LIPUTAN KHUSUS:

Gelombang Panas adalah Napas Perusahaan Minyak - Riset


Penulis : Kennial Laia

Temuan keterkaitan antara emisi perusahaan bahan bakar fosil dan gelombang panas mematikan di seluruh dunia dapat membantu proses hukum pertanggungjawaban mereka.

Krisis Iklim

Minggu, 14 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Untuk pertama kalinya emisi karbon dari perusahaan bahan bakar fosil terbesar di dunia dikaitkan langsung dengan puluhan gelombang panas yang mematikan di dunia, menurut sebuah analisis terbaru. 

Penelitian ini dianggap sebagai sebuah lompatan maju penting dalam perjuangan hukum untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan minyak besar atas kerusakan yang disebabkan oleh krisis iklim.

Penelitian tersebut, yang dipublikasikan di jurnal Nature, menemukan emisi salah satu dari 14 perusahaan terbesar saja sudah cukup untuk menyebabkan lebih dari 50 gelombang panas yang hampir mustahil terjadi tanpanya.

Para peneliti menemukan bahwa polusi karbon dari bahan bakar fosil ExxonMobil, menyebabkan 51 gelombang panas setidaknya 10.000 kali lebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan dunia yang tidak mengalami pemanasan, begitu pula dengan emisi dari Saudi Aramco, raksasa minyak dari Saudi Arabia. 

Ilustrasi gelombang panas ekstrem. Foto: iStock

Pemanasan global membuat gelombang panas menjadi lebih sering dan intens di seluruh dunia, berkontribusi terhadap setidaknya 500.000 kematian akibat panas setiap tahunnya. Gelombang panas yang melanda Pasifik barat laut Amerika pada 2021, misalnya, membuat suhunya hampir 3C lebih panas.

Penelitian baru ini menemukan bahwa total emisi dari 180 perusahaan “penghasil karbon utama” yang termasuk dalam analisis ini bertanggung jawab atas separuh peningkatan intensitas, dan sisanya adalah emisi akibat perusakan hutan. Penelitian ini juga menemukan bahwa 213 gelombang panas yang diteliti menjadi rata-rata 200 kali lebih mungkin terjadi pada 2010 hingga 2019 karena krisis iklim.

“Kemampuan untuk menelusuri kembali kontribusi dari penghasil karbon tunggal ini dan mengukur kontribusinya akan sangat berguna untuk menentukan potensi pertanggungjawabannya,” kata Sonia Seneviratne, dari universitas ETH Zurich di Swiss, yang merupakan penulis senior laporan tersebut.

Pengadilan tertinggi di dunia, yaitu Mahkamah Internasional, memutuskan pada bulan Juli bahwa kegagalan dalam mencegah kerusakan iklim dapat mengakibatkan mereka harus membayar kompensasi. 

“Sekarang kita dapat menunjuk pada gelombang panas tertentu dan berkata, 'Saudi Aramco yang melakukan ini. ExxonMobil yang melakukan ini,'" kata juru bicara kampanye Make Polluters Pay Cassidy DiPaola. 

Penelitian tersebut menggunakan jenis analisis yang disebut atribusi. Penelitian ini membandingkan dunia yang lebih panas saat ini dengan dunia sebelum terjadinya pembakaran bahan bakar fosil secara massal untuk menilai bagaimana emisi telah meningkatkan suhu, menggunakan data cuaca dan model komputer.

Para ilmuwan pertama-tama mengetahui seberapa besar emisi masing-masing penghasil karbon telah meningkatkan suhu dan kemudian seberapa besar suhu yang lebih tinggi ini meningkatkan kemungkinan terjadinya gelombang panas. Penelitian sebelumnya telah menghubungkan ratusan peristiwa dengan pemanasan global, namun penelitian ini adalah yang pertama menganalisis serangkaian peristiwa secara sistematis.

“Perubahan iklim telah membuat 213 gelombang panas lebih mungkin terjadi dan lebih intens, dan situasinya semakin memburuk seiring berjalannya waktu,” kata Yann Quilcaille dari ETH Zurich, penulis utama studi tersebut.

Penelitian tersebut menemukan peningkatan rata-rata intensitas gelombang panas meningkat dari 1,4C pada periode 2000-2009 menjadi 2,2C pada 2020-2023. Terdapat 213 gelombang panas besar yang diperkirakan terjadi antara tahun 2000 hingga 2023 dan terjadi di setiap benua. Data mengenai bencana tersebut diambil dari database bencana terbesar, EM-DAT, namun Afrika dan Amerika Selatan kurang terwakili karena kurangnya pelaporan dan data cuaca yang sesuai.

“Temuan penelitian ini kemungkinan meremehkan skala sebenarnya dari kejadian ini, dan konsekuensi sebenarnya mungkin jauh lebih besar,” kata Friederike Otto dari Imperial College London.

“Studi ini merupakan sebuah lompatan maju yang dapat digunakan untuk mendukung tuntutan hukum iklim di masa depan,” kata Karsten Haustein, dari Leipzig University di Jerman, dan bukan bagian dari tim studi. “Ini juga merupakan pengingat bahwa penolakan dan retorika anti-sains tidak akan menghilangkan tanggung jawab terhadap perubahan iklim.”

Emisi karbon dihasilkan ketika masyarakat menggunakan minyak, gas, atau batu bara untuk menghangatkan rumah atau menggerakkan transportasi mereka, namun Quilcaille mengatakan perusahaan bahan bakar fosil mempunyai tanggung jawab khusus – mereka mengejar keuntungan melalui disinformasi dan lobi, meskipun mereka sudah mengetahui sejak 1980-an bahwa pembakaran bahan bakar fosil akan menyebabkan pemanasan global. 

Namun, belum ada pencemar yang dimintai pertanggungjawabannya di pengadilan dan masih ada gugatan yang diajukan. 

“Studi baru ini merupakan satu lagi landasan dan berguna, namun jalan menuju tanggung jawab nyata bagi perusahaan karbon masih penuh dengan lubang hukum dan pembuktian,” tulis para peneliti dalam jurnal tersebut.