LIPUTAN KHUSUS:
Walhi NTT: Setop Semua Proyek Geothermal di Flores
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelompok masyarakat sipil meminta pemerintah pusat untuk menghentikan semua proyek geothermal di NTT.
Energi
Jumat, 09 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil meminta seluruh proyek pengembangan geothermal di Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama di Pulau Flores, disetop. Alasannya, selain dianggap mengabaikan keberadaan masyarakat setempat, proyek tambang panas bumi ini juga berpotensi merusak ekologi secara luas.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, mengatakan, sikap memaksakan kehendak melanjutkan pengembangan geothermal di NTT, yang dipertontonkan Kementerian ESDM dan PT PLN, adalah mentalitas orde baru yang serba sentralisasi dan tidak menghormati mandat reformasi, yakni desentralisasi.
“Bayangkan saja. ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT. Selanjutnya, mereka datang mengiming-imingi warga lokal dan mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan mereka (Kementerian ESDM) yang sepihak tersebut,” kata Umbu, dalam sebuah keterangan tertulis, 2 Mei 2025.
Umbu menuturkan, publik NTT terus melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pemerintah agar jangan sampai kerusakan ekologis semakin meluas, akibat proyek-proyek tersebut.
“Apalagi ini proyek geothermal yang rakus lahan, rakus air. Padahal kita sendiri sedang mengalami tantangan problem krisis air,” ujarnya.
Kritik dan penolakan tambang panas bumi di NTT, sebelumnya juga disampaikan Walhi NTT dalam sebuah pertemuan bersama Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, yang digelar Gubernur NTT, di Kupang, pada 28 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, Walhi NTT menguraikan sejumlah persoalan terkait proyek pengembangan geothermal di NTT, termasuk di Pulau Flores.
Dalam kesempatan itu, Walhi NTT menguraikan, berdasarkan data Kementerian ESDM, terdapat 28 titik potensial pengembangan geothermal di NTT, yakni 6 titik di Pulau Alor, 1 titik di Kabupaten Kupang, dan 21 titik di Pulau Flores-Lembata. Khususnya di Flores, Walhi NTT melihat penetapan pulau itu sebagai pulau panas bumi/ pulau geothermal, seperti dalam keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, sama sekali tidak melibatkan masyarakat, apalagi meminta izin.
Walhi NTT juga menyebut pemerintah pusat terkesan sengaja membenturkan pemerintah daerah dengan masyarakat NTT. Dalam penyusunan Rencana Umum Energi Daerah NTT (RUED NTT) dan implementasinya ke dalam RPJMD, pemerintah provinsi mendorong keberlanjutan energi sesuai dengan kondisi energi yang ada di daerah, yakni pemanfaatan radiasi matahari, angin, air dan arus laut.
“Sedangkan pemerintah pusat menghadirkan proyek geothermal. Hal ini terkesan pemerintah pusat sengaja membenturkan masyarakat dengan pemerintah daerah,” kata Gres Gracelia, Divisi Advokasi Walhi NTT, yang hadir dalam pertemuan itu.
Secara geografis, lanjut Gres, NTT merupakan provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan berada di jalur ring of fire. Situasi ini menjadi sebuah alarm bagi pemerintah sekaligus sebagai acuan pengembangan proyek geothermal, yang juga punya dampak ekologis yang besar terhadap lingkungan di NTT, khususnya Flores.
Selain itu, Gres juga mengkritisi kebijakan pemerintah pusat yang abai terhadap konsep sosial, budaya, ekologi dan ekonomi masyarakat NTT. Hal ini diikuti dengan fakta yang ditemukan Walhi bahwa di setiap titik pengembangan geothermal, persoalan sosial, budaya ekologi dan ekonomi selalu menjadi hal utama dalam alasan penolakan warga.
Walhi NTT, imbuh Gres, juga memberi catatan merah terhadap sikap pemerintah yang tidak tegas kepada perusahaan, dalam hal ini perusahaan pengembang proyek, seperti PT PLN, yang selalu memicu konflik horizontal di antara masyarakat.
Belajar dari apa yang terjadi di Poco Leok Manggarai, sambung Gres, sejak awal 1995, pihak PT PLN masuk ke dalam kebun-kebun warga melakukan penelitian tentang geothermal namun tidak meminta izin dan memberitahu maksud dan tujuan.
“Pihak PLN mengancam warga lokal dan ada perempuan yang mengalami pelecehan secara verbal di kebun kopi warga,” ujar Gres.
Gres menyebut, konflik horizontal sengaja dipelihara oleh PT PLN dengan cara membuatkan kebun bagi masyarakat pro dan memberi sejumlah upah harian, dan memberikan anakan babi kepada masyarakat pro. Pihaknya menduga PT PLN mengorganisir sejumlah media untuk meloloskan kepentingan dan menyudutkan masyarakat.
