LIPUTAN KHUSUS:

Aliansi Minta Privatisasi Zona Konservasi Pulau Padar Dihentikan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Salah satu alasan penolakan privatisasi Pulau Padar adalah karena pulau tersebut merupakan kawasan konservasi.

Konservasi

Rabu, 17 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana pembangunan vila mewah di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, di Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapat penolakan dari Aliansi Komodo Memanggil (AKM). Kelompok masyarakat sipil itu menilai proyek tersebut bertentangan dengan hukum konservasi dan mengancam status Pulau Padar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Penolakan tersebut disampaikan dalam sebuah aksi yang digelar di depan Istana Negara dan Kantor Kementerian Kehutanan (Kemenhut), pada Selasa (16/9/2025). Dalam orasi, Koordinator AKM, Astra Tandang, menegaskan bahwa pembangunan vila di Pulau Padar adalah bentuk privatisasi kawasan konservasi yang tidak memiliki dasar hukum.

“Pulau Padar bukan untuk dijual kepada investor. Undang-undang sudah jelas melarang, pemerintah harus menghentikan proyek ini sekarang juga,” katanya, dalam sebuah siaran pers.

Aliansi menolak keras izin pembangunan 619 unit vila, spa, restoran, kapel pernikahan, gym atau pusat latihan kebugaran tubuh, dan fasilitas pariwisata lain di Pulau Padar. Proyek ini dijalankan oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dengan konsesi 55 tahun.

Satwa endemik dan dilindungi komodo, Taman Nasional Komodo. Foto: Komodo Survival Program

"Bagi kami, proyek tersebut adalah bentuk perampasan ruang hidup masyarakat sekaligus ancaman serius bagi keberlanjutan Taman Nasional Komodo," kata Astra.

Seruan penolakan ini didasarkan pada empat alasan utama. Yang pertama, Pulau Padar adalah kawasan konservasi. Pulau kecil itu bagian dari TNK yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 172/Kpts.-II/2000.

Sebagai warisan dunia UNESCO, TNK memiliki Outstanding Universal Value (OUV) yang wajib dijaga. Pembangunan skala besar, seperti vila dan resort, berpotensi merusak ekosistem Komodo serta mengganggu lanskap alami Pulau Padar. UNESCO pun sudah mengingatkan bahwa proyek semacam ini bisa mengancam status warisan dunia.

Alasan kedua, adalah ketidakadilan agraria. PT KWE menguasai 274,13 hektare (19,5% luas Pulau Padar) dengan izin hingga 55 tahun (2014–2069). Dari luasan itu, 15,75 hektare akan dipakai untuk bangunan fisik vila, sementara masyarakat lokal hanya diberi ruang pemukiman 26 hektare untuk lebih dari 2.000 jiwa. AKM menilai kondisi ini menunjukkan ketimpangan agraria yang nyata, di mana warga tersisih dari tanah mereka sendiri.

Alasan selanjutnya, yang ketiga, proses perizinan proyek dinilai sebagai bentuk korupsi kebijakan, di mana keputusan negara lebih berpihak pada pemodal besar ketimbang masyarakat dan konservasi. PT KWE dikaitkan dengan jejaring bisnis besar, termasuk pengusaha Tomy Winata, sementara nama politisi Setya Novanto juga sempat muncul dalam dinamika proyek.

Izin diberikan lewat skema Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) yang diproses tanpa konsultasi publik yang transparan. Bahkan DPRD Manggarai Barat pernah menolak proyek ini karena bertentangan dengan kepentingan masyarakat (Floresa, 2025).

Yang terakhir, proyek ini dianggap memperkuat monopoli bisnis pariwisata di TNK. Dengan modal besar dan koneksi politik, korporasi akan menguasai akses utama Pulau Padar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton. Model bisnis eksklusif ini bertolak belakang dengan pariwisata berbasis komunitas yang adil dan berkelanjutan.

