LIPUTAN KHUSUS:
Surat Edaran Kemenko Perekonomian Soal HGU Sawit Dinilai Pembangkangan
Penulis : Redaksi Betahita
Betahita – Surat Edaran No. TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019 yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Perekonomian tentang larangan membuka data dan informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, dinilai sebagai pembangkangan terhadap perintah Mahkamah Agung dan juga komitmen Presiden Jokowi. Baca Juga: Surat Edaran Pelarangan Buka Data HGU Sawit Tuai Kecaman Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan,
Konservasi
Selasa, 14 Mei 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita – Surat Edaran No. TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019 yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Perekonomian tentang larangan membuka data dan informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, dinilai sebagai pembangkangan terhadap perintah Mahkamah Agung dan juga komitmen Presiden Jokowi.
Baca Juga: Surat Edaran Pelarangan Buka Data HGU Sawit Tuai Kecaman
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan, surat edaran yang ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdalifah Machmud, tersebut adalah langkah mundur di tengah menguatnya desakan masyarakat terhadap keterbukaan informasi publik.
Surat tersebut ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit tertanggal 6 Mei 2019. Menurut Musdalifah, seperti dikutip CNN, mengatakan, penjagaan kerahasiaan data dan informasi kelapa sawit penting bagi ketahanan ekonomi nasional dan dalam rangka perlindungan kekayaan alam Indonesia.
Namun menurut Rukka, surat edaran tersebut justru menunjukkan arogansi pemerintah yang tidak menghormati hukum, terutama putusan Mahkamah Agung agar pemerintah membuka data HGU kepada publik.
“Surat tersebut juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap komitmen Presiden dalam mempercepat pelaksanaan Reforma Agraria, Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Indonesia,” kata Rukka, Kamis (9/5/2019).
Rukka menambahkan, berdasarkan fakta-fakta di atas, mengingat pula Pasal 3 PP 61/2010 jo Pasal 10 (1) dan 11 (2) UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Yang mana Badan Publik wajib membuka informasi publik, termasuk data HGU, jika kepentingan publik lebih besar dan urgent bahkan sudah mendapatkan putusan pengadilan. Maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menghindari penyelesaian konflik agraria hingga ke akar masalahnya.
“Yakni masalah ketidakadilan sosial akibat massivenya pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan. Ragam keistimewaan pada pengembangan industri sawit ini berbanding terbalik dengan upaya pengakuan hak-hak petani dan masyarakat adat. Hingga kini puluhan ribu desa, wilayah adat, garapan petani, dan kebun rakyat berada dalam klaim HGU perusahaan.”
Di sisi lain, lanjut Rukka, langkah ini menunjukkan bahwa Kemenko Perekonomian belum memahami reforma agraria yang menjadi prioritas nasional bagi kepentingan rakyat. Termasuk peran penting dan gentingnya sebagai Ketua Tim Reforma Agraria Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 86/2018 tentang Reforma Agraria.
“Termasuk pengabaian hak-hak petani atas tanah yang sudah dijamin oleh UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Terlebih Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan kementerian terkait untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria, termalsuk perintah mencabut izin/HGU perusahaan bila ditemui di dalamnya terdapat desa-desa dan tanah-tanah masyarakat,” ujar Rukka.