LIPUTAN KHUSUS:
Andil PT Toba Pulp Lestari dalam Banjir Bandang Sumut
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Investigasi yang dilakukan Auriga Nusantara dan Earthsight mengidentifikasi adanya ratusan hektare deforestasi, yang patut diduga ilegal, di dalam konsesi PT TPL yang terjadi di bagian hulu salah satu daerah terdampak bencana paling parah.
SOROT
Rabu, 31 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebanyak 1.141 jiwa hilang akibat bencana alam banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut), sejak Siklon Senyar menerjang pada 26 November 2025. Bukti yang ditemukan kelompok masyarakat sipil mengarah pada dugaan adanya peran sejumlah korporasi di balik terjadinya bencana tersebut.
Salah satu perusahaan dimaksud adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan perkebunan kayu yang menguasai lahan kawasan hutan seluas sekitar 167.212 hektare di Sumatera Utara (Sumut). Areal kerja perusahaan penghasil bubur kayu (pulp) ini termasuk di Tapanuli, khususnya di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, kawasan yang menjadi salah satu pusat bencana banjir dan longsor parah di Sumut.
Hingga 30 Desember 2025, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 251 jiwa melayang akibat bencana banjir dan longsor yang terjadi di tiga kabupaten yang masuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru tersebut. Di daerah ini arus banjir yang deras membawa sejumlah besar kayu gelondongan, yang sempat viral di media sosial.
Andil perusahaan yang disebut terafiliasi dengan taipan Sukanto Tanoto dalam kejadian bencana ekologis ini juga diendus oleh pemerintah. Pada 15 Desember 2025, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan bahwa presiden telah memerintahkan audit dan evaluasi terhadap PT TPL.
Selain itu, perusahaan yang mengoperasikan pabrik bubur kayu di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, ini juga masuk dalam tujuh perusahaan yang disebut oleh Walhi Sumut sebagai pihak yang berkontribusi terhadap banjir dan longsor di Tapanuli, melalui aktivitasnya yang menyebabkan kehilangan hutan alam dan kerusakan ekosistem.
Investigasi yang dilakukan Auriga Nusantara dan Earthsight baru-baru ini juga menemukan bukti-bukti yang mendukung dugaan tersebut. Dalam laporannya, dua kelompok masyarakat sipil lintas benua tersebut menyebut telah mendokumentasikan adanya hamparan luas hutan alam dilindungi yang dibabat di bagian hulu area bencana, termasuk pada lereng curam, dalam konsesi PT TPL, serta area longsor bersebelahan dengan area deforestasi tersebut.
“Analisis kami terhadap citra satelit untuk area berhutan di dataran tinggi DAS Batang Toru, DAS Sibundong, dan DAS Kolang pada tahun-tahun sebelum bencana mengidentifikasi tiga blok deforestasi besar atau penebangan terbaru” sebut Auriga Nusantara dan Earthsight dalam laporannya yang dirilis pada 30 Desember 2025.
“Salah satunya berada pada satu sektor konsesi TPL, yang mana perusahaan ini memiliki izin mengembangkan kebun kayu monokultur eucalyptus guna memasok pabrik pulp besarnya,” imbuh mereka.
Dalam laporan berjudul “Keterhubungan PT Toba Pulp Lestari dengan Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera Utara” itu, Auriga/Earthsight mengatakan menemukan hutan belantara dataran tinggi alami seluas 758 hektare telah dibabat di Sektor Aek Raja konsesi TPL, dalam rentang Maret 2021 hingga 1 Desember 2025. Penebangan skala besar dan pembuldoseran hutan alam bahkan meluas hingga 125 hektare ke luar konsesi.
Secara keseluruhan, area yang dibabat ini mencapai 3 kali luas kawasan Gelora Bung Karno. Setelah berlangsung dengan kecepatan stabil selama beberapa tahun, deforestasi ini melonjak pesat pada beberapa pekan menjelang terjadinya bencana, mencapai seluas satu lapangan bola setiap hari.
Deforestasi ini berlanjut hingga November 2025, tepat sebelum bencana banjir dan longsor terjadi. Citra satelit 1 Desember 2025, tak berselang lama setelahnya, memperlihatkan adanya longsor yang terjadi bersebelahan dengan area deforestasi tersebut
Berdasarkan peta yang diterbitkan Pemerintah Indonesia, area ini, yang mencakup area-area terjal, sangat berisiko longsor. Sejalan dengan itu, konsesi TPL di daerah ini berada dalam kawasan hutan produksi terbatas, yang mana pembabatan hutan biasanya tidak diizinkan.
