
LIPUTAN KHUSUS:
Investigasi: Jejak Neraka Nikel di Surga Raja Ampat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hasil investigasi menunjukkan adanya kerusakan pada terumbu karang yang berada di sekitar pulau kecil yang ditambang di Raja Ampat.
SOROT
Kamis, 25 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebagian terkubur lumpur, dan sebagian lain tampak pucat nir-rona terang yang biasanya cantik. Begitulah setidaknya penampakan kondisi terumbu karang yang ada di sekitar Pulau Manuran, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Sejak perusahaan tambang nikel beroperasi di pulau kecil itu, kualitas hidup terumbu karang di sekitarnya mengalami penurunan. Biota laut yang biasa hidup bergantung pada terumbu karang, seperti ikan jenis kakap dan kerapu, bahkan jenis lobster, sudah sulit dijumpai di pesisir pulau itu.
“Sekarang itu untuk mendapatkan 1 atau 2 ekor ikan saja kita harus memancing berjam-jam. Kemudian, menurut anak-anak yang biasa menyelam, di sebelah barat pulau, sekarang juga sudah susah mendapat lobster,” kata Regina Lapon, warga yang tinggal di Kabare, sebuah kampung di Pulau Waigeo, yang berada di seberang Pulau Manuran, Kamis (25/9/2025).
Regina menuturkan, Pulau Manuran adalah pulau tak berpenghuni. Aktivitas rutin manusia di pulau itu baru muncul ketika perusahaan tambang beroperasi di sana, sejak sekitar 2014 lalu. Tapi sejak dulu wilayah perairan pesisir pulau seluas sekitar 746 hektare itu telah menjadi lokasi nelayan lokal mencari ikan dan lobster.

Namun keakraban pulau tersebut dengan aktivitas manusia dan kegiatan pertambangan itu berbuah pahit. Material sisa tambang, terutama tanah, kerap terbawa limpasan air hujan yang mengalir dari perbukitan ke pantai, sebelum akhirnya mengendap dan menimbun terumbu karang yang ada di pantai.
Maka itu, lanjut Regina, pada 10 September 2025 pemilik hak ulayat Pulau Manuran memutuskan memasang palang adat pada sejumlah aset perusahaan tambang nikel, seperti bangunan kantor, beberapa unit generator set, dan laboratorium. Adapun sejumlah alat berat dan kendaraan mobil milik perusahaan, tidak masyarakat sentuh.
“Kemarin bersama bapak adat pemilik hak ulayat pulau, kami memasang palang adat di pulau. Tujuannya untuk menagih tanggung jawab reklamasi bekas areal tambang kepada perusahaan,” kata Regina.
Warga pemegang hak ulayat Pulau Manuran memasang palang adat pada fasilitas perusahaan tambang, demi menuntut reklamasi pada areal bekas tambang. Foto: Istimewa.
Menurut Regina, sejak 2014 hingga Juni lalu, saat aktivitas tambang perusahaan itu dihentikan oleh pemerintah, belum ada upaya reklamasi yang berarti yang dilakukan pada areal bekas tambang. Masyarakat khawatir, bila reklamasi tidak dilakukan, material tanah dan mineral tambang yang tersisa akan terbawa air hujan hingga terus-menerus mencemari perairan sekitar pulau.
“Sampai sekarang belum ada tanggapan dari perusahaan. Semoga dalam 1-2 bulan ini ada tanggapan. Sebelum melakukan palang adat, bapak adat terlebih dulu sudah melapor ke polsek,” ucapnya.
Terumbu karang jadi korban
Kerusakan pada terumbu karang di sekitar pulau-pulau kecil berizin tambang juga dipotret oleh Auriga Nusantara dan Earth Insight. Dalam laporannya berjudul Awas! Ancaman Pertambangan Nikel terhadap Raja Ampat, dua organisasi masyarakat sipil lintas negara itu mengungkapkan adanya dampak lingkungan yang berkepanjangan akibat penambangan nikel di Raja Ampat.
Dokumentasi yang diperoleh dari lapangan, yang sebagian disajikan dalam laporan itu, menunjukkan bukti nyata bahwa terumbu karang yang hancur dan memutih akibat lalu lalang kapal pengangkut ore nikel. Sedangkan terumbu karang lainnya nyaris terkubur sedimentasi lumpur akibat aktivitas tambang di daratan pulau.
“Investigasi ini menunjukkan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menciptakan efek kerusakan berantai. Mulai deforestasi, sedimen tambang nikel yang merusak terumbu karang, hingga indikasi berpindahnya biota laut yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat lokal,” kata Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, Kamis (25/9/2025).
Timer mengatakan, Pemerintah Indonesia semestinya menyadari keuntungan jangka pendek dari pertambangan tidak sebanding dengan manfaat jangka panjang keutuhan ekosistem yang menopang keragaman hayati laut dan ekonomi pariwisata. Pihaknya mendesak pemerintah segera mencabut seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel di Pulau Gag.
Tampak dari ketinggian lahan terbuka akibat pertambangan nikel di Pulau Gag, di Raja Ampat. Foto: Auriga Nusantara.
Eskalasi pertambangan nikel terjadi sebagai upaya Indonesia menjadi “sejenis OPEC untuk komoditas nikel” guna memenuhi permintaan global kendaraan listrik yang terus meningkat. Namun, laporan ini menunjukkan bagaimana tambang nikel di area yang sensitif secara ekologis, seperti Raja Ampat, menimbulkan kerusakan yang meluas, bukan hanya di lokasi tambang tersebut.
