LIPUTAN KHUSUS:

COP24, Ini Harapan Pemerintah Indonesia


Penulis : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pemerintah Indonesia berharap Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-24 atau  COP 24 di Katowice, Polandia, menghasilkan panduan operasional Persetujuan Paris, yang kelak dinamai “Katowice Rulebook”. Namun, negara-negara peserta konferensi belum menyepakati sejumlah hal yang akan menjadi bagian “Katowice Rulebook”. Baca juga: Walhi: Target Pengurangan Emisi Karbon Indonesia Masih Rendah “Status negosiasi tersebut banyak isu yang belum

Lingkungan

Jumat, 14 Desember 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pemerintah Indonesia berharap Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-24 atau  COP 24 di Katowice, Polandia, menghasilkan panduan operasional Persetujuan Paris, yang kelak dinamai “Katowice Rulebook”. Namun, negara-negara peserta konferensi belum menyepakati sejumlah hal yang akan menjadi bagian “Katowice Rulebook”.

Baca juga: Walhi: Target Pengurangan Emisi Karbon Indonesia Masih Rendah

“Status negosiasi tersebut banyak isu yang belum disepakati. Targetnya pada 5 Desember kemarin semua dokumen negosiasi sudah selesai. Ternyata kemarin masih belum semuanya, termasuk kerangka transparansi,” kata Ketua Tim Negosiator Indonesia di COP 24, Nur Masripatin, di Katowice, Polandia, Kamis, 7 Desember 2018.

Menurut Nur, salah satu hal yang paling alot dibahas adalah transparansi. Setiap negara, kata Nur, dituntut untuk menyediakan aksinya menanggapi perubahan iklim, baik itu mitigasi maupun adaptasi. Selain itu, dukungan negara maju ke negara berkembang berupa pendanaan, teknologi, dan penguatan kapasitas. “Yang sangat kritis itu pendanaan karena ada kewajiban negara maju untuk melaporkan dukungan yang diberikan dan dukungan yang dimobilisasi,” kata Nur.

Selain itu, soal proyeksi ke depan. Menurut Nur, negara maju menolak membahas proyeksi ke depan karena hal ini terkait dengan politik dalam negeri. “Mereka bilang ganti pemerintahan itu ganti kebijakan. Contohnya, Trump yang menarik diri. Brasil juga akan menarik diri,” ujarnya.

Nur mengatakan, negara berkembang menginginkan jaminan dukungan dari negara maju karena untuk melanjutkan komitmennya menurunkan emisi tak bisa lepas dari dukungan negara maju. Saat negara berkembang melaporkan upaya yang telah mereka tempuh dan apa yang dibutuhkan, negara maju menganggap hal tersebut urusan negara berkembang. “Negara maju menganggap memang di Paris Agreement tertulis ‘should’, bukan ‘shall’. Jadi itu sunah,” kata Nur.

Konferensi Perubahan Iklim di Paris pada 2015 atau COP 21 menghasilkan Kesepakatan Paris. Sejumlah poin yang disepakati di antaranya mengurangi emisi untuk menekan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan hingga 1,5 derajat Celcius hingga menyediakan bantuan untuk negara berkembang untuk mendanai upaya mengerem kenaikan suhu. Konferensi tersebut mengamanatkan bahwa tenggat untuk membuat panduan operasional kesepakatan tersebut adalah pada COP 24.

Nur melanjutkan, setelah Persetujuan Paris sebenarnya ada perubahan fokus menghadapi perubahan iklim. “Setelah Paris Agreement itu jelas: 50 persen adaptasi, 50 persen mitigasi. World Bank juga akan fokus ke adaptasi,” katanya. Sehingga, pendanaan yang dibutuhkan tersalurkan merata ke dua upaya tersebut.

Ia mencontohkan kasus hilangnya sebuah desa di kawasan Pantai Utara Jawa. Perubahan iklim menaikkan permukaan air laut. Mestinya, kata Nur, pertahanan pantai ada dua: bakau dan terumbu karang. Tapi di berbagai belahan dunia terumbu karang sudah mengalami kerusakan sehingga pertahanan bergeser ke bakau. Ketika bakau rusak, daratan tak punya pertahanan lagi. “Jadi adaptasi itu untuk melindungi pantai,” kata Nur.

Negara berkembang, kata Nur, khawatir bahwa pendanaan dari negara maju tak terjamin. “Padahal sudah jelas kalau adaptasinya berhasil akan mengurangi cost mitigasi dan rekonstruksi dan sebagainya kalau terjadi bencana iklim.”

TERAS.ID | TEMPO.CO