“TPL sendiri menyadari situasi ini dengan menyampaikan bahwa 11.315 hektare di dalam Sektor Aek Raja—seperempat dari sektor ini—merupakan Kawasan Hutan Lindung, namun berdasar peta yang tersedia ke publik deforestasi yang kami temukan ini justru terjadi di dalamnya. Dengan demikian, deforestasi ini tidak hanya destruktif, namun juga patut diduga sepenuhnya ilegal,” kata mereka.
Auriga/Earthsight melanjutkan, penilaian (assessment) PT TPL sendiri terhadap hutan-hutan existing dalam konsesinya, yang diterbitkan pada 2024, menyimpulkan area yang dibabat dalam konsesinya ini merupakan habitat satwa terancam punah, dan juga sangat penting untuk pengendalian erosi pada area-area rentan di kelerengan curam.
Peta habitat orangutan yang diterbitkan pada 2019 mengidentifikasi area deforestasi ini berpotensi sebagai habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), satu spesies unik yang hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru dan merupakan yang paling terancam punah dari seluruh kera besar.
Foto udara hamparan tanaman eukaliptus muda di areal izin PT TPL. Foto: Auriga Nusantara.
Menanggapi temuan Auriga/Earthsight, PT TPL menyebut tidak mengidentifikasi adanya pembabatan hutan seluas 883 hektare di area yang dirujuk. TPL justru merujuk area di dekatnya yang disebut dikelola masyarakat, yang disebut dikelola di bawah skema kemitraan kehutanan (forest partnership scheme), yang diimplementasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Peta kemitraan kehutanan yang disampaikan PT TPL berada di sebelah utara area deforestasi yang dideteksi Auriga/Earthsight, dan tidak tumpang-tindih sama sekali,” kata Auriga/Earthsight.
Lebih lanjut, TPL menyampaikan bahwa berdasarkan data spasial, hidrografi, topografi, dan operasional, tidak ada longsor atau banjir yang dapat dikaitkan dengan aktivitas perusahaan. Namun bukti yang disampaikan TPL hanya mengenai kebun kayunya di Tapanuli Selatan dan lokasi banjir di DAS Nabirong dan di anak-anak sungai Batang Toru di Sipirok.
Padahal, lanjut Auriga/Earthsight, pihaknya tidak sedang menuduh banjir di area tersebut berkorelasi dengan aktivitas TPL di Sektor Aek Raja di Tapanuli Utara, karena area yang dideteksi Auriga/Earthsight ini bukan merupakan hulu sungai-sungai di Tapanuli Selatan tersebut, melainkan bahwa aktivitas di Sektor Aek Raja berkorelasi dengan longsor dan banjir Aek Raja dan sekitarnya.
PT TPL juga mengatakan tidak menebang hutan alam, mematuhi seluruh peraturan terkait, dan melindungi hutan bernilai konservasi tinggi.
Pada 6 Desember 2025, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengumumkan telah menyegel lima lokasi di Tapanuli yang teridentifikasi berpotensi berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor ini, termasuk dua lokasi di dalam konsesi TPL.
Menurut Kemenhut, penyegelan tersebut bertujuan untuk mengamankan lokasi, mencegah kegiatan lanjutan yang dapat memperparah kondisi, serta untuk memperoleh bukti-bukti hukum yang kuat untuk proses penegakan hukum lebih lanjut.
Ditjen Gakkum menyatakan sedang berkoordinasi dengan Kepolisian untuk bersama-sama-sama melakukan penindakan pidana terhadap pihak-pihak yang diduga berkontribusi terhadap bencana banjir, termasuk penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menelusuri dan menyita aset.
Perihal tindakan Pemerintah Indonesia itu, PT TPL menyampaikan kepada Auriga/Earthsight bahwa perusahaan telah melaksanakan semua kegiatan sesuai dengan peraturan perundangan, dan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah adalah bagian dari proses pengumpulan informasi dan melengkapi bukti-bukti, yang bukan sebagai bentuk sanksi atau penetapan pelanggaran yang telah terbukti.
Dugaan deforestasi dan pelanggaran HAM yang berulang
Tampak dari ketinggian bekas penebangan hutan alam di konsesi PT TPL, didokumentasikan pada 18 Desember 2025. Foto: Auriga/Earthsight.
