LIPUTAN KHUSUS:
UU Minerba Dinilai Hanya untuk Kepentingan Investor
Penulis : GIlang Helindro
Pengesahan RUU Minerba menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam (SDA).
Energi
Rabu, 13 Mei 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Pengesahan RUU Minerba menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam (SDA). "Hal tersebut memperlihatkan kerakusan dan cara pandang yang eksploitatifi," kata Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, saat dihubungi Selasa 12 Mei 2020.
Baca juga : RUU Minerba Akan Disahkan, Terkait Habisnya Kontrak Karya?
Rencana Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi undang-undang telah disetujui DPR RI. Iqbal mengatakan keputusan DPR RI dan Pemerintah untuk pengesahan RUU Minerba adalah bukti bahwa mereka lebih mewakili kepentingan investor batu bara dibandingkan mendengarkan aspirasi korban industri pertambangan dan rakyat yang memilihnya.
Seperti dilansir tempo.co dalam pengambilan keputusan ini disetujui delapan fraksi untuk menetapkan RUU Minerba sebagai undang-undang yakni Fraksi PDI P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, PAN, dan PPP. Kemudian hanya satu fraksi yang menolak yaitu Partai Demokrat.
Alih-alih memprioritaskan penyelamatan rakyat di tengah krisis pandemi Covid-19 ini, DPR dan pemerintah justru menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi korporasi tambang, katanya. Bahkan Ketua Panja RUU Minerba, Bambang Wuryanto menyatakan banjir aspirasi publik yang selama ini diarahkan kepada DPR justru dianggapnya sebagai teror. Padahal faktanya, rapat-rapat yang digelar oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba selama ini dilakukan melalui sidang-sidang tertutup dan tidak membuka ruang bagi masukan masyarakat.
Justru sebaliknya, pembahasan yang dilakukan diam-diam, nir-partisipasi dan melanjutkan naskah yang dipenuhi pasal bermasalah adalah teror sesungguhnya oleh pemerintah dan DPR terhadap warga terdampak di lingkar pertambangan dan industri batu bara.
Menurut Iqbal, salah satunya tercermin dalam penambahan Pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.
“Fokus pemerintah pada penyelamatan pebisnis batubara ini, sangat disayangkan melalui perubahan undang-undang. Pemerintah harusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tanpa menjamin perpanjangan," ujar Iqbal. Salah satu bentuk kewajiban tersebut, yaitu menutup lubang-lubang tambang yang disebabkan aktivitas pertambangan.
Seperti diketahui, ada enam PKP2B yang menanti perpanjangan dari pemerintah, yaitu PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.
Kemudian Berdasarkan catatan masyarakat sipil, proses peralihan perizinan dari Kabupaten ke Provinsi sampai hari ini masih memiliki kendala. Selain itu, dia menyebut RUU Minerba berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa kontrol dengan dihapuskannya ketentuan klausul pengendalian produksi dan ekspor.
Sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara. Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan.
Isi dan komposisi RUU ini juga tidak berangkat dari evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan dan industri minerba selama ini. Tidak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh
kepulauan yang sudah dipenuhi dengan perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, berada di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana.
"RUU ini tidak menyediakan pasal yang memberi ruang hak veto rakyat atau hak mengatakan tidak pada pertambangan saat masuk ke ruang hidup mereka," katanya.
Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan RUU tersebut tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan. Selain itu, RUU Minerba dibahas tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi masyarakat.
"Pembahasan revisi RUU Minerba lahir dari titipan oligarki batu bara pada politisi senayan beserta parpolnya masing-masing sebagai akibat dari bentang politik kita yang dicengkeram oleh oligarki,” ujar Merah.
Lebih lanjut, dia mengatakan, RUU Minerba justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batu bara. Sedangkan partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya, seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya.
"Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham, keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batu bara, hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup diabaikan,” katanya.
Menurut Merah, sebelum RUU Minerba disahkan, ada 44 persen daratan kepulauan Indonesia dikapling konsesi pertambangan dan migas. Jika RUU tersebut resmi diketuk, perluasan penambangan tidak akan mengenal batas lagi dan bisa memicu pengusiran warga sekitar tambang.