LIPUTAN KHUSUS:

Suku Kanum: Yang Menoken Badan Usaha Adat Lintas Negara


Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA

Masyarakat adat Kanum di perbatasan Indonesia-Papua Nugini berencana membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Masyarakat Adat

Selasa, 09 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat adat Kanum di perbatasan Indonesia-Papua Nugini berencana membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) sebagai upaya memperkuat kemandirian ekonomi dan menjaga kedaulatan adat mereka. Inisiatif ini juga dimaksudkan untuk menyatukan komunitas Kanum di kedua negara, sekaligus mempertahankan identitas dan hak atas tanah serta sumber daya alam mereka.

Rencana besar itu sedang ditata. Pada Selasa, 2 September lalu, mereka membicarakan keinginan tersebut, setelah tarian Simakreyu. Ini tarian  Suku Kanum untuk menyambut rombongan pendamping kegiatan dari Mitra BUMMA, Yayasan Menoken Membumi MemBUMMA, dan Perkumpulan Papua Paradise Center.


"Jangan biarkan tanah ini hanya jadi cerita. Dari ikan gabus sampai vanili, semua bisa jadi lapangan kerja di tanah sendiri."


Masyarakat dan para tamu lalu duduk berjejer, berbincang hangat mengenai gagasan besar: pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Kanum.

Peta wilayah adat Suku Kanum di Merauke, Papua Selatan (Foto: M. Ikbal Asra)

BUMMA Kanum masih berada dalam tahap perencanaan, namun gagasan ini membawa visi besar. Badan usaha yang direncanakan akan berdiri di atas wilayah adat seluas 330.800 hektare, mencakup dataran, lahan basah, dan perairan, melingkupi sejumlah kampung dan distrik di perbatasan, termasuk wilayah adat Suku Kanum di Papua New Guinea.

Kepala Suku Kanum, Jeremias Karika Ndimar, meminta pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan perhatian lebih serius terhadap masyarakat adat Kanum yang tersebar di perbatasan Indonesia - Papua Nugini. Hal itu ia sampaikan dalam pertemuan adat yang sekaligus menjadi momentum pembahasan pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Kanum di i Pos Lintas Batas Negara Sota, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

“Kami ini masyarakat kecil di tapal batas. Kami menjaga perbatasan negara, tapi sering tidak dilihat pemerintah. Kehadiran Provinsi Papua Selatan membawa harapan, tapi kami butuh bukti, bukan sekadar janji,” kata Jeremias.

Menurutnya, masyarakat Kanum mendiami delapan kampung di dua distrik Sota dan Naukenjerai. Sebagian besar kampung masih jauh tertinggal dari sisi pembangunan infrastruktur maupun kesejahteraan ekonomi. Ia mencontohkan kampung Korkari di tapal batas yang hingga kini jarang tersentuh program pemerintah.

“Apakah kami akan terus dibiarkan begini? Jangan hanya Sota yang dilihat. Semua kampung Kanum yang menjaga perbatasan juga harus diperhatikan,” ujarnya.

Jeremias menjelaskan, pembentukan BUMMA Kanum bertujuan mengelola potensi sumber daya alam mereka, mulai dari hasil kebun, rawa, hingga sungai, secara mandiri. Namun, ia menegaskan masyarakat adat tidak bisa berjalan sendiri.

“BUMMA ini bentuk inisiatif kami, tapi masyarakat tidak siap mengelola tanpa dukungan. Mitra BUMMA hanya mendorong, tapi kami butuh uluran tangan pemerintah provinsi dan kabupaten, juga dukungan masyarakat luas, agar usaha ini bisa berhasil,” katanya.

Ia juga menyinggung soal pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah Kampung. Menurut dia, sinergi menjadi kunci agar program BUMMA tidak tumpang tindih dengan badan usaha milik desa (BUMDes) yang sudah ada.

Jeremias berharap pembentukan BUMMA Kanum dapat segera terealisasi dan mendapat dukungan kebijakan maupun anggaran. “Ekonomi masyarakat Kanum di Distrik Sota dan Naukenjerai sangat tertinggal," ujarnya. 

Staf Ahli Gubernur Papua Selatan Bidang Pengembangan Otonomi Khusus, Michael Gomar, dalam sambutannya, Gomar menekankan pentingnya kemandirian ekonomi masyarakat adat agar tidak selalu menjadi penonton di atas tanah sendiri.

