LIPUTAN KHUSUS:

Koalisi Langit Biru dan #BersihkanIndonesia Bentangkan Spanduk ‘Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami’


Penulis : Redaksi Betahita

Penolakan terhadap keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang berkapasitas produksi 2X100 MW di Bengkulu terus mengalir. Rabu (5/2/2020) siang, Koalisi Langit Biru, gabungan organisasi masyarakat sipil, warga serta nelayan di Bengkulu menggelar aksi pembentangan spanduk raksasa berukuran 20×12 meter, bertuliskan “Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami”, di perairan dekat PLTU tersebut. Baca

Energi

Sabtu, 08 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Penolakan terhadap keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang berkapasitas produksi 2X100 MW di Bengkulu terus mengalir.

Rabu (5/2/2020) siang, Koalisi Langit Biru, gabungan organisasi masyarakat sipil, warga serta nelayan di Bengkulu menggelar aksi pembentangan spanduk raksasa berukuran 20×12 meter, bertuliskan “Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami”, di perairan dekat PLTU tersebut.

Baca juga: Koalisi #BersihkanIndonesia Anggap PLTU Teluk Sepang Hancurkan Biodiversitas Indonesia

Pembentangan spanduk raksasa ini dilakukan bersamaan dengan peresmian tugu Ibu Pendiri Negara, Fatmawati oleh Presiden Joko Widodo di Bengkulu.

Sebuah spanduk raksasa bertuliskan "Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami", dibentangkan di atas perairan di dekat PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Koalisi Langit Biru

“Ibu Fatmawati adalah ibu yang menjahit bendera Indonesia sehingga bangsa ini bisa meraih kemerdekaan. Sayangnya Indonesia telah dicabik-cabik dengan kebijakan pembangunan PLTU batu bara kotor seperti proyek PLTU Teluk Sepang ini. Jokowi telah memupus harapan masyarakat bumi Raflesia untuk bisa menghirup udara bersih,” kata Ali Akbar Direktur Kanopi Bengkulu, Rabu (5/2/2020).

Ali Akbar menjelaskan, sejak awal perencanaan hingga pembangunannya, Koalisi Langit Biru menganggap PLTU ini adalah pilihan buruk dalam memenuhi kebutuhan listrik di Bengkulu dan Sumatera umumnya. Alasannya, karena proyek ini dipenuhi banyak masalah. Seperti maladministrasi yang dinyatakan Ombudsman RI, klaim persetujuan warga, melanggar tata ruang, menghancurkan sumber nafkah petani, menghilangkan kawasan hutan mangrove, serta telah berhasil menciptakan konflik sosial di Teluk Sepang.

“Ini adalah jalan sesat sumber energi listrik. Kematian 28 ekor penyu yang diduga kuat disebabkan oleh proses uji coba PLTU ini, seharusnya menjadikan semua pihak meletakkannya sebagai fondasi kesadaran untuk mengevaluasi ulang seluruh PLTU batu bara ini.”

Ali Akbar mengatakan, pemerintahan kedua Presiden Jokowi saat ini terkesan “kecanduan” dengan energi fosil kotor dan mempercepat pelaksanaan program 35 ribu MW, yang sebagian besar energi baurannya bersumber pada batu bara dan fosil. Apabila PLTU Teluk Sepang dengan kapasitas 2 x100 MW  ini diresmikan, maka yang terjadi adalah bentuk nyata bahwa pemerintah lebih membela investor daripada keselamatan lingkungan dan warga.

“Pemerintah sendiri menyebut bahwa rasio elektrifikasi di Bengkulu telah mencapai 100% pada awal 2019. Jadi investasi pembangunan PLTU Teluk Sepang ini untuk siapa? Ini jelas bukan untuk masyarakat tapi untuk kepentingan industri yang risikonya ditanggung oleh keragaman hayati laut dan ratusan ribu warga di Kota Bengkulu.”

Ahmad Ashov Birry dari #BersihkanIndonesia menambahkan, pembangunan PLTU Teluk Sepang ini adalah tipikal kebijakan pemerintah yang didukung oleh oligarki batu bara. Kebijakan ini diperparah dengan investasi Cina yang tidak menganggap penting pada aspek lingkungan dan masyarakat.

“Sementara masyarakat akan menanggung biaya yang melekat dari investasi PLTU ini dengan nilai yang begitu mahal seperti kesehatan dan lingkungan,” kata Ahmad Ashov Birry.

Ashov mengungkapkan, protes dan penolakan masyarakat atas pembangunan PLTU batu bara seperti di Teluk Sepang juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Di antaranya terhadap PLTU Nagan Raya di Aceh, hingga PLTU Celukan Bawang, Bali serta Panau, Sulawesi Tengah. Hampir di semua proyek pembangunan PLTU ditolak karena sejarah dampak kerusakannya terhadap kesehatan dan lingkungan yang tidak terbantahkan lagi.

“Apa yang kini tengah dibangun Presiden Jokowi tidak lain adalah bangunan sistem yang hanya menopang kepentingan segelintir pengusaha dan politisi di dunia ekstraktif. Padahal keinginan masyarakat untuk Indonesia beralih ke energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan terus tumbuh dan menguat.”