LIPUTAN KHUSUS:
Waspada, Revisi Perpres 112/2022 Legitimasi PLTU Baru
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Selain melegitimasi PLTU baru, revisi Perpres 112/2022 juga akan membuka jalan penundaan pensiun dini PLTU, dan solusi-solusi palsu yang mengiringinya seperti co-firing biomassa yang memicu deforestasi.
Energi
Kamis, 27 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gerakan #BersihkanIndonesia menyesalkan kesia-siaan delegasi Indonesia di Konferensi Iklim PBB (COP30) Brazil pada akhir pekan kemarin, sekaligus mengecam rencana pemerintah merevisi Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Revisi itu memungkinkan pemerintah kembali menambah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) fosil batu bara, yang mengingkari kembali komitmen global Indonesia terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.
Dalam sebuah keterangan tertulis, #BersihkanIndonesia menyebut kesia-siaan “misi penyelamatan iklim” ini sudah diperkirakan, itu bisa dilihat dari banyaknya sponsor korporasi ekstraktif di pavilion Indonesia. Sementara itu, di dalam negeri, pemerintah tengah merevisi Perpres 112/2022.
Draf revisi Perpres 112/2022 ini menghadirkan beberapa pengecualian untuk pembangunan PLTU baru dengan alasan keandalan sistem, kebutuhan industri tertentu, kemandirian energi dan kebutuhan mendesak pemerintah. Ini bisa dijadikan celah dan pintas baru bagi PLTU captive di kawasan-kawasan Industri.
“Revisi Perpres 112/2022 justru melemahkan komitmen iklim Indonesia. Di satu sisi pemerintah terus menyuarakan ambisi iklim di forum internasional, namun di sisi lain membuka ruang baru bagi pembangunan PLTU yang jelas mendorong emisi,” kata Iqbal Damanik, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, pada Minggu (23/11/2025).
Iqbal mengatakan, skema perdagangan karbon juga kehilangan integritas ketika Pemerintah Indonesia sendiri masih memberi karpet merah bagi sumber emisi baru. Lebih buruk lagi, revisi ini membuka peluang perluasan co-firing biomassa dan biofuel yang berisiko memicu pembukaan hutan dan permintaan lahan baru.
“Ini langkah mundur di tengah krisis iklim yang kian genting,” katanya.
Revisi Perpres ini kini menambah panjang deretan regulasi di Indonesia yang tidak berpihak pada percepatan transisi energi dengan terus menambah pengecualian untuk pengembangan PLTU baru, di samping Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, hingga PP Kebijakan Energi Nasional yang menurunkan mandat energi terbarukan dari KEN sebelumnya menjadi hanya 19-23 persen pada 2030.
Senior Strategist Indonesian Centre of Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, menganggap regulasi yang seharusnya dapat mendorong pengembangan energi terbarukan seperti RUU Energi Terbarukan, justru tidak kunjung disahkan. Bahkan RUU tersebut juga masih bernuansa energi fosil dalam bentuk insentif kepada energi baru.
“Padahal, kunci transisi energi dapat berjalan cepat adalah komitmen kuat serta kepastian hukum,” kata Grita.
Ketidaksesuaian komitmen transisi energi dan net zero emission yang lebih cepat di panggung internasional seperti G20, dan UNGA (Majelis Umum PBB) dengan apa yang dikerjakan di Indonesia menjadi pola kebijakan yang berlanjut dari pemerintahan Jokowi sebelumnya. Prabowo telah menempatkan keselamatan masyarakat atas dampak yang semakin merentankan dari energi fosil dan kebijakan-kebijakan ekstraktif lainnya pada jurang yang semakin sulit untuk dipulihkan.
Dalam laporan terbaru “Toxic20, Daftar PLTU Paling Berbahaya di Indonesia” menyebut 156 ribu ancaman kematian dini kumulatif jika pemerintah tidak segera melakukan pemensiunan PLTU. Laporan itu juga mengungkapkan bagaimana PLTU paling berbahaya itu berpotensi menyebabkan ratusan ribu kematian dini akibat polusi udara, dampak negatif ekonomi terhadap PDB dan PDRB, hingga berkurangnya serapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan akibat pencemaran lingkungan.
