LIPUTAN KHUSUS:
Kedok Investasi dalam Pengesahan RUU Sumber Daya Air
Penulis : Redaksi Betahita
Betahitai.id – Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan ada kedok investasi dalam pengesahan RUU Sumber Daya Air. “RUU tersebut, hanya menjadikan negara sebagai kedok karena memberikan ruang yang tidak jauh berbeda kepada swasta,” katanya Kamis 19 September 2019. Pada 17 September 2019, DPR-RI mengesahkan RUU
Uncategorized
Jumat, 20 September 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahitai.id – Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan ada kedok investasi dalam pengesahan RUU Sumber Daya Air. “RUU tersebut, hanya menjadikan negara sebagai kedok karena memberikan ruang yang tidak jauh berbeda kepada swasta,” katanya Kamis 19 September 2019.
Pada 17 September 2019, DPR-RI mengesahkan RUU Sumber Daya Air yang telah disetujui bersama dengan Pemerintah. Pengesahan RUU berada di ujung masa jabatan DPR-RI yang akan habis pada 30 September 2019 mendatang.
Proses pengesahan dinilai Walhi dilakukan secara terburu-buru dan tidak mengakomodir kritik terhadap proses formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara substansi juga tidak memperlihatkan keberpihakan Negara terhadap kewajiban pemenuhan hak rakyat atas air.
Walhi melihat RUU yang akan segera berubah menjadi UU ini hanya berkedok kepentingan rakyat, namun secara substansi ia memuat ketentuan yang membuka ruang investasi baru dan keterlanjuran investasi sumberdaya air yang sudah meluluhlantahkan pemenuhan hak rakyat atas air. RUU ini secara substansi masih mempunyai nafas yang sama dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang telah dibatalkan Mahkamah Konsitusi pada 2015.
Sebagai catatan, pada 18 Februari 2015, MK melalui Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 menyatakan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA)bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat pengelolaan air harus didasarkan 5 kriteria pembatasan.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu Hak Asasi Manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 harus menjadi tanggung jawab pemerintah.
Ketiga, pengelolaan air harus mengingat kelestarian lingkungan.
Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan pengendalian oleh negara secara mutlak.
Kelima, air sebagai kelanjutan dari hak menguasai negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.
Kritik Atas Pengesahan RUU Sumberdaya Air
Menurut Wahyu, secara umum RUU SDA yang sudah disahkan ini masih memiliki catatan permasalahan mendasar. Pertama, RUU hanya mengatur perintah MK secara normatif tanpa rumusan yang tegas terkait implementasi perintah tersebut. Kedua,hanya menjadikan penguasaan negara sebagai kedok, karena memberikan ruang yang tidak jauh berbeda kepada swasta. Hal ini masih sama seperti pengaturan dalam UU SDA 7/2004.
Ketiga, RUU yang telah disahkan ini masih memandang air sebagai komoditas, bukan sebagai ekosistem yang utuh. Tidak ada pengaturan yang tegas mengenai prinsip-prinsip perlindungan dan evaluasi keterlanjuran kebijakan privatisasi air yang sedang berlangsung. Seharusnya, ada perumusan norma pengawasan dan evaluasi, yang apabila hendak disederhanakan ia bisa merujuk secara penuh pada norma yang diatur oleh UU Nomor 32/2009 tentang PPLH.
Berdasarkan pengalaman selama 2 tahun secara intens mengawal proses pembahasan RUU Air, WALHI memandang tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan ini hanya menghindari kekalahan apabila kembali diuji di MK. Hal ini sejalan dengan pernyataan beberapa Tenaga Ahli DPR, Respon Pemerintah dan anggota DPR dalam proses yang berlangsung selama 2 tahun ini.
Hal ini yang menjadikan RUU SDA sangat bergantung pada Peraturan Pemerintah. Kondisi ini juga memperlihatkan seolah DPR RI mengkembiri haknya dalam proses legislasi, dan memberikan kewenangan terlalu berlebih kepada Pemerintah/ Presiden untuk merumuskan aturan operasional pengelolaan SDA.
Merujuk pada cita pembentukan Indonesia dalam Pembukaan UUD NRI 1945, RUU ini sama sekali tidak mencerminkan semangat untuk melahirkan kesejahteraan (social welfare) dan memberikan perlindungan (social defence) kepada warga negara dan ekosistem air. Air sebagai sumber kehidupan utama (common goods) tidak diperhatikan, rumusan RUU cenderug mengedepankan kepastian hukum guna memastikan bagaimana investasi dapat berjalan. Selanjutnya, RUU juga salah mendefenisikan apa yang dimaksud dengan air sebagai bagian dari hak menguasai negara.
WALHI memberikan kritik dan kesalahan perumusan norma dalam RUU SDA yang sudah disahkan tersebut. Pertama, mempersulit model pengakuan masyarakat hukum adat (MHA). Perumusan norma pengakuan dan perlindungan MHA pada Pasal 9 ayat (3)ditentukan melalui Peraturan Daerah. Pengaturan ini tentu tidak belajar dari kondisi faktual dan petunjuk MK yang menegaskan bahwa “pengukuhan masyarakat hukum adat harus dimaknai tidak bersifat konstitutif, melainkan deklaratif.†Sehingga, rumusannya seharusnya bisa diatur secara alternatif dengan memperhatikan kondisi faktual melalui pernyataan suatu instansi tertentu atau melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Tidak dirumuskan tunggal seperti pengaturan pada RUU yang telah disahkan ini.