“Papua ini sudah tertinggal jauh dari [Pulau] Jawa dan daerah lain. Tidak hanya pembangunan infrastruktur, tetapi juga kesejahteraan masyarakat. Minim pendapatan, minim lapangan kerja, padahal potensi kita luar biasa,” ujar Gomar.

Mantan Pj Bupati Mappi itu juga mengatakan contoh sederhana seperti kolam-kolam kecil yang di musim kering tetap dipenuhi ikan gabus dan mujair yang melimpah “Itu tinggal tangkap saja, tanpa perlu jaring atau perahu. Tetapi siapa yang mengelola? Di sinilah pentingnya kita mengatur kembali cara kita mengelola kekayaan alam,” katanya.

Di hadapan masyarakat Kanum, Gomar menekankan bahwa roh otonomi khusus hanya tiga: keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kata keberpihakan ia ulang dengan penekanan khusus. “Semua program dan dana pemerintah harus berpihak pada masyarakat Papua. Yang kedua, perlindungan hak-hak adat, suku, marga, dan budaya. Dan yang ketiga, pemberdayaan ekonomi, supaya masyarakat adat bisa hidup lebih sejahtera,” tuturnya.

Suku Kanum di Papua Nugini (Foto: M. Ikbal Asra)

Gomar mengingatkan soal pentingnya sinergi. BUMMA, katanya, tidak boleh berdiri sendiri. Ada dana desa dan BUMDes yang juga hidup di kampung. “Semua harus didudukkan bersama, supaya tidak tumpang tindih. Kepala kampung harus bijak mengalokasikan anggaran, agar badan usaha adat dan desa bisa berjalan beriringan,” ujarnya.

Pemerintah, sambung Gomar, tidak bisa berjalan tanpa masyarakat adat, dan masyarakat adat tidak bisa maju tanpa dukungan pemerintah. “Kalau semua bersinergi, tidak ada kelaparan, tidak ada kemiskinan, lapangan kerja terbuka. Inilah roh otonomi khusus yang harus hidup di tengah masyarakat adat,” katanya.

Lead Strategy Mitra BUMMA, Abdon Nababan, mengatakan bahwa gagasan pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Kanum adalah upaya konstitusional yang sejalan dengan amanat UUD 1945.

“Kita sudah bahas sejak 2021, dan ini adalah jawaban atas keinginan masyarakat adat Kanum untuk punya badan usaha milik sendiri. Kami dari Mitra BUMMA, Yayasan Menoken Membumi Mem-BUMMA, dan Papua Paradise Center datang ke sini untuk memenuhi permintaan itu,” ujar Abdon dalam pertemuan adat.

Abdon, yang juga salah satu pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengingatkan bahwa konstitusi memberi dasar hukum yang kuat bagi masyarakat adat. Ia menyebut Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang mengakui kesatuan masyarakat hukum adat, Pasal 28i ayat 3 yang menegaskan hak adat sebagai hak asasi bawaan, serta Pasal 33 ayat 1 yang mengamanatkan perekonomian berbasis asas kekeluargaan.

“Itu artinya, hak masyarakat adat Kanum untuk mengelola sumber daya sendiri bukanlah pemberian, tapi mandat konstitusi. Negara wajib hadir untuk memastikan masyarakat adat makmur,” katanya.

Menurut Abdon, wilayah adat Kanum yang membentang di perbatasan Indonesia–Papua Nugini memiliki kekayaan besar. Dari hasil pemetaan yang sudah mencapai 90 persen, tercatat potensi ikan gabus hingga puluhan ton serta komoditas vanili yang belum terkelola optimal.

“Masalahnya, masyarakat belum punya kelembagaan ekonomi. BUMMA adalah jawaban agar Kanum tidak hanya menjadi penonton, tapi pemilik yang sah atas kekayaan adatnya,” ujar Abdon.

BUMMA harus menjadi wadah kemandirian sekaligus kolaborasi.

Merundingkan pendirian Badan Usaha Suku Kanum di Merauke, Papua Selatan (Foto: M. Ikbal Asra]

“Apa yang bisa dikerjakan sendiri, kelola sendiri. Yang tidak bisa, bangun kerja sama dengan pihak lain. Intinya, Masyarakat adat harus berdaulat di atas tanahnya,” katanya.

