LIPUTAN KHUSUS:
250 Juta Mengungsi Akibat Bencana Iklim 1 Dekade Terakhir - COP30
Penulis : Kennial Laia
PBB mendesak negosiator iklim di COP30 untuk membahas populasi masyarakat rentan yang dipaksa mengungsi akibat krisis iklim. Jumlahnya terus meningkat.
Krisis Iklim
Kamis, 13 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bencana terkait iklim memaksa 250 juta orang di seluruh dunia selama satu dekade terakhir menjadi pengungsi, setara dengan 70.000 orang setiap hari, menurut laporan terbaru dari badan untuk bidang pengungsi PBB (UNHCR).
Banjir, badai, kekeringan, dan panas ekstrem merupakan beberapa kondisi cuaca yang memicu konflik dan pengungsian, selain bencana yang terjadi secara perlahan seperti penggurunan, naiknya permukaan air laut, dan kerusakan ekosistem, yang mengancam ketahanan pangan dan air.
Pada pertengahan tahun 2025, 117 juta orang terpaksa mengungsi akibat perang, kekerasan, dan penganiayaan – sebuah krisis hak asasi manusia yang mengerikan dan keadaan darurat iklim semakin meningkat dengan cepat, menurut catatan UNHCR.
PBB mengatakan krisis iklim adalah “pengganda risiko” yang mengungkap dan memperparah kesenjangan dan ketidakadilan yang ada, termasuk dampak konflik, kekerasan, dan pemindahan paksa di dalam dan antar negara.
Jumlah negara yang melaporkan pengungsian akibat konflik dan bencana telah meningkat tiga kali lipat sejak 2009, menurut No Escape II: The Way Forward, laporan utama kedua UNHCR mengenai dampak pengungsi iklim yang dirilis Senin, 10 November 2025. Namun negara-negara rentan dan terkena dampak konflik yang menampung pengungsi hanya menerima seperempat dari pendanaan iklim yang mereka butuhkan.
Pengungsi dan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal, yang seringkali hidup dalam kondisi fisik dan politik yang genting, merupakan kelompok yang paling terkena dampak krisis iklim meskipun hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap penyebab krisis tersebut.
Pada Mei 2024, bencana banjir di negara bagian Rio Grande do Sul, Brasil, menewaskan 181 orang dan menyebabkan kerugian miliaran dolar. Banjir tersebut menyebabkan 580.000 orang mengungsi, termasuk 43.000 pengungsi rentan dari Venezuela, Haiti dan Kuba, yang tinggal di beberapa daerah yang paling terkena dampak banjir di wilayah tersebut, menurut data UNHCR.
Setahun sebelumnya, Topan Mocha – badai paling merusak yang melanda Myanmar selama bertahun-tahun – menghantam negara bagian Rakhine di mana 160.000 etnis Rohingya tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak sejak 2012.
“Kami hidup dalam kondisi yang sangat sulit,” Ma Phyu Ma, 37, seorang pengungsi Rohingya mengatakan kepada para peneliti PBB. "Gubuk adalah tempat berlindung kami. Perahu dan jaring memungkinkan kami menangkap ikan. Pakaian adalah sumber penghasilan saya. Sangat menyakitkan bagi saya untuk kehilangan segalanya."
Pada 2024, sepertiga dari seluruh keadaan darurat yang diumumkan oleh UNHCR melibatkan banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan kejadian cuaca ekstrem lainnya yang berdampak pada orang-orang yang menjadi pengungsi akibat perang.
Tiga perempat dari pengungsi dan orang-orang telantar lainnya kini tinggal di negara-negara yang menghadapi paparan bahaya terkait iklim yang tinggi atau ekstrem, dan perpindahan berulang kali menjadi semakin umum.
Chad, negara di Afrika Tengah, menjadi salah satu yang paling rentan secara politik dan rentan terhadap perubahan iklim, menampung lebih dari 1,4 juta pengungsi dan pencari suaka. Pada 2024 saja, banjir memaksa lebih dari 1,3 juta orang mengungsi dari rumah dan kamp mereka–lebih banyak dibandingkan gabungan 15 tahun sebelumnya. Pengungsi dari Sudan yang dilanda perang menerima kurang dari 10 liter air sehari–jauh di bawah standar darurat.
Hampir separuh pengungsi di dunia menghadapi konflik dan dampak iklim di negara-negara yang rentan secara politik, termasuk Sudan, Suriah, Haiti, Republik Demokratik Kongo, Lebanon, Myanmar, dan Yaman. Negara-negara ini berkontribusi sangat kecil terhadap emisi gas rumah kaca global, namun memiliki akses terbatas terhadap pendanaan iklim dan solusi yang diperlukan untuk beradaptasi.
Tanpa tindakan radikal untuk mengurangi bencana iklim dan membantu negara-negara miskin beradaptasi, situasi ini kemungkinan akan menjadi lebih buruk, UNHCR memperingatkan.
Pada 2050, kamp-kamp pengungsi terpanas akan menghadapi tekanan panas yang berbahaya selama hampir 200 hari per tahun, dengan risiko serius terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup, dan banyak lokasi menjadi tidak dapat dihuni.
UNHRC menyerukan kepada para negosiator iklim pada COP30 di Brasil untuk memperhatikan populasi yang sebagian besar diabaikan dan berkembang pesat ini.
Komisaris Tinggi UNHCR Filippo Grandi mengatakan, pemotongan pendanaan sangat membatasi kemampuan dunia untuk melindungi pengungsi dan keluarga yang terpaksa mengungsi dari dampak cuaca ekstrem.
“Jika kita menginginkan stabilitas, kita harus berinvestasi di tempat-tempat yang paling berisiko bagi masyarakat. Untuk mencegah pengungsian lebih lanjut, pendanaan iklim perlu menjangkau masyarakat yang sudah hidup dalam bahaya,” katanya.
"Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. COP30 tahun ini harus melakukan tindakan nyata, bukan janji kosong," kata Grandi.

Share