Aliansi memperingatkan, jika proyek ini tetap berjalan, dampaknya cukup besar, mencakup kerusakan habitat Komodo akibat konstruksi dan polusi, hilangnya keaslian lanskap Pulau Padar yang menjadi daya tarik wisata alam, ketidakadilan sosial-ekonomi, di mana masyarakat lokal makin termarginalkan, dan risiko kehilangan status Warisan Dunia UNESCO karena berkurangnya nilai universal luar biasa TNK.

Berdasarkan fakta di lapangan, Aliansi mendesak Kemenhut segera mencabut izin pembangunan vila di Pulau Padar, dan evaluasi ulang seluruh izin dan zonasi di TNK agar sesuai dengan prinsip konservasi.

Aliansi juga mendesak adanya pengakuan hak agraria masyarakat lokal dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata, transparansi penuh dokumen perizinan, termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal), dan penghentian monopoli bisnis dan mendorong model pariwisata berbasis komunitas yang adil serta ramah lingkungan.

Pemanfaatan kawasan TN Komodo harus sesuai ketentuan

Sebelumnya, Kemenhut menegaskan bahwa seluruh kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di TNK harus berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan mengedepankan prinsip perlindungan satwa dan ekosistem.

Menurut Kemenhut, PT KWE sudah menjalankan proses pembangunan. Beberapa di antaranya pembangunan pondasi (sekitar 148 tiang) di Pulau Padar telah dilakukan PT KWE pada akhir 2020-awal 2021, namun pembangunan tersebut dilakukan sebelum adanya arahan penyusunan dokumen Environmental Impact Assessment (EIA). Setelah arahan resmi disampaikan oleh Dirjen KSDAE pada Juni 2022, pembangunan dihentikan dan tidak dilanjutkan hingga proses penyusunan EIA selesai.

PT KWE, lanjut Kemenhut, telah menyusun dokumen EIA dengan melibatkan tim ahli lintas disiplin dari IPB, serta melakukan konsultasi publik pada 23 Juli 2025 di Labuan Bajo bersama pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, LSM, pelaku usaha, dan akademisi.

Dalam konsultasi publik itu, terdapat beberapa rekomendasi penting hasil yang wajib diperhatikan PT KWE antara lain beberapa jenis dan sejumlah sarana wisata perlu untuk di geser dan atau dikurangi jumlahnya terutama pada Blok 1 sampai dengan 6 hingga maksimal sarana terbangun 9-10% untuk menghindari overlap dengan komodo dan atau sarang komodo dan atau pohon.

Kemudian, pembangunan jalan sedapat mungkin elevated dan tidak menebang pohon, perlu diperhatikan keberadaan sarang komodo pada radius 10 m terbebas dari areal terbangun untuk keamanan dan kenyamanan tamu.

Selain itu, PT KWE dianggap perlu membangun kemitraan dengan mitra-mitra industri pariwisata yang ada di Labuan Bajo maupun pihak-pihak lain seperti perguruan tinggi dan sekolah pariwisata, dan terakhir mengimplementasikan rencana operasional yang telah dibuat dan memperbarui sesuai situasi dan kondisi terkini.

Berdasarkan monitoring Balai TN Komodo bersama Yayasan Komodo Survival Program (KSP), Khususnya jika melihat data estimasi populasi dan nilai standard error, maupun rentang kepercayaan CI 95% sebenarnya di Pulau Padar dalam kurun waktu 3 tahun terakhir dapat disimpulkan masih dalam kondisi populasi yang stabil dengan tidak terdapat indikasi penurunan populasi. Data 2025 bahkan menunjukkan indikasi peningkatan populasi, namun, pengungkapan data hasil monitoring 2025 ke publik masih menunggu hasil analisis keseluruhan.

“Kementerian Kehutanan memastikan bahwa setiap tahapan pembangunan resort di Pulau Padar harus mematuhi ketentuan hukum, rekomendasi EIA, serta kaidah konservasi satwa Komodo. PT KWE wajib mengikuti arahan teknis yang telah ditetapkan, termasuk pembatasan pembangunan di sekitar habitat dan sarang Komodo,” kata Kemehut dalam sebuah siaran pers, Senin (15/2025).