Abdon juga menekankan pentingnya peran generasi muda Kanum. Ia mencontohkan pengalaman BUMMA Namblong di Kabupaten Jayapura, di mana pemuda menjadi motor pemetaan wilayah adat dan pengelolaan komoditas lokal.

“Anak-anak muda Kanum harus turun tangan. Jangan biarkan tanah ini hanya jadi cerita. Dari ikan gabus sampai vanili, semua bisa jadi lapangan kerja di tanah sendiri,” ujarnya.

Soal identitas Kanum yang terbelah oleh batas negara, Abdon mengingatkan bahwa persatuan adat tidak boleh pudar. “Di Indonesia ada delapan kampung, di Papua Nugini ada 18 kampung. Secara negara kita berbeda, tapi secara adat kita tetap satu Kanum,” katanya.

Posisi Mitra BUMMA, kata Abdon, sebagai pendukung teknis. “Apa yang kami sampaikan sebenarnya sudah masyarakat adat sendiri diskusikan. Kami hanya mendampingi. BUMMA Kanum adalah langkah agar adat dan ekonomi berjalan beriringan,” tuturnya.

Usai seremoni, kegiatan dilanjutkan dengan lokakarya mendalam. Warga, tokoh adat, dan kaum muda Kanum duduk melingkar, saling bertukar pandangan. Mereka memetakan potensi ekonomi yang dapat dikelola melalui BUMMA, mulai dari kebun, rawa, hingga hasil sungai. Diskusi berlangsung serius, namun tetap berakar pada nilai adat dan hak ulayat yang diwariskan oleh leluhur.

Setiap saran dan masukan dicatat dengan seksama, menjadi bagian dari perencanaan yang akan menentukan masa depan ekonomi dan kemandirian masyarakat Kanum. Ruang lokakarya itu tidak hanya menjadi tempat diskusi, tetapi juga simbol komitmen komunitas untuk menjaga identitas, hak, dan keberlanjutan wilayah adat mereka.

Menjelang sore, pertemuan ditutup dengan ritual adat. Seluruh hadirin duduk melingkar dan menyanyikan lagu tentang Suku Kanum. Suara itu lirih, namun sarat keyakinan, menegaskan bahwa BUMMA bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan jalan menjaga identitas dan kedaulatan masyarakat adat di tapal batas negeri. Ritual kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin para tetua, menjadi peneguh nilai adat dan harapan komunitas.

Direktur Perkumpulan Papua Paradise Center, Marthen Ayub Luturmasse, mengatakan lembaganya selama ini mendampingi dua distrik di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, dalam proses menuju pembentukan BUMMA.

Total sebanyak delapan Kampung yang didampingi Perkumpulan Papua Paradise Center selama ini, yakni Kampung Sota, Yanggandur, Rawa Biru, Yakyu, Kampung Onggaya, Tomer, Tomerau, dan Korkari.

Wilayah itu berupa dataran, rawa, hingga perairan, dan berbatasan langsung dengan beberapa suku lain:

  • Barat: Kampung Wasur & Nasem (Suku Marori Mengge & Malind Kayakai).
  • Selatan: Kampung Kondo (Suku Malind).
  • Timur: Papua Nugini (Kanum).
  • Utara: Kampung Erambu (Suku Yeinan).

Perkumpulan Papua Paradise Center telah memetakan kampung-kampung di dua distrik, Sota dan Naukenjerai. Pemetaan dimulai pada 15 Februari 2025 dan terus berlanjut, dengan tujuan membantu masyarakat adat mengenali letak geografis serta potensi alam di hutan adat Suku Kanum seluas 330.800 hektare.

Anak-anak Suku Kanum, Papua (Foto: M. Ikbal Asra)

Ekosistem di wilayah adat Kanum terbagi dalam dua bentang, yakni hutan dan padang rumput di daratan, serta rawa, laut, sungai, dan kali di perairan.

Dari ekosistem itu, kata Ayub, Masyarakat adat Kanum memperoleh sumber pangan, pengobatan, hingga pendapatan. “Sagu, keladi, pisang, kelapa, pinang, dan buah merah menjadi makanan pokok mereka. Untuk obat-obatan, mereka memanfaatkan minyak kayu putih, sarang semut, hingga daun sambiloto,”

Selain itu, kayu bus, kayu rahai, bambu, dan pelepah sagu masih digunakan sebagai bahan papan untuk membangun rumah. Sementara untuk kebutuhan dapur, mereka memanfaatkan rempah seperti jahe, kunyit, serai, belimbing hutan, hingga kencur.

Menurut Ayub, sebagian besar masyarakat Kanum menggantungkan pendapatan dari berkebun, melaut, serta berburu dan meramu. “Sumber daya ini penting untuk dilestarikan, sebab menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat adat Kanum,” ujarnya.

Pada 2–7 September 2025, Betahita mengikuti proses sosialisasi pembentukan BUMMA Kanum.

Selama periode itu, kami menyaksikan langsung sambutan tarian adat, diskusi masyarakat, lokakarya pemetaan potensi ekonomi, serta ritual adat yang menutup setiap pertemuan.

Kanum di Dua Negara Sepakat Dirikan BUMMA

Perahu bermesin ketinting mengantar rombongan Mitra BUMMA, Yayasan Menoken Membumi MemBUMMA, , Papua Paradise Center, dan wartawan Betahita  menyeberangi sungai Torasi pada Kamis malam, 4 September 2025. Kami juga dikawal oleh beberapa tentara Papua New Guinea untuk memastikan keamanan di jalur perbatasan.

Cahaya bulan menemani perjalanan. Setelah hampir dua jam menunggu perahu di dermaga, rombongan tiba di Kampung Wereaver, Papua New Guinea, disambut tarian adat Kanum dan lantunan nyanyian leluhur.

Sungai Torasi, atau yang juga dikenal sebagai Sungai Bensbach, berkelok tenang di sabana Trans-Fly, membelah Indonesia dan Papua Nugini. Hulu sungainya menjadi garis batas paling selatan dua negara, namun bagi masyarakat adat Kanum, sungai ini bukan pemisah, melainkan urat nadi yang menyambungkan keluarga yang terbelah oleh politik negara.

Keesokan harinya, masyarakat Kanum dari berbagai kampung di PNG berkumpul. Mereka duduk melingkar, berdiskusi serius, membicarakan dua hal penting: penyempurnaan peta wilayah adat Kanum dan pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Masyarakat Kanum berasal dari berbagai kampung, antara lain Wereaver, Kandarisa, Indorodoro, Menggethe, Weam, Korombo I dan II, Torwaya, serta Balamuk.

Kehadiran Kepala Suku Kanum, Jeremias Karika Ndimar, menjadi titik penting. Setibanya di Wereaver, ia langsung disambut para tetua adat Indonesia dan Papua New Guinea. Dalam pertemuan itu, Jeremias menegaskan kembali pentingnya pembentukan BUMMA. “Kami menjaga perbatasan, tapi sering terabaikan. BUMMA adalah jalan agar kami bisa berdiri di atas kaki sendiri,” ujarnya.

Pernyataan itu diteguhkan lewat pembacaan berita acara pembentukan BUMMA oleh Marthen Ayub Luturmasse, Direktur Papua Paradise Center. Berita acara itu menjadi dokumen simbolis yang mengikat kesepakatan Kanum di dua negara.

Masyarakat Kanum di Papua New Guinea kemudian menampilkan drama sederhana. Sangat menyentuh. diiringi nyanyian lirih yang mengalun. Seorang lelaki merangkak pelan sambil memanggul karung di punggung. Ia merangkak tanpa henti, hingga akhirnya seseorang datang mengangkatnya berdiri. Drama itu menggambarkan perjalanan panjang masyarakat Kanum hidup dalam kemiskinan, dan harapan bahwa mereka akan bangkit dengan hadirnya BUMMA.

Kesepakatan bersama itu tidak berhenti di ruang diskusi. Malam harinya, masyarakat Kanum menggelar ritual Gadsi, sebuah ritual adat yang sarat makna persatuan dan penyucian niat. Mereka berdoa, menari, dan menyanyi dalam lingkaran hingga fajar menyingsing pukul enam pagi.

Ritual itu menjadi penutup sekaligus peneguh bahwa BUMMA bukan sekadar gagasan ekonomi, melainkan juga simbol identitas dan kedaulatan Kanum. Di bawah langit mendung, suara burung berpadu dengan keyakinan baru: Kanum harus berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa kehilangan akar adat yang menyatukan mereka di dua negara.

Perempuan Suku Kanum di Merauke, Papua Selatan (Foto: M. Ikbal Asra]