Deforestasi di area ini juga pernah diekspos sebelumnya. Pada Juli 2024 Rainforest Action Network (RAN) melaporkan adanya deforestasi di Sektor Aek Raja pada rentang 2015-2023. Menanggapinya, TPL menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan perambahan liar dan illegal logging oleh pihak ketiga, serta mengaku telah melaporkannya ke pihak berwenang pada 2023.
Namun, argumen seperti itu rasanya tidak berlaku untuk temuan Auriga/Earthsight ini. Analisis citra satelit mengindikasikan kegiatan pembukaan lahan tersebut merupakan pola yang biasa terjadi pada kegiatan pembangunan kebun kayu skala industri, bukan oleh perambahan pertanian skala kecil (smallholder) yang biasanya dalam luasan kecil dan sporadis.
Bukan pula pola degradasi yang biasa terjadi pada kegiatan tebang pilih, ataupun pembalakan liar (illegal logging). Selain tidak ada pemukiman di daerah tersebut, tentu dibutuhkan modal dan upaya besar membangun jalan akses, sekitar 30 km, apalagi harus melalui medan terjal dan butuh jembatan untuk menyeberangi banyak sungai dan anak sungai. Setidaknya dibutuhkan 2.000 truk besar untuk mengangkut kayu-kayu tebangan tersebut.
Bukti-bukti yang dikumpulkan Auriga/Earthsight melalui pemantauan lapangan pada Desember 2025 meneguhkan skala industrial kegiatan tersebut. Di momen yang sama tim pemantau lapangan juga mendokumentasikan adanya longsor yang patut diduga disebabkan atau berkorelasi dengan kegiatan-kegiatan tersebut.
“Kami juga mendokumentasikan adanya kegiatan logging di lereng yang sangat curam, hal yang tidak dibolehkan oleh regulasi,” kata Auriga/Earthsight.
Tak hanya itu. Kunjungan lapangan, lanjut mereka, juga mendokumentasikan keberadaan alat berat dan gelondongan kayu alam—tanpa tanda-tanda keabsahan yang diwajibkan regulasi—yang ditumpuk di pinggir jalan dan berdekatan dengan tanaman eucalyptus. Akan sangat aneh bila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan leluasa oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan TPL.
Selain itu, Auriga/Earthsight melanjutkan, banyak area deforestasi dan bekas tebangan (logging) yang lantas berganti menjadi tutupan eucalyptus yang hamper bisa dipastikan merupakan tanaman PT TPL. Citra satelit resolusi sangat tinggi (resolusi 0,5 meter) per September 2025 juga menunjukkan area-area yang ditebang dan dibabat sebelumnya banyak yang berganti dengan tutupan kebun kayu monokultur—hal yang rasanya mustahil dilakukan pembalak liar.
“Bilapun illegal logging dan atau pembabatan hutan itu dilakukan pihak ketiga, TPL bisa saja mencegahnya dengan, sebutlah, memasang portal pada jalan yang menuju lokasi tersebut sehingga truk dan alat berat tidak bisa masuk atau keluar dari lokasi,” kata mereka.
Tak hanya itu, menurut Auriga/Earthsight, PT TPL tak bisa lepas tangan atas kegiatan tersebut karena memiliki tanggung jawab hukum atas kerusakan lingkungan atau deforestasi yang terjadi di dalam konsesinya. Laporan perusahaan yang diterbitkan pada 2024 juga menegaskan komitmen “melindungi kawasan hutan dari aktivitas ilegal.” Setidaknya, TPL gagal memenuhi hal tersebut.
Informasi dari tempat lain di Sumut mengindikasikan kejadian seperti ini bukan semata kelalaian, tapi terbuka kemungkinan illegal logging diundang atau dibiarkan terjadi, kemudian perusahaan menangguk keuntungan ketika pemerintah memberikan lampu hijau “penghutanan kembali” dengan tanaman monokultur eucalyptus. Dengan cara itu, perusahaan dapat terus memperluas kebun kayu eucalyptus sembari mengklaim tidak melakukan deforestasi.
Temuan-temuan kunjungan lapangan dan analisis Auriga/Earthsight. Gambar latar: citra satelit Sentinel per 27 Oktober 2025, sebelum adanya bencana banjir dan longsor.
