LIPUTAN KHUSUS:

Polisi Tembak Warga Penolak Tambang Halmahera dengan Gas Air Mata


Penulis : Aryo Bhawono

Warga Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menolak hutan adatnya ditambang PT Sambaki Tambang Sentosa.

Tambang

Selasa, 29 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aksi demonstrasi menolak tambang oleh warga Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara dibalas dengan tembakan gas air mata oleh polisi. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut aparat sudah jadi centeng perusahaan tambang nikel. 

Sekitar 300 warga yang berasal dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, berkumpul di Desa Pekaulang dan berjalan menuju kantor