LIPUTAN KHUSUS:
Sanksi Pelaku Karhutla Makin Berat, Kebakaran Makin Meluas
Penulis : Redaksi Betahita
Rasio Ridho Sani mengatakan, pelaku kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan dikenai sanksi lebih berat.
Karhutla
Selasa, 03 September 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Rasio Ridho Sani mengatakan, pelaku kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan dikenai sanksi lebih berat, melalui penggunaan pasal berlapis dari Undang-Undang (UU) 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satu pasal yang akan ditambahkan adalah pasal pidana perampasan keuntungan. Sebagaimana diatur dalam pasal 119 huruf (a) UU 32/2009 bahwa, selain pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
Baca Juga: Hutan dan Lahan Provinsi Riau Rawan Karhutla
Menurut Rasio, yang akrab dipanggil dengan Roy, pasal tersebut baru digunakan pertama kalinya untuk kasus karhutla pada 2019. Sebelumnya, Gakkum KLHK menitikberatkan penegakan hukum menggunakan pasal yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan serta kerusakan lingkungan.
“Kami belajar dari pengalaman sebelumnya. Karena itu kami kenakan penegakan hukum pidana yang lebih keras terhadap para pelaku karhutla, termasuk korporasi yang masih membakar hutan dan lahan. Kami akan gunakan pasal berlapis,” kata Roy dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019.
Roy menjelaskan, selama ini pihaknya bekerja menggunakan tiga instrumen. Pertama, ada instrumen administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Lalu, ada instrumen gugatan perdata atau penyelesaian sengketa di pengadilan. Terakhir, instrumen penegakan hukum pidana.
Roy menambahkan, selama ini penegakan hukum kasus karhutla biasanya dimulai dengan sanksi administratif. Akan tetapi, mulai tahun 2019, kasus karhutla dapat langsung ditempuh dengan pengenaan pasal tindakan pidana. Baru kemudian disusul dengan sanksi perdata maupun administratif.
“Kami akan gunakan semua instrumen yang ada baik administratif, perdata, maupun pidana. Ini untuk menghasilkan efek jera. Lalu, pada saat putusan pengadilan perdata sudah inkracht, kami akan meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk memblokir akta perusahaan. Supaya tidak ada pemindahan sebelum eksekusi putusan dan prosesnya bisa cepat,” tuturnya.
Baca Juga: Atasi Karhutla dengan Halo-halo Karhutla
Selain itu, Roy mengatakan pihaknya juga mendorong pemerintah daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur untuk menggunakan wewenangnya untuk mengawasi maupun menindak pelaku karhutla.
“Prinsipnya, siapa yang mengeluarkan izin berwenang melakukan pengawasan dan melakukan tindakan pencabutan izin. Namun, berdasarkan undang-undang lingkungan, Menteri diberikan wewenang untuk menerapkan penegakan hukum lapis kedua. Kalau pemberi izin tidak melakukannya, maka Menteri punya kewenangan untuk itu,” kata Roy.
“Namun, saat ini kami juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah hukum, termasuk penerapan sanksi administratif seperti pembekuan izin. Hal ini sudah kami lakukan bersama dengan Pemda Kalimantan Barat,” katanya.
Meski ancaman makin berat, namun karhutla tahun ini lebih buruk dari 2017 dan 2018. Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles B Panjaitan, mengatakan, untuk periode Januari-Juli 2019, luas karhutla mencapai 135.748 hektare. Angka tersebut naik dua kali lipat dibandingkan dengan karhutla 2018 pada periode yang sama yakni, 71.959 hektare. Angka itu pun telah mencapai 80 persen dari total luas karhutla tahun 2017 periode Januari-Desember, yakni 165.484 hektare.