Kedua, tidak ada mekanisme pengawasan secara jelas dan tegas. Pasal 56 ayat (3) malah menentukan pengawasan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Apabila para pembuat undnag-undang lebih cermat dan teliti, rumusan norma pengawasan bisa diatur dalam RUU dengan mengadopsi, baik secara penuh maupun dengan modifikasi pengaturan pada UU No. 32 /2009 tentang PPLH. Sehingga, jelas kewenangan pengawasan lebih spesifik antara kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah.
Ketiga, perumusan konservasi air masih konservasionistik dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal maupun masyarakat adat secara komunal, pendekatanya masih individual sehingga berpotensi multi tafsir dan rawan disalahgunakan untuk kriminalisasi (pengaturannya bisa diperhatikan pada Pasal 24 s/d 27).
Keempat, secara kelembagaan, RUU tidak menentukan K/L khusus sebagai pemimpin operasionalisasi pengelolaan dan hal urgen lain terkait SDA. Sehingga ada potensi tumpang tindih kewengan lintas K/L.
Kelima, perizinan RUU SDA yang sudah disahkan emnyamakan perizinan perizinan guna penggunaan kebutuhan usaha dan kebutuhan bukan usaha pengusahaan air. Bahkan rumusannya membatasi inovasi rakyat dalam pengelolaan air, potensi kriminalisasi meningkat, khususnya kepada rakyat yang belum mendapatkan fasilitasi pemerintah (pengaturan Pasal 44 dan 45 jo. Pasal 69).
Keenam, pintu swasta dan/ atau skema public private partnership dibuka. Dirumuskan prioritas perizinan untuk BUMN, BUMD dan BUMDes. Selanjutnya, dirumuskan kriteria Pada pasal 46 diatur prinsi syarat tertentu dan ketat pemberian perizinan kepada swasta, namun berdasarkan kondisi faktual kemampuan negara untuk mensupport hal ini diragukan, sehingga peran swsasta dikhawatirkan masih dominan atau dikedokkan dengan skema kerja sama. Selenjutnya pengaturan Sistem Penyediaan Air Minum, tidak membuka peluang swasta, namun dalam penjelasaannya ia dikecualikan untuk kategori air minum dalam kemasan, sehingga hal ini dapat dilakukan swasta secara mandiri atau skema PPP.Penyerahan pengaturan-pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah berpotensi membuka peluang swastanisasi sumberdaya air terselubung.
Ketujuh, engurangi tindakan afirmatif, dengan memasukkan bea konservasi sebagai bagian dari BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air).
Delapan, tidak merumuskan skema dan model pengawasan negara secara detail, seharusnya bisa merujuk pad pengaturan UU PPLH. Selanjutnya, RUU juga tidak mengatur ketentuan evaluasi perizinan yang sudah ada, apakah ia masih layak dipertahankan atau tidak;
Sembilan, perumusan partisipasi rakyat dan hak veto rakyat untuk perizinan penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha air secara ambigu. Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya air hanya dalam bentuk penyampaian aspirasi, pemberian tanggapan, tanpa hak penolakan (Pasal 63 ayat 3). Selanjutnya, penolakan terhadap perizinan tersebut hanya diberikan untuk aktivitas swasta, tidak untuk perizinan yang diperoleh BUMN, BUMD dan BUMDes. Selanjutnya, penjelasan Pasal 51 mendefensikan ulang kata persetujuan dengan memaknainya sebagai hasil pertemuan tanpa menegaskan yang dimaksud peresetujuan adalah memperbolehkan atau tidak perizinan di lokasi masyarakat. Penolakan terhadap perizin swasta juga direduksi dengan memaknai pemangku kepentingan sebagai perwakilan kelompok masyarakat, sehingga rawan ditafsirkan meluas dan dimanipulasi;
Sepuluh, hanya mengandalkan penegakan hukum melalui istrumen hukum pidana. Tidak mengatur secara tegas penyelesaian sengketa atau pelanggaran hukum secara detail dalam skema keperdataan. Tidak dirumuskan skema pertanggungjawaban ketat. Bahkan skema pengawasan dan penegakan hukum administrasi hampir tidak ada dirumuskan dalam RUU. Perumusan ketentuan pidana juga rawan dipergunakan untuk mengkriminalisasi rakyat;
Sebelahs Ketentuan peralihan dan ketentuan penutup RUU yang disahkan ini melegalkan keterlanjurran perizinan swatanisasi dan privatisasi yang sudah ada. Ia menegaskan berlakunya izin yang sudah ada sebelum RUU disahkan, namun tidak memberikan perintah untuk melakukan penyesuaian dengan undang-undang yang baru. Hal ini sama artinya, praktik buruh investasi SDA yang sudah berlangsung dibiarkan terjadi tanpa harus melakukan penyesuaian.
Langkah selanjutnya, Wahyu menerangkan bahwa Walhi akan mempersiapkan langkah hukum untuk mengatisipasi kerugian lingkungan dan rakyat pasca RUU ini diundangkan dan dicatatkan dalam lembaran negara.