan.

Katan mendesak presiden Amerika Serikat dan pimpinan negara lainnya untuk menyediakan investasi dalam 5 dolar per hektare untuk sertifikasi hutan yang diklaim oleh masyarakat adat dan penduduk lokal di negara berhutan tropis.

Pendanaan terhadap solusi iklim yang telah terbukti ini, seperti yang telah dihitung oleh ahli di Rights and Resources Initiative dan kelompok penelitian lainnya, dapat menyalurkan setidaknya 2 miliar dolar AS untuk mengamankan hak atas tanah masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Berbagai studi ilmiah menunjukkan peran kunci masyarakat adat dan komunitas lokal dalam melindungi hutan dan ekosistem lainnya,” kata Katan.

“Deforestasi dan degradasi sedikit terjadi di mana hak kami diakui,” tambahnya, seraya mengajak komunitas internasional untuk aktif bicara dan beraksi dengan fokus pada solusi berbasis alam dan komunitas.