LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Adat Aru Diganjar Penghargaan Internasional


Penulis : Gilang Helindro

Hutan bukan hanya tempat mencari makan, tapi bagian dari kehidupan kami yang harus dijaga, kata tokoh adat Aru.

Masyarakat Adat

Rabu, 02 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Di tengah ancaman eksploitasi pulau-pulau kecil oleh berbagai kepentingan bisnis dan negara atas nama pembangunan, masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, membuktikan diri sebagai garda terdepan perlindungan lingkungan. Gerakan #SaveAru menerima penghargaan internasional dari Right Resources International (RRI) atas komitmen kolektif mereka menjaga hutan dan laut sebagai ruang hidup dan warisan leluhur.

Penghargaan ini diberikan pada 30 Juni 2025 di Kathmandu, kepada dua tokoh adat Aru Mika Ganobal dan Ocha Gealogoy alias Mama Ocha yang mewakili perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanah dan sumber daya mereka dari berbagai ancaman proyek ekstraktif.

Kepulauan Aru terdiri dari lebih dari 832 pulau, dengan 75% daratannya masih berupa hutan alam. Namun kekayaan ekologis ini telah lama menjadi sasaran berbagai rencana pembangunan berskala besar. Mika Ganobal menegaskan, hutan Aru bukan sekadar sumber daya, melainkan ruang hidup sakral yang diatur melalui aturan adat, ikatan spiritual, dan keputusan kolektif.

“Hutan ini bukan hanya tempat mencari makan, tapi bagian dari kehidupan kami yang harus dijaga,” ujar Mika dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa, 1 Juli 2025. Ia juga menyoroti ancaman beragam bentuk konversi lahan, dari sawit, tebu, peternakan, hingga proyek karbon yang tidak transparan.

Gerakan #SaveAru menerima penghargaan internasional dari Right Resources International (RRI) atas komitmen kolektif mereka menjaga hutan dan laut sebagai ruang hidup dan warisan leluhur. Foto: Istimewa/FWI

Mama Ocha, perwakilan perempuan adat dari Desa Marfenfen, juga menerima penghargaan dari RRI. Ia menekankan bahwa perempuan adat memiliki peran penting dalam menjaga alam. “Sebagai perempuan di Aru, hidup kami bergantung pada hutan dan laut. Kalau alam rusak, kami yang pertama terdampak,” tegasnya.

Menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Fathul Barri, setidaknya ada empat gelombang proyek besar yang mengancam Kepulauan Aru, mulai dari eksploitasi hutan dan perikanan sejak tahun 1970-an, rencana konversi 500.000 hektare hutan untuk tebu oleh PT Menara Group (2007–2013), peternakan sapi oleh Jhonlin Group (2014–2021), hingga kini proyek perdagangan karbon seluas 192.000 hektare oleh anak usaha Melchor Group dan reaktivasi izin hutan produksi PT Wana Sejahtera Abadi.

Meski tekanan bertubi-tubi, masyarakat adat tidak tinggal diam. Melalui gerakan akar rumput #SaveAru, mereka berhasil menggagalkan sejumlah proyek tersebut. “Ketangguhan ini menunjukkan bahwa tata kelola adat adalah solusi nyata untuk perlindungan lingkungan,” ujar Mufti.

FWI menekankan pentingnya pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk memperkuat perlindungan hukum bagi komunitas adat. “Sudah saatnya negara hadir sebagai pelayan masyarakat adat, bukan pemilik sumber daya mereka,” kata Mufti. Ia menambahkan, tanpa pengakuan legal, perjuangan masyarakat adat akan selalu berada dalam ketidakpastian.

Gerakan #SaveAru membuktikan bahwa pelestarian alam tidak harus bertentangan dengan keberlanjutan kehidupan manusia. Namun untuk melanjutkan perlindungan ruang hidup mereka, masyarakat adat membutuhkan dukungan nyata negara, termasuk pengesahan kebijakan seperti RUU Masyarakat Adat.“Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya ingin dihormati. Hutan dan laut ini sudah kami jaga jauh sebelum negara ada,” ungkap Mama Ocha.