LIPUTAN KHUSUS:

Polres Bengkulu Selatan Main Sunat Kasus Penembakan 5 Petani


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kuasa hukum melihat ada potensi para petani korban penembakan akan mengalami kriminalisasi.

Hukum

Selasa, 16 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Penanganan kasus penembakan 5 orang Petani Pino Raya, Bengkulu Selatan oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan, dianggap janggal. Sebab, pasal pidana yang dikenakan kepada pelaku penembakan tidak maksimal. Pelaku tidak dikenakan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat, mengenai kepemilikan dan penggunaan senjata api.

Pasca-peristiwa penembakan 24 November 2025, Polres Bengkulu Selatan membuat laporan polisi. Namun selain membuat laporan terkait dengan penembakan terhadap petani Pino Raya, Polres Bengkulu Selatan juga membuat laporan terkait dengan penganiayaan pihak keamanan PT ABS.

Sebelumnya pihak petani lewat kuasa hukumnya juga membuat laporan polisi dan meminta untuk memasukkan pasal mengenai dugaan tindak pidana penganiayaan berat, tindak pidana percobaan pembunuhan serta dugaan tindak pidana menguasai dan mempergunakan senjata api tanpa hak.

Tapi pihak petugas penerima laporan dan penyidik mempreteli pasal-pasal yang diajukan oleh kuasa hukum dan hanya menulis dugaan tindak pidana penganiayaan dengan berbagai alasan, di antaranya kesalahan sistem pada komputer yang tidak dapat memuat pasal yang dilaporkan, meminta untuk laporan senjata api dilakukan melalui laporan model A hingga mengarahkan untuk hanya melaporkan satu pasal.

Petani Pino Raya bernama Buyung mengalami luka tembak di bagian dada. Selain Buyung, 4 petani lainnya juga menjadi mengalami luka berat akibat penembakan yang diduga dilakukan pihak PT ABS. Sumber: Walhi Bengkulu.

Dalam prosesnya, laporan polisi hanya dimuat dua pasal yakni Pasal 351 ayat (2) KUHP dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat. Akan tetapi, ternyata pada saat penyelidikan hanya menjadi satu pasal yakni pasal 351 ayat (2) yang menyebabkan pelapor kehilangan hak untuk mengikuti perkembangan pasal yang dilaporkan mengenai penyalahgunaan senjata api karena dijadikan laporan model A.

Sementara itu, pemberitahuan perkembangan penyidikan hanya diberikan kepada pelapor, jika laporan dibuat dengan model A dengan pelapornya polisi, maka perkembangan penyidikan tidak akan diberitahukan kepada pelapor atau korban.

Kuasa hukum petani telah menyampaikan surat keberatan mengenai penerapan pasal tersebut, namun hingga saat ini belum mendapatkan jawaban secara resmi, dengan dalih surat masih berapa di meja Kapolres Bengkulu Selatan.

Perwakilan petani Pino Raya, sekaligus korban penembakan dan perwakilan Forum Masyarakat Pino Raya (FMPR), Edi Hermanto, mengungkapkan, pihaknya telah menerima banyak intimidasi baik dari pihak perusahaan, aparat penegak hukum bahkan pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten.

“Oleh karenanya, kami meminta untuk konflik agraria ini segera diselesaikan dan penanganan perkara penembakan terhadap kami dan 4 orang petani lainnya segera diusut demi kepastian dan keadilan bagi kami,” kata Edi, dalam sebuah keterangan tertulis, Jumat (12/12/2025).

“Kami meminta perlindungan dan jaminan rasa aman bagi kami agar kembali bisa beraktivitas sebagaimana mestinya, serta bisa mengakses lahan kami dengan aman,” imbuhnya.

Kuasa hukum petani, Ricki Pratama Putra dari Akar Law Office, mengatakan bahwa sepanjang proses penyidikan, pihaknya menemukan banyak pelanggaran prosedur, disiplin dan kode etik, pada saat saksi-saksi dipanggil untuk diperiksa.

“Kami menemukan anggota Polres Bengkulu Selatan sedang meminum minuman tradisional (tuak) dan pada saat pemeriksaan saksi-saksi, suara musik di dalam ruangan ditinggikan, sehingga membuat pemeriksaan saksi-saksi terganggu. Terutama mengenai kenyamanan dan keamanan,” kata Ricki.

Ricki melanjutkan, dalam proses penanganannya, berdasarkan informasi yang tim kuasa hukum dapatkan dari pihak rumah sakit, Polres Bengkulu Selatan tidak mengambil hasil Visum et Repertum para korban, khususnya yang ditembak.