Auriga/Earthsight mengatakan, bukti lain yang sejalan dengan dugaan temuan ini dapat dilihat dalam dokumen perusahaan yang diterbitkan pada 2024 dan satu laporan audit Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di tahun yang sama. Kedua dokumen tersebut merujuk kegiatan “pemulihan” atau “pengayaan” (dengan menanami monokultur eucalyptus) oleh TPL pada hutan lindung di dalam konsesinya. Tidak ada penjelasan di dalam dokumen tersebut kenapa hutan lindung perlu “dipulihkan”, namun illegal logging oleh pihak ketiga yang misterius bisa jadi alasannya.
Menanggapi Auriga/Earthsight, TPL mengaku melakukan penanaman eucalyptus di area yang rusak oleh kegiatan pihak ketiga yang tidak sah, namun menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban perusahaan sebagaimana perizinannya. Perusahaan menyatakan bahwa “penafsiran apapun yang menyamakan … kegiatan rehabilitasi atau pengayaan (di area terganggu tersebut) sebagai pengakuan keterlibatan TPL dalam illegal logging adalah tidak akurat.”
Terkait hal ini, Auriga/Earthsight merasa heran dengan peran para pemegang otoritas, terutama Direktorat Jenderal Produksi Hutan Lestari dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, terhadap semua kejadian ini. Mereka mempertanyakan mengapa dua direktorat jenderal tersebut tidak melakukan upaya penghentian illegal logging, bila benar PT TPL telah melaporkan kejadian tersebut pada 2023.
“Kenapa pemerintah tidak bertindak? Kenapa TPL tidak terus mendesak pemerintah bertindak kalau tak kunjung hadir penanganannya?” kata Auriga/Earthsight.
Auriga/Earthsight juga menanyakan kepada PT TPL, pihak berwenang mana saja yang dihubungi pada 2023 dan upaya tindak lanjut apa yang telah dilakukan perusahaan untuk memastikan adanya penanganan memadai. Sebagai jawabannya, PT TPL mengatakan kepada Auriga/Earthsight bahwa aktivitas ilegal tersebut dilaporkan kepada pihak berwenang terkait, dengan tembusan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah XII Tarutung, kepala desa dan camat pada 10 November 2023.
PT TPL tidak menyebut adanya komunikasi lebih lanjut, dan menolak membagi salinan laporan tersebut kepada Auriga/Earthsight dengan dalih “sedang dalam … proses penegakan hukum.” Bahkan, bila pun pihak berwenang tidak dilapori oleh TPL sebagaimana diklaimnya, adalah sebuah kelalaian luar biasa bila hal sebesar itu terjadi di depan mata otoritas sedemikian lama.
“Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki kenapa otoritas tutup mata selama ini. Sulit diterima akal sehat kejadian dengan skala seperti ini terjadi selama 4 tahun tanpa sepengetahuan atau bahkan keterlibatan PT Toba Pulp Lestari dan otoritas setempat,” kata Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara.
Sementara itu, PT TPL pun telah berulang kali dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konfliknya dengan masyarakat setempat. Dalam insiden terbaru pada 23 September 2025, sekitar 150 orang diduga pekerja, buruh harian lepas, dan satuan pengamanan TPL menyerang dan melukai sekitar 30 orang masyarakat adat Sihaporas, keturunan Ompu Mamontang Laut Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang sedang bertani di lahan kelola mereka tak terlalu jauh dari Danau Toba.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengecam keras kekerasan oleh PT TPL terhadap warga tersebut, dan menyatakan bahwa dalam insiden tersebut diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM, antara lain hak atas rasa aman, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, budaya, dan pelanggaran prinsip bisnis dan HAM sebagaimana termuat dalam United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights.
Rantai pasok kayu PT TPL
Tumpukan kayu alam tropis dalam konsesi TPL. Tampak tak ada label SVLK yang diharuskan regulasi mengindikasikan kayu ini hasil praktik illegal logging, didokumentasikan pada 18 Desember 2025. Foto: Auriga/Earthsight.
Dalam laporannya, Earthsight/Auriga menyebut telah menganalisis data yang dilaporkan perusahaan kepada pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), yang berisi informasi detail dari mana dan dalam jumlah berapa kayu gelondongan atau kayu setengah jadi ditampung sebuah industri.
“Kami tidak menemukan adanya kayu alam (berbeda dengan kayu tanaman) yang dilaporkan diterima pabrik TPL pada rentang 2021-2024,” kata mereka.