“Lebih jauh lagi, ancaman itu akan memperbesar kerentanan masyarakat atas dampak krisis iklim yang semakin intens dengan rencana buruk pemerintah untuk merevisi Perpres 112 2022,” kata Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia.
Ashov menyebut Perpres ini memberi jalan pembangunan PLTU batu bara baru, menunda pemensiunan PLTU, dan solusi-solusi palsu yang mengiringinya seperti co-firing biomassa yang memicu deforestasi. Rencana revisi ini membatalkan deklarasi kepemimpinan global Indonesia di COP30, sekaligus menegaskan posisi pemerintah yang sangat jauh dari kebutuhan dan aspirasi jutaan warganya atas ancaman polusi udara.
“Pemerintah harusnya memperkuat langkah untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan, bukan terus menunda-nunda hanya untuk kepentingan oligark fosil,” ucap Ashov.
Muhammad Al Amin, Dinamisator Sulawesi Tanpa Polusi mengatakan, sejumlah lembaga masyarakat sipil di Sulawesi termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) telah melayangkan gugatan atas Perpres tersebut. Gugatan itu untuk meminta penghapusan pasal 2 ayat 4 tentang pengecualian PLTU untuk kebutuhan industri (captive).
“Tentu saja, kita berharap Perpres 112 Tahun 2022 benar-benar menjadi aturan yang mempercepat terjadinya transisi energi tanpa memberi pengecualian terhadap sektor industri untuk membangun PLTU terutama hilirisasi industri nikel,” kata Amin.
Namun, alih-alih menunggu proses gugatan selesai, pemerintah malah menyusun draf revisi yang akan membuat agenda percepatan pembangunan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia semakin buruk dan lambat. Ini sangat jelas terlihat dari isi perubahan Perpres 112/2022 dimana pemerintah berencana menghapus batas waktu pendirian PLTU yang terintegrasi dengan industri.
Amin melanjutkan, hal buruk lainnya atas rencana revisi Perpres 112/2022 adalah tidak adanya sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar atau tidak mematuhi peraturan ini. Kemudian terkait pembangkit listrik tenaga hibrid yang semakin memperlambat Indonesia untuk keluar dari ketergantungan batu bara.
Sehingga revisi Perpres 112/2022 adalah cara pemerintah memberi ruang bagi pengusaha industri pengolahan mineral untuk tetap membangun PLTU yang tetap mempertahankan ketergantungan Indonesia pada batu bara. Juga cara pemerintah untuk memperkaya pengusaha batu bara.
“Oleh karena itu, kami berharap kepada Mahkamah Agung, khususnya majelis hakim yang menangani perkara gugatan judicial review Perpres 112/2022 dapat mengabulkan permohonan masyarakat sipil. Perpres 112/2022 harus menjadi pondasi Indonesia untuk melangkah menuju transisi energi,” kata Amin.
Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, menilai kebijakan energi Indonesia saat ini terjebak dalam kontradiksi yang mendalam. Revisi Perpres 112/2022 secara efektif membongkar moratorium PLTU, melegitimasi praktik greenwashing, dan menjustifikasi penambahan PLTU captive untuk industri.
Di sisi lain, masih kata Katherine, pemerintah dan PLN justru memilih memaksakan perencanaan jaringan listrik yang infleksibel dan berbiaya tinggi—alih-alih mendahulukan pengembangan energi bersih dan pengoperasian sistem yang sudah ada secara cerdas. Pembaruan JETP dan SNDC Indonesia, yang seharusnya menjadi cerminan ambisi tinggi Presiden Prabowo, pada kenyataannya menjadi bukti autentik minimnya kemauan politik.
“Inkonsistensi regulasi dan krisis udara bersih yang tidak kunjung diatasi harus menjadi pembuka mata bagi seluruh masyarakat, bahwa Indonesia belum berada pada jalur transisi energi yang sesungguhnya dan koreksi kebijakan mendesak harus diambil,” katanya.

Share