Analis Spasial Earth Insight Tiffany Hsu, mengatakan Raja Ampat merupakan salah satu ekosistem laut paling kaya di planet ini. Akan tetapi, temuan yang pihaknya dapatkan dan dibeberkan dalam laporan ini menunjukkan bahwa ekosistem ini justru terancam oleh industri pertambangan nikel yang berbahaya terhadap terumbu karang, ekosistem laut secara keseluruhan, penduduk setempat.
“Meski pengumuman pencabutan izin yang dilakukan pemerintah baru-baru ini merupakan langkah positif, masih adanya tambang nikel di Raja Ampat berikut ketidakpastian hukum pencabutan tersebut mengindikasikan bahwa harta karun dunia ini masih jauh dari aman. Perlindungan penuh terhadap ekosistem Raja Ampat hanya bisa terjadi dengan pencabutan seluruh izin tambang yang ada,” kata Tiffany.
Ancaman terhadap Geopark Unesco
Dalam laporan tersebut duo organisasi masyarakat sipil itu menganggap kerusakan terhadap terumbu karang ini dianggap tidak bisa diremehkan, mengingat sebagian besar wilayah Raja Ampat menjadi salah satu Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle), yang terkenal sebagai titik pusat dunia dalam hal kekayaan biota laut, endemisme, dan surga bagi para penyelam. Auriga dan Earth Insight berpendapat tanpa perlindungan tetap dan penghapusan izin usaha pertambangan (IUP) nikel, Raja Ampat hanya akan menjadi korban transisi energi berbasis mineral kritis.
Auriga dan Earth Insight berpendapat bahwa kegiatan pertambangan nikel masih bisa berdampak pada 2.470 hektare terumbu karang dan 7.200 hektare hutan, serta kesejahteraan dan mata pencarian 64.141 anggota masyarakat adat dan lokal yang berada di 3,66 juta hektare wilayah dalam kawasan Geopark UNESCO Raja Ampat.
“Meski Pemerintah Indonesia telah menyatakan mencabut izin beberapa perusahaan tambang di Raja Ampat, bukti-bukti lapangan yang dikumpulkan Auriga Nusantara menunjukkan hal itu tidak cukup. Deforestasi hingga kerusakan terumbu karang dan ekosistem perairan mesti dipulihkan,” ujar Ki Bagus Hadi Kusuma, Direktur Tambang Auriga Nusantara.
Ki Bagus mengatakan, Raja Ampat adalah wilayah kepulauan seluas 6,7 juta hektare, di mana separuhnya sudah ditetapkan sebagai sembilan kawasan lindung dan satu Geopark Global UNESCO. Wilayah tersebut merupakan habitat bagi 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.600 spesies ikan termasuk populasi pari manta (Mobula birostris) terbesar, serta lima spesies penyu yang dilindungi salah satunya penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang berstatus kritis menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Peta sebaran izin tambang nikel di Raja Ampat. Sumber: Auriga Nusantara/Earth Insight.
Tanpa adanya penegakan perlindungan no-go zone atau zona terlarang (untuk tambang), lanjut Ki Bagus, serta safeguards atau pengamanan permanen, IUP nikel yang pernah dicabut dapat diberlakukan kembali. Apabila dihidupkan kembali, IUP nikel tersebut dapat membahayakan status Geopark UNESCO Raja Ampat, yang berhasil menarik lebih dari 19 ribu wisatawan pada 2023.
“Kendatipun Pemerintah Indonesia telah mengumumkan pencabutan empat IUP, belum ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa pencabutan betul-betul dilakukan, atau bahwa pemulihan lingkungan sudah direncanakan di pulau manapun yang terdampak,” ucap Ki Bagus.
Auriga Nusantara menemukan bahwa lahan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan di Raja Ampat mengalami percepatan laju perluasan sebesar tiga kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis lainnya tentang tumpang tindih IUP dengan kawasan konservasi di Raja Ampat, disimpulkan bahwa perubahan signifikan pada tutupan lahan dari 2015 sampai 2023, terutama di Pulau Gag, Pulau Kawei, dan Pulau Manuran.
Perubahan tersebut menjadi bukti konkret akan dampak geospasial dari kegiatan pertambangan terhadap degradasi ekosistem pesisir dan laut. Lebih lanjut, dicatat bahwa kebijakan yang kontradiktif tentang perlindungan dan pengusahaan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis, kesinambungan dari generasi ke generasi, maupun hak masyarakat adat untuk menikmati ruang hidup yang bersih dan berkelanjutan.
Sebagai rekomendasi, Auriga Nusantara dan Earth Insight mendesak Pemerintah Indonesia untuk menetapkan Raja Ampat sebagai area no-go zones (area yang tidak diperbolehkan) untuk pertambangan termasuk nikel, dan mencabut semua izin tambang termasuk PT Gag Nikel di Pulau Gag di Raja Ampat.
Kemudian menegakkan status Geopark Global UNESCO Raja Ampat dan menetapkannya sebagai taman nasional laut—dengan zonasi yang menjamin akses, pemanfaatan, keterlibatan pengelolaan, dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan, baik darat maupun laut, Raja Ampat.
Lalu menegakkan “polluter pays principle” yang diatur regulasi lingkungan hidup sehingga perusahaan-perusahaan tambang bertanggung jawab memulihkan lingkungan atas kerusakan yang diakibatkan aktivitasnya selama ini, mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil di Indonesia, sebagaimana diatur Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan terakhir meningkatkan investasi pada kegiatan pembangunan berkelanjutan, seperti infrastruktur ekowisata, konservasi dan restorasi berbasis masyarakat.