LIPUTAN KHUSUS:

Tujuh Korporasi bisa Kurangi Emisi Setara Belanda: Trase


Penulis : Aryo Bhawono

Empat perusahaan sawit dan pulp kayu Indonesia menjadi bagian dari tujuh korporasi penyumbang emisi dunia terbesar melalui deforestasi dan degradasi gambut. Tujuh grup perusahaan dagang besar di sektor pertanian berpotensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global yang setara dengan emisi tahunan Belanda dengan penerapan produksi bebas deforestasi.

Iklim

Rabu, 05 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Empat perusahaan sawit dan pulp kayu Indonesia menjadi bagian dari tujuh korporasi penyumbang emisi dunia terbesar melalui deforestasi dan degradasi gambut. Tujuh grup perusahaan dagang besar di sektor pertanian berpotensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global yang setara dengan emisi tahunan Belanda dengan penerapan produksi bebas deforestasi. Namun menjelang pertemuan puncak iklim COP30 di Brazil, sebagian besar perusahaan belum menunjukkan tindakan yang diperlukan untuk memberikan pengurangan emisi.

Analisis yang diterbitkan Trase menunjukkan tujuh grup perusahaan dagang sektor pertanian berpotensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global yang setara dengan emisi tahunan Belanda. 

Ketujuh perusahaan tersebut, empat di antaranya dari Indonesia, adalah JBS, Marfrig, Minerva, Musim Mas, Royal Golden Eagle, Sinar Mas, dan Wilmar. Mereka memiliki eksposur tertinggi terhadap emisi gas rumah kaca. 

Analisis Trase pada 2022 menyebutkan perusahaan tersebut memiliki eksposur emisi dari perubahan penggunaan lahan yang terkait dengan ekspor komoditas pertanian dan peternakan (soft commodity). Perusahaan-perusahaan tersebut terekspos lebih dari setengah total emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi gambut yang berhubungan dengan ekspor daging sapi dari Brasil, minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia.

Penampakan kebun sawit yang diduga ditanam di bekas lahan terbakar oleh PT Global Alam Lestari. Foto: Walhi Kalteng.

Global Engagement Lead di Trase, André Vasconcelos, menyebutkan analisis ini menunjukkan sejumlah pelaku dapat memberikan manfaat iklim lebih besar dibandingkan keseluruhan negara,” kata 

“Sangat penting untuk sektor swasta meningkatkan aksi mereka di dalam usaha kolektif ini untuk memitigasi perubahan iklim,” katanya melalui rilis pers.

Analisis data ini melibatkan berbagai tim riset data Trase, termasuk Carina Mueller, Carbon Accounting Research Fellow dari SEI. 

Para peneliti menelaah lima komoditas pertanian dengan dampak terkait perdagangan terbesar, yakni daging sapi dan kedelai, kakao, minyak kelapa sawit, dan pulp di tiga negara produsen utama, Brasil, Pantai Gading, dan Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghitung volume emisi dari deforestasi dan degradasi gambut; perusahaan-perusahaan ini terekspos pada emisi tersebut melalui perdagangan komoditas global.

Hasil penelitian menunjukkan tiga komoditas - daging sapi dari Brasil, serta minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia - menyumbang bagian terbesar dari eksposur emisi. Ketujuh perusahaan ini menyumbang 54 persen dari total emisi akibat deforestasi dan degradasi gambut yang terkait dengan ekspor komoditas pada 2022.

Penelitian juga meliputi komoditas kedelai. Namun hasil penelaahan menunjukkan perusahaan penghasil kedelai ini tidak masuk dalam tujuh besar korporasi penyumbang emisi akibat deforestasi dan degradasi gambut.  

Sebelumnya komitmen sukarela moratorium kedelai ditandatangani oleh lebih dari 25 perusahaan. Komitmen berupa bebas deforestasi ini menjadi momen bersejarah yang telah memberikan kontribusi signifikan untuk mengurangi deforestasi langsung untuk produksi kedelai di hutan Amazon, Brasil.

“Meskipun tingkat emisi deforestasi kedelai menurun dalam beberapa tahun terakhir, ini mungkin akan berubah dengan terancamnya Moratorium Kedelai Amazon,” Vasconcelos. 

Eksposur emisi tersebut terutama berasal dari sumber produksi di lahan hutan yang baru saja dibabat atau lahan gambut yang baru dikeringkan, dua sumber utama pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar. 

Total eksposur, minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia memiliki jejak iklim terberat mencapai 107,5 Mt CO₂ (megaton setara CO₂) atau 74 persen dari eksposur akibat emisi perubahan penggunaan lahan.

“Indonesia memainkan peran utama di situasi ini – baik sebagai salah satu produsen komoditas terbesar dan juga sebagai negara yang menanggung biaya lingkungan,” ujar Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara.

“Perusahaan-perusahaan ini memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk mentransformasi industri. Menerapkan rantai pasok bebas deforestasi dan degradasi gambut tidak hanya akan melindungi hutan dan lahan gambut, namun turut memperkuat kontribusi Indonesia terhadap agenda iklim global.”

Komitmen perubahan iklim membutuhkan lebih banyak transparansi

Pada COP26 di Glasgow tahun 2021, lima dari tujuh perusahaan berkomitmen untuk mempercepat aksi melawan deforestasi sesuai dengan Peta Jalan Sektor Pertanian Menuju 1,5°C. Namun, Royal Golden Eagle dan Minerva belum menandatangani peta jalan ini. 

Penilaian Forest 500 terbaru dari Global Canopy, ketujuh perusahaan ini telah membuat komitmen bebas deforestasi atau konversi, namun belum seluruhnya melaporkan kemajuan mereka secara transparan.

“Sungguh luar biasa untuk bisa melihat komitmen dan aksi mereka, tetapi tanpa keterbukaan publik dan pelaporan yang transparan, tidak ada cara untuk memverifikasi apakah komitmen mereka benar-benar dipenuhi,” ucap Vasconcelos. “Tidak ada rute menuju net zero atau nol bersih tanpa mengatasi deforestasi dan degradasi gambut.”

Kini menjelang COP30, negara-negara harus menyerahkan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) dengan rencana dan tindakan konkret untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Sejalan dengan itu, Presidensi COP Brasil menegaskan bahwa keberhasilan aksi iklim harus melibatkan seluruh pihak melalui usaha kolektif. 

Pada konteks emisi dari perubahan penggunaan lahan, sektor swasta memegang peranan penting untuk mendukung pencapaian target NDC dan menurunkan tingkat emisi global secara signifikan.