
LIPUTAN KHUSUS:
Anak Muda: Paling Terdampak Krisis Iklim, paling Tak Dianggap
Penulis : Gilang Helindro
Kita harus berhenti berpura-pura Bumi baik-baik saja, ujar anak muda Papua yang akan berangkat ke COP30.
Lingkungan
Jumat, 04 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Di tengah krisis iklim yang kian terasa dan hutan hujan yang terus menyusut, suara-suara muda dari belahan dunia Selatan menolak diam. Salah satunya datang dari Indonesia. Dua pemuda adat asal Papua, Iqbal Kaplele (25) dan Vanessa Reba (24), akan membawa aspirasi generasi muda ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, pada November 2025 mendatang.
Mereka bagian dari 23 pemuda Indonesia yang tergabung dalam penyusun Deklarasi Pemuda Global untuk Keadilan Iklim, sebuah inisiatif internasional yang digerakkan oleh organisasi asal Kolombia, Life of Pachamama.
Iqbal, aktivis dari Papua Trada Sampah yang berasal dari Suku Sobey dalam keterangan tertulisnya mengatakan, deklarasi ini merupakan hasil kolaborasi lebih dari 600 pemuda dari berbagai negara yang ingin menegaskan bahwa generasi muda bukan sekadar penerima kebijakan, tetapi aktor utama dalam menyelesaikan krisis iklim dan membangun masa depan yang berkeadilan.
“Kita harus berhenti berpura-pura Bumi baik-baik saja. Kami, orang muda, adalah yang paling terdampak krisis iklim, tapi justru paling jarang diajak bicara,” ujar Iqbal dikutip Kamis, 3 Juli 2025.

Iqbal menegaskan akan membawa tiga isu utama dari Indonesia ke panggung dunia: pengakuan hak masyarakat adat, penghentian deforestasi, dan penanggulangan dampak pertambangan. Ia juga menekankan pentingnya pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai langkah konkret menghadapi krisis iklim.
Vanessa Reba dari Suku Saireri menyebutkan pentingnya memberi ruang nyata bagi suara pemuda, terutama dari kelompok yang terpinggirkan secara geografis dan struktural. “Keterlibatan ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan saya sebagai advokat muda adat yang berkomitmen membawa perubahan dari akar,” ujar Vanessa.
Tanah Papua, tempat mereka berasal, kini menghadapi tekanan besar akibat ekspansi tambang dan perkebunan. Namun, dari wilayah yang terluka itulah suara mereka justru tumbuh kuat. Bagi keduanya, partisipasi dalam COP30 bukan hanya tentang mewakili Indonesia, tetapi juga tentang memperjuangkan masa depan komunitas adat mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan iklim nasional maupun global.
Deklarasi yang akan mereka bawa memuat lima agenda utama, seperti memastikan partisipasi bermakna pemuda dalam kebijakan lingkungan, mendesak desentralisasi berbasis wilayah, menuntut akuntabilitas korporasi atas kerusakan lingkungan, melindungi pembela lingkungan muda, dan mendorong keterbukaan informasi melalui pembentukan observatorium pemuda.
Direktur Eksekutif Life of Pachamama, Juan David Amaya, menegaskan deklarasi ini bukan sekadar simbolik. “Ini adalah pernyataan strategis dan latihan kepemimpinan yang sah dari generasi muda dunia Selatan,” katanya.
Iqbal juga menyoroti sempitnya ruang formal yang tersedia bagi partisipasi pemuda dalam pengambilan keputusan iklim di Indonesia. Menurutnya, mekanisme seperti Musrenbang dan Forum Anak belum efektif menjangkau persoalan nyata yang dihadapi orang muda.
“Mereka yang akan hidup paling lama di masa depan adalah orang muda. Tapi kenapa masa depan itu terus dirumuskan tanpa melibatkan kami?” tegasnya.