LIPUTAN KHUSUS:

Omnibus Law Lolos Paripurna, Publik Serukan Mosi Tidak Percaya


Penulis : Kennial Laia

Kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa menolak pengesahan Omnibus Law. Dianggap merusak lingkungan dan merugikan rakyat termasuk petani dan masyarakat adat.

Lingkungan

Senin, 05 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Gabungan organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa menyerukan mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Indonesia, Senin, 5 Oktober 2020. Hal itu terkait dengan rencana pengesahan Rencana Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law.

RUU kontroversial itu rencananya akan dibahas dalam sidang paripurna hari ini, lebih cepat dari rencana awal pada Kamis mendatang. Sebelumnya Senayan dan pemerintah terus mengadakan rapat pembahasan, termasuk pada akhir pekan untuk mempercepat pembahasan Omnibus Law. Keduanya menyepakati Omnibus Law lolos ke sidang paripurna pada Minggu lalu (4/10).  Pembahasan bergulir walau mendapat penolakan dari publik, terutama kaum buruh.

“Omnibus Law adalah sarana atau pintu masuk bagi oligarki untuk mendapat legitimasi kekuasaan untuk mengendalikan kebijakan dan anggaran publik demi memperbesar keuntungan sekelompok orang atau golongannya,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah dalam konferensi pers, Senin, 5 Oktober 2020.

Sejak bergulir tahun lalu, Omnibus Law mendapat perlawanan luas dari masyarakat sipil dan mahasiswa di berbagai kota. Aturan sapu jagat ini dikhawatirkan berimplikasi negatif terhadap lingkungan hidup dan ruang hidup masyarakat terutama petani, buruh, dan masyarakat adat. 

Massa aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, menolak Omnibus Law. Aturan itu dianggap hanya mementingkan oligark/pengusaha. Foto: Walhi

“Saat ini kita jauh dari kedaulatan pangan. Sementara RUU Cipta Kerja tidak berpihak pada pertanian, lingungan, dan agraria. Jika disahkan, kita akan melihat konflik agraria dan berkurangnya lahan pertanian di masa mendatang,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Bhirawa Ananditya Wicaksana.

Merah mengatakan, Omnibus Law menjamin perpanjangan kontrak dan izin usaha bagi perusahaan batu bara raksasa yang akan habis masa berlakunya tanpa lelang. Selain itu, batasan konsesi bagi perusahaan pertambangan juga tak dibatasi dalam rencana undang-undang ini. “Ini akan menciptakan daya rusak karena perluasan konsesi tidak dibatasi. Belum lagi dengan masalah lubang eks-tambang yang selama ini memakan korban,” tambah Merah.

Selain sektor tambang dan mineral, eksploitasi perikanan juga dikhawatirkan terjadi. Hal ini karena Omnibus Law memberi keleluasaan kepada investor dan kapal asing beroperasi di perairan Indonesia. Hal ini dianggap sebagai momok bagi nelayan tradisional. 

“Jika Omnibus Law disahkan, akan berbahaya bagi kesejahteraan kaum nelayan dan pembudidaya ikan karena aturan ini hanya mementingkan investasi terutama investasi asing yang mengeksploitasi sumber daya laut dan perikanan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati.

Gerakan yang menamai diri sebagai Fraksi Rakyat Indonesia itu menuntut DPR dan pemerintah agar membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja.

“Omnibus Law adalah persekutuan jahat antara pengusaha, DPR, dan pemerintah. Karena itu rakyat menuntut hentikan pembahasan dan batalkan pengesahan RUU Cipta Kerja,” kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.

“Kita terus mengawal isu ini. Akan ada perlawanan keras di tingkat basis terhadap perampasan-perampasan ruang hidup petani dan buruh," pungkas Tommy Indyan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. 

Terkait penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law, ratusan buruh berencana menggelar mogok nasional selama tiga hari sejak Senin (5/10).