“Pada beberapa kasus kriminalisasi masyarakat adat di Poco Leok, Walhi juga mengkritisi bagaimana PLN membenturkan masyarakat dengan alat negara. Selain itu yang juga paling fatal, adalah konflik sosial yang masuk ke dalam ranah agama,” kata Gres.
Gres menjelaskan, di Poco Leok, doa rosario bergilir bahkan tidak dilakukan oleh masyarakat yang pro kepada masyarakat yang kontra. Sebaliknya, masyarakat yang kontra juga tidak akan melaksanakan doa rosario bergilir di rumah kelompok masyarakat yang pro.
“Semua ini terjadi akibat proyek geothermal yang membenturkan situasi sosial masyarakat dan menciptakan konflik hingga ranah agama yang paling privasi,” katanya.
Gres mengungkapkan, sumber air yang dipakai untuk menghidupkan proyek geothermal di Ulumbu, berasal dari Poco Leok. Walhasil, sejak geothermal Ulumbu beroperasi, masyarakat Poco Leok mengalami kekurangan air.
Tidak hanya itu, sambung Gres, masyarakat di Poco Leok juga mengeluhkan bagaimana hasil produktivitas pertanian seperti kopi, cengkeh dan vanili menurun secara drastis, baik secara kualitas maupun kuantitas, sejak PLTP Ulumbu beroperasi.
“Di sisi yang lain, jarak Poco Leok ke wilayah Ulumbu yang dapat ditempuh sekitar 3-5 Km, namun sejak PLTP Ulumbu beroperasi, warga Poco Leok secara keseluruhan di 14 gendang (kampung) baru teraliri listrik secara penuh di akhir 2024,” ucap Gres.
Gres melanjutkan, dalam temuan Walhi NTT, PT PLN juga diduga melakukan manipulasi data soal jumlah masyarakat yang melakukan penolakan di wilayah pengembangan geothermal Poco Leok.
Hal ini kemudian ditegaskan oleh perwakilan masyarakat adat Poco Leok yang juga hadir dalam pertemuan ini secara virtual melalui aplikasi zoom meeting JPIC SVD. Yang mana perwakilan masyarakat adat Poco Leok mengkritisi penjelasan PLN tentang jumlah warga yang setuju dengan pengembangan proyek geothermal ini.
Gres mendesak agar perusahaan pengembang geothermal tidak abai terhadap persoalan sosial, ekologi, budaya dan ekonomi yang ada di masyarakat. Bercermin dari Mataloko, yang mana mengakibatkan kerusakan berupa semburan lumpur panas, seharusnya membuat perusahaan pengembang geothermal lebih transparan sejak awal terkait dampak buruk dari geothermal.
Soal Program Hilirisasi Non Tambang yang menjadi program unggulan Gubernur NTT, Gres menganggap program tersebut hanya akan berhasil bila lingkungan atau kondisi sosial, dan ekologi NTT dalam keadaan sehat. Sedangkan proyek geothermal justru berpotensi menggagalkan program tersebut.
“Mengapa? Karena dampaknya sangat buruk terhadap kesehatan lingkungan. Merusak tanah, air, lingkungan sosial, budaya dan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi di masyarakat,” ujar Gres.
Hal tersebut, imbuh Gres, sudah terbukti di Mataloko, Ulumbu dan Sokoria. Yang mana produksi pertanian seperti kopi, cengkeh, vanili dan hasil pertanian lainnya jumlahnya menurun dari tahun ke tahun semenjak geothermal beroperasi.
“Akibat kesalahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang lalu, gubernur yang sekarang harus menanggung beban ekologis yang lebih besar dari kebijakan pusat,” katanya.
Atas sejumlah temuan tersebut, sambung Gres, Walhi NTT menyampaikan sikap menolak proyek geothermal oleh Kementerian ESDM di NTT, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan energi berkeadilan dan bersih di NTT.
Walhi NTT juga meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan menghentikan semua proyek geothermal di NTT, dan mencabut Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017.
“Meminta pemerintah untuk tidak mengangkangi Rencana Umum Energi Daerah NTT 2025-2034, karena dalam RUED NTT tidak memasukkan geothermal sebagai energi yang dikembangkan oleh pemerintah NTT,” kata Gres.
Tak hanya itu, pihaknya juga meminta pemerintah untuk menghormati sikap pemimpin umat di Flores yang secara jelas dan tegas melakukan penolakan atas kebijakan geothermal.
Kepada PT PLN, lanjut Gres, Walhi NTT meminta agar praktik kejar tayang energi untuk kepentingan keuntungan semata dengan mengabaikan penolakan warga dan kerusakan ekologis, dihentikan.
Walhi NTT juga meminta pemerintah pusat patuh pada UU Otonomi Daerah dan UU Desa, dengan menghormati kebijakan gubernur terkait program hilirisasi ekonomi non tambang dan menghentikan program pertambangan geothermal.
“Meminta seluruh pemerintah di NTT melakukan penolakan atas kebijakan pemerintah pusat yang top down atau tidak berasal dari aspirasi akar rumput (bottom up),” ucap Gres.