Earthsight mengestimasi sekitar 80.000 m3 kayu bulat tropis dari area deforestasi ini sebelum seluruh vegetasi yang ada di dalamnya dibabat habis (land clearing) pada rentang 2021-November 2025. Karena pabrik TPL tidak melaporkan adanya kayu seperti ini memasoknya.
Patut diduga kayu-kayu ini dikirim ke industri pengolahan kayu di tempat lain atau masuk dalam rantai pasok perusahaan tanpa dilaporkan ke RPBBI yang dikelola Kementerian Kehutanan.
Sementara itu, aliran produk pulp PT TPL mengalir jauh lebih jelas. Sebanyak 64% bahan baku yang dipakai pabrik TPL bersumber dari kebun kayu monokultur eucalyptus yang ditanamnya di dalam konsesi TPL di Sumut. Laporan tahunan terbaru TPL, yakni laporan tahunan 2024, menyebutkan bahwa 98,23% penjualan TPL ditujukan ke PT Asia Pacific Rayon (APR).
Perusahaan tersebut bagian dari grup usaha Royal Golden Eagle (RGE Group), salah satu grup usaha kebun kayu, kehutanan, dan sawit terbesar di Indonesia, yang kerap dituding terlibat deforestasi ilegal dan pelanggaran HAM pada 15 tahun terakhir.
APR memiliki pabrik berkapasitas 325.000 ton di Riau, yang memproduksi serat rayon viskosa (viscose rayon fibre) yang digunakan untuk pembuatan kain dan terbuat dari selulosa, biasanya serat kayu pulp. Laporan tahunan 2024 APR menyebutkan 43% bahan bakunya berasal dari TPL.
Produksi rayon untuk pakaian merupakan salah satu pengguna besar produk kayu, mengkonsumsi 200 juta pohon per tahun, menurut organisasi Canopy. Organisasi ini memperingatkan bahwa hampir separuh produksi global berasal dari hutan purba atau hutan alam terancam punah. APR sebagai salah satu produsen terbesar di dunia, berada di peringkat keberlanjutan ke-27 dari 30 produsen dalam 2025 Hot Button Report yang dirilis Canopy.
Berdasarkan data bea cukai Indonesia yang diperoleh dan dianalisis Earthsight, APR mengekspor rayon viskosa senilai USD232 juta, setara Rp3,87 triliun, pada Januari-Oktober 2025, sebagian besar dijual ke Turki, Bangladesh, Pakistan, dan India. Konsumen APR di negara-negara ini memproduksi pakaian rayon dan barang-barang lainnya untuk diekspor ke AS, Uni Eropa, dan Inggris—rantai pasok lanjutan sebagaimana disebut dalam situs APR.
“Kami telah mengidentifikasi keterhubungan rantai pasok TPL ini hingga ke pengedar ternama di Amerika Serikat dan Eropa, dan berencana merilisnya pada awal 2026,” kata Earthsight/Auriga.
Hanya janji palsu
Deforestasi dalam konsesi TPL ini bertentangan dengan kebijakan-kebijakan keberlanjutan yang disebutkan berbagai perusahaan sepanjang rantai pasoknya. Kebijakan keberlanjutan TPL saat ini menyatakan perusahaan dan pemasoknya "berhenti menebang hutan alam" per 30 Juni 2014.
Merespons kecaman internasional terhadap operasionalnya, Royal Golden Eagle (RGE) mengadopsi kebijakan zero deforestation di seluruh perusahaannya pada 2015. Sementara, anak usaha RGE, yakni APR, melalui kebijakan keberlanjutan 2024-nya mengklaim bahwa perusahaan tidak menerima bahan baku dari "area-area di mana terjadi konversi hutan alam menjadi kebun kayu."
Tak hanya itu, baik RGE maupun TPL menjanjikan mengidentifikasi dan melindungi semua hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT atau High Conservation Value - HCV) dan Stok Karbon Tinggi (SKT atau High Carbon Stock - HCS) di dalam konsesinya.
Sebagai jaminan kepada para pembelinya, pada 2019 APR meluncurkan sistem publik bernama “Follow Our Fibre”, yang memungkinkan pengguna melacak sumber serat hingga ke titik tebangan.
Pada 2024 sistem ini justru dinonaktifkan dari ruang publik (offline), dengan alasan untuk menyesuaikan (refine) sistem agar memenuhi persyaratan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation - EUDR) yang akan datang, yang mewajibkan perusahaan pemasok ke Eropa melacak muasal produk hingga ke titik tebang/panenan serta memastikan tiadanya deforestasi di sana sejak 2020.
Peta rantai pasok Asia Pacific Rayon, disalin oleh Auriga/Earthsight dari situsnya pada Desember 2025.
“Kejadian sebagaimana dalam laporan Earthsight/Auriga ini memantik pertanyaan jangan-jangan alasan sebenarnya penonaktifan tersebut adalah karena APR tidak ingin pembelinya bisa melacak muasal produknya dan mengungkap praktik kotornya,” kata mereka.
Earthsight/Auriga berpendapat, dengan memori tragis konsekuensi deforestasi tak terkendali, Pemerintah Indonesia harus segera menyelidiki penebangan kayu dan deforestasi yang terhubung dengan TPL, baik di dalam konsesi maupun di luarnya. Kemudian meminta tanggung jawab hukum kepada pihak-pihak yang terlibat dan atau mendalangi kejadian tersebut, serta memaksa para pelaku dan dalangnya bertanggung jawab terhadap pemulihan area dan ekosistem yang dirusak tersebut.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang masih membuka ruang konversi terhadap hutan alam, termasuk untuk pengembangan komoditas monokultur, seharusnya ditiadakan. Pemerintah pun harus menerbitkan regulasi yang melindungi seluruh hutan alam tersisa, sebagai safeguard atas perannya menopang ketangguhan terhadap bencana, serta pelestarian keragaman hayati dan perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan atau lokal.
Sementara itu, pembeli internasional produk rayon harus menyelidiki rantai pasoknya untuk memastikan tidak membeli produk yang terhubung dengan PT Toba Pulp Lestari atau perusahaan pelaku deforestasi lainnya di Indonesia.
Berikut ini rekomendasi lebih lengkap yang diberikan Earthsight/Auriga kepada para pihak yang disertakan dalam laporannya:
Pemerintah Indonesia harus:
- Menyelidiki praktik illegal logging di konsesi TPL sektor Aek Raja dan sekitarnya untuk meminta pertanggungjawaban hukum pihak-pihak yang melakukan, terlibat, dan mendalangi kegiatan tersebut. Penyelidikan ini semestinya termasuk untuk mengetahui apakah ada dugaan korupsi atas diamnya otoritas selama ini.
- Menerbitkan regulasi yang memastikan adanya perlindungan hukum terhadap hutan alam tersisa di Indonesia, termasuk di area penggunaan lain (APL). Adanya regulasi seperti ini akan sangat membantu dan memudahkan publik memantau keberadaan hutan alam karena setiap deforestasi akan secara otomatis melanggar hukum.
PT Toba Pulp Lestari harus:
- Memastikan tiadanya pembabatan hutan alam baik di dalam konsesinya maupun melalui skema kemitraannya dengan pihak ketiga, termasuk masyarakat.
- Memulihkan area-area deforestasi, terutama yang teridentifikasi oleh laporan Auriga/Earthsight ini, dengan vegetasi-vegetasi berkayu setempat.
- Merilis rencana kerja tahunan (RKT) perusahaan, termasuk peta areal kerja. Ke depan, setidaknya peta areal kerja ini semestinya dirilis sebelum RKT berlaku.
- Mengimplementasikan praktik konservasi terhadap area-area dilindungi dalam perusahaan, baik habitat spesies langka dan dilindungi maupun area HCV dan HCS.
Asia Pacific Rayon harus:
- Sesegera mungkin menghentikan sementara pembelian serat kayu dari PT TPL, hingga adanya penyelidikan tuntas mengenai deforestasi di dalam konsesi TPL maupun skema kemitraannya dengan pihak ketiga.
- Meningkatkan kualitas transparansi pada rantai pasoknya, termasuk mengembalikan pengoperasian “Follow Our Fibre” secara terbuka.
- Mematuhi kebijakan keberlanjutannya dengan menghentikan pembelian kayu pulp apapun dari area yang terdeforestasi, termasuk dari Sektor Aek Raja dan sekitarnya yang diidentifikasi oleh Auriga/Earthsight ini.
Perusahaan Eropa, Inggris, dan Amerika yang menjual produk rayon harus:
- Sesegera mungkin bertanya mendalam kepada para pemasoknya dan memastikan bahwa tidak ada bahan bakunya yang berasal dari PT TPL.
- Mengalihkan pembelian mereka ke produsen rayon dengan rekam jejak yang jauh lebih baik, seperti yang diidentifikasi oleh Canopy.

Share

