
LIPUTAN KHUSUS:
Rapor Merah Walhi untuk 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran
Penulis : Kennial Laia
Rezim Prabowo-Gibran dinilai memicu kerusakan lingkungan dan mengabaikan hak rakyat.
Lingkungan
Rabu, 15 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Walhi memberikan rapor merah pada satu tahun rezim Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Kebijakan dan program pemerintah bersifat represif, tidak berpihak pada keberlanjutan, serta memicu bencana ekologis dinilai menunjukkan arah pemerintahan yang abai terhadap hak rakyat dan masa depan lingkungan hidup.
Dalam catatan kritisnya, Walhi menilai kebijakan dan pendekatan di sektor sumber daya alam dan lingkungan pada satu tahun rezim Prabowo-Gibran dinilai membutuhkan evaluasi. Mulai dari program makan bergizi gratis dan pangan, perluasan peran militer dalam tata kelola sumber daya alam, legalisasi sawit dalam kawasan hutan, dan perubahan aturan mineral dan batu bara yang berpihak pada kepentingan perusahaan ekstraktif.
Pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum juga dinilai absen, dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia dan lingkungan dan aktivis demokrasi juga semakin sering terjadi.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Even Sembiring mengatakan, satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai situasi yang menakutkan bagi Indonesia. Salah satunya di sektor sumber daya alam. Menurut Even, target pertumbuhan ekonomi 8 persen telah mendorong negara semakin menggenjot investasi di bidang tersebut, yang menyebabkan ekstraksi di berbagai lini, termasuk pertambangan.

“Pilihan cara ekonomi yang kapitalistik semakin menaruh rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis. Hal ini kian diperparah dengan pendekatan represif dan militeristik. Bermula dari pengesahan perubahan UU TNI dan berlanjut ke beragam situasi represif lainnya,” kata Even dalam diskusi media di Jakarta, Selasa, 14 Oktober 2025.
Kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat, yang salah satunya tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), secara langsung berdampak pada daerah. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatra Barat Wengki Purwanto mencontohkan visi Presiden Prabowo untuk Sumatra, yang fokus pada strategi atau program prioritas pengembangan kawasan swasembada pangan, air, energi, serta kawasan komunitas unggulan. Hal itu diyakini akan mampu menumbuhkan ekonomi Sumatra sebesar 7,2 persen pada 2029.
“Namun dalam satu tahun ini, rezim Prabowo-Gibran gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan hak lingkungan melalui penegakan hukum dan perlindungan ekosistem esensial seperti sumber air dan pangan,” kata Wengki.
“Mustahil, ekonomi rakyat kuat, jika ruang semakin menyempit, kawasan pangan hancur dan sumber air tercemar. Satu tahun RPJMN dijalankan, kita justru bergerak lebih cepat ke arah Indonesia Cemas 2045,” ujarnya.
Salah satu yang mencolok adalah proyek lumbung pangan dan energi di Merauke, Papua Selatan. Pemerintah menargetkan cetak sawah dan bioetanol di kawasan hutan dengan luas total lebih dari 2 juta hektare. Megaproyek ini menerima kritik karena membuka hutan alam, mengusir masyarakat adat, dan berpotensi melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.
“Kami memberikan kartu merah kepada pemerintah Prabowo. Sebab ekspansi perizinan semakin masif di wilayah timur Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua Maikel Primus Peuki.
Sementara itu Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman menilai, negara dan ruang-ruang hidup rakyat saat ini telah dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik. “Mereka yang mengendalikan keputusan-keputusan publik justru mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya, terutama dalam pengelolaan sektor sumber daya alam seperti pertambangan, perkebunan, dan energi."
"Di Sulawesi Tenggara, ekspansi pertambangan nikel yang masif telah menyebabkan kerusakan serius terhadap sumber-sumber ekonomi lokal masyarakat. Pesisir dan laut yang menjadi tumpuan hidup para nelayan kini tercemar dan mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan mata pencaharian mereka," kata Andi.
Sementara itu Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Selatan Raden Rafiq mengatakan provinsi tersebut tengah mengalami krisis ekologis berkepanjangan, termasuk perencanaan Taman Nasional Meratus. “Ini bermasalah karena tidak beriringan dan kontradiktif dengan kearifan lokal, budaya, hukum adat hingga ritus masyarakat adat di Meratus,” kata Raden.
“Proyek semacam ini selalu dibuat dengan dipaksaan. Padahal kami bersama masyarakat adat berulang kali mengupayakan dialog dan menawarkan resolusi dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,” katanya.
Di Pulau Jawa, Prabowo–Gibran juga dinilai masih berpihak pada investasi dan korporasi besar. Menurut Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Wahyu Eka, hal ini terlihat dari pengembangan proyek ekonomi ekstraktif, termasuk proyek pembangkit listrik batu bara, co-firing biomassa, dan dinding laut raksasa yang merusak hutan, pesisir, dan ruang hidup rakyat.
Walhi menyerukan perubahan paradigma pembangunan, dari eksploitasi menuju pemulihan, dari retorika semu menuju keadilan sejati yang berpihak pada rakyat dan bumi.
"Selama arah kebijakan masih didikte oleh kepentingan modal dan logika pertumbuhan ekonomi, komitmen keadilan dan keselamatan hanya akan menjadi retorika diplomatik yang menutupi kenyataan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis, melainkan hasil dari ketimpangan struktural dan politik yang terus dipelihara," kata Even.