“Namun hanya mengambil visum terkait dengan laporan perusahaan terkait dengan dugaan penganiayaan pelaku penembakan. Sehingga kami menduga bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap para korban penembakan oleh Polres Bengkulu Selatan,” kata Ricki.

Julius Nainggolan dari Walhi Bengkulu, mengatakan, menyikapi situasi pelanggaran-pelanggaran dan potensi kriminalisasi masyarakat, para petani akhirnya menyampaikan laporan dan pengaduan ke Kompolnas, LPSK, Kementerian HAM, dan Komnas HAM untuk meminta lembaga-lembaga tersebut melakukan pengawasan dan pemantauan serta memberikan perlindungan kepada para petani Pino Raya, termasuk pihak yang menjadi korban penembakan.

“Setelah kejadian penembakan, telah diadakan rapat beberapa pihak dari pemerintah provinsi dan kabupaten, dalam kesepakatannya PT ABS ditutup sementara. Namun berdasarkan informasi yang kami terima, perusahaan tetap beroperasi dan membangkang terhadap kesepakatan pemerintah provinsi dan kabupaten,” ucap Julius.

Selain itu, lanjut Julius, sebelum kejadian penembakan sejumlah petani Pino Raya beberapa kali mengalami teror, seperti ancaman pembunuhan dan pelecehan seksual verbal. Teror tersebut dilaporkan kepada Polres Bengkulu Selatan, namun sampai sekarang tidak ada perkembangan yang signifikan.

Julius menyebut, operasi PT ABS sejak 2017 sampai 2025 illegal, karena tidak memiliki HGU berdasarkan keterangan Kanwil ATR/BPN. HGU di areal izin usaha PT ABS baru diterbitkan apda 2025, sehingga selama kurang lebih 8 tahun perusahaan ini beroperasi negara mengalami kerugian perekonomian.

“Dan kuat dugaan campur tangan pemerintah mulai dari desa sampai ke pusat dalam mem-back up perusahaan. Dalam hal ini Walhi Bengkulu melaporkan PT ABS ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Julius.

Andrie Yunus dari KontraS, mengecam peristiwa penembakan dan aksi kekerasan terhadap petani Pino yang dilakukan oleh PT ABS. Ia mengatakan, pihak kepolisian sebagai institusi yang diberikan kewenangan pengendalian hingga pengawasan terhadap senjata api harus akuntabel dalam mengusut kasus ini melalui proses penyidikan yang tidak berhenti menyeret aktor lapangan, tapi juga termasuk para pimpinan perusahaan dan satuan kerja kepolisian yang memberikan izin.

“Di sisi lain, kami juga menyoroti kinerja Polres Bengkulu Selatan yang diduga tidak profesional dalam melakukan proses hukum dan terkesan diskriminatif terhadap laporan para petani yang menjadi korban,” ujarnya.

Oleh karena, lanjut Andrie, pihaknya menuntut Divisi Propam dan Rowassidik Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan pengawasan ekstra terhadap proses penyidikan yang tengah berlangsung, termasuk mendorong pengambilalihan penanganan kasus dari Polres Bengkulu Selatan ke Polda Bengkulu untuk menetapkan tersangka sesegera mungkin.

Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian, mengatakan dari konflik agraria di Pino Raya pemerintah seharusnya berbenah. Menteri ATR/BPN, kata Roni, harus berani bertanggung jawab membatalkan HGU perusahaan yang dikeluarkan secara melawan hukum. Hanya dengan cara itu keadilan hak atas tanah petani dapat dipulihkan.

Lebih lanjut Roni menyampaikan, pihak lain yang paling bertanggung jawab adalah Menteri Pertanian dan pemerintah daerah, karena dengan sadar membiarkan pengusaha sawit beroperasi tanpa legalitas.

“Dalam satu dekade terakhir ekspansi bisnis perkebunan sudah menyebabkan 1.242 perampasan tanah, mayoritasnya adalah sawit. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk menunda pelaksanaan reforma agraria. DPR, Kabinet Merah Putih dan KPA sudah bersepakat agar negara segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria,” kata Roni.

Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menganggap perjuangan yang dilakukan oleh petani yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pino Raya bukan hanya perjuangan hak atas tanah, tetapi juga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Para petani sadar keberadaan perusahaan sawit bukan hanya akan merampas hak mereka tetapi juga hak lingkungan untuk tetap terjaga.

“Sebab ekspansi sawit dalam skala yang besar akan berdampak pada rusaknya lingkungan, hilangnya hutan dan bencana ekologis. Jika pengurus negara mau belajar dari bencana ekologis di Aceh, Sumut dan Sumbar, harusnya HGU PT ABS segera dicabut, dan memproses dugaan pidana serta korupsi yang dilakukan perusahaan,” katanya.