
LIPUTAN KHUSUS:
Hadiah Hari Mangrove: Hutan Pantura Dibabat demi Tambak
Penulis : Aryo Bhawono
Pada level aturan, mangrove kini siap dikoyak, dihabisi secara legal. Kado Hari Mangrove yang ironis, kata Walhi Jawa Barat.
Ekosistem
Sabtu, 26 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hutan Mangrove di pesisir Pantai Utara Jawa Barat mendapat hadiah tak menyenangkan saat Hari Mangrove tahun ini, yang jatuh pada hari ini, Sabtu (26/7/2025). Sekitar dua bulan sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, menetapkan 20.413,25 hektare hutan di pesisir pantai utara Jawa Barat menjadi lahan revitalisasi tambak.
Penetapan ini dilakukan melalui SK Menhut No 274 Tahun 2025 tentang Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan untuk Revitalisasi Tambak Pantai Utara Jawa Barat atas nama Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyatakan penetapan ini menjadi ironi di Hari Mangrove Sedunia. Hari Mangrove seharusnya menjadi refleksi untuk mendorong upaya konservasi serta pelestarian ekosistem mangrove, revitalisasi yang dirancang pemerintah justru menjadi ironi.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah Alaydrus, menyebutkan SK 274/2025 adalah bentuk kemunduran ekologis yang sangat serius. Penetapan itu tidak hanya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam agenda iklim global tetapi juga mencederai hak-hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Proyek ini bukan revitalisasi, tapi ekspansi industri yang merusak. Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang terbengkalai, proyek ini justru membuka hutan lindung baru untuk industri budidaya intensif. Skema revitalisasi tambak yang dicanangkan bukanlah solusi ekologis, melainkan ancaman sistemik terhadap keberlanjutan ekosistem Pantura dan kehidupan masyarakat pesisir,” kata dia.
Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang sudah rusak atau terbengkalai, proyek ini justru membabat hutan mangrove yang masih sehat dan aktif secara ekologis. Bahkan kawasan hutan lindung yang semestinya memiliki status perlindungan ketat pun turut dijadikan target ekspansi.
Luasan yang dilepaskan oleh SK Menhut 274 Tahun 2025 ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah pelepasan kawasan hutan lindung di Jawa Barat. Hal ini mengindikasikan pergeseran arah kebijakan negara: dari perlindungan ekologis menuju ekspansi investasi ekstraktif.
Penghilangan lebih dari 20.000 ha mangrove akan melemahkan daya tahan alami kawasan pesisir dan memperparah risiko bencana iklim. Kawasan hutan tersebut berperan sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan habitat penting bagi biodiversitas pesisir.
“Konversi ini melanggar prinsip kehati-hatian dalam perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi,” ucap dia.
Sebanyak 16.078 hektare dari total penetapan itu merupakan kawasan hutan lindung, area yang semestinya tidak boleh dikonversi karena memiliki fungsi ekologis penting. Wilayah yang terdampak langsung alokasi KHKP meliputi Kabupaten Karawang seluas 6.979,51 ha, Subang seluas 2.369,76 ha, Indramayu seluas 2.875,48 ha, dan Bekasi seluas 8.188,49 ha. Sedang sisanya adalah hutan produksi tetap seluas 4.335,21 ha di Bekasi.
Proyek ini berpotensi mengubah secara drastis bentang pesisir Jawa Barat, dari kawasan hutan mangrove menjadi zona industri akuakultur berskala besar. Tidak hanya mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir, tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat lokal serta memperparah ketimpangan struktur penguasaan ruang.
Menurutnya dokumen tersebut disahkan tanpa kajian KLHS dan AMDAL yang inklusif dan partisipatif. Tidak ada pelibatan warga terdampak secara bermakna. “Proyek sebesar ini seharusnya melalui konsultasi publik dan uji kelayakan ekologis, bukan keputusan sepihak yang mengabaikan potensi kerusakan jangka panjang,” kata dia. Karena itu, "Walhi Jawa Barat mendesak pencabutan penetapan ini, menunda proyek revitalisasi tambak, dan audit kawasan hutan lindung serta tata ruang pesisir."
Ditemui terpisah, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara, Parid Ridwanuddin, menyebutkan mangrove mengalami masa terburuknya pada peringatan Hari Mangrove Sedunia kali ini dengan penetapan ini. “Perlindungan mangrove mengalami gerakan mundur,” kata dia.
Pada 5 Juni 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto, meneken Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2025 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Namun aturan itu justru tidak benar-benar melindungi mangrove.
Justru PP ini, kata dia, melegalkan konversi lahan mangrove di Indonesia. Bahkan tak ada ancaman sanksi pidana bagi pelaku perusakan mangrove. Selain itu terdapat PP No 28 Tahun 2025 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) yang sangat longgar standar lingkungannya.
“Pada level aturan, mangrove siap dikoyak, dihabisi secara legal. Ketika regulasi ini bersanding dengan UU Cipta Kerja dan UU Minerba, maka habis sudah riwayat perlindungan mangrove secara regulasi,” ujarnya.
Sedangkan SK Menhut No 274 Tahun 2025, merupakan bentuk secara kebijakan untuk merusak. Makanya, kata dia, secara regulasi dan kebijakan, perlindungan mangrove nihil.
“Ini menunjukkan perlindungan mangrove itu hanya ada di podium para pejabat itu,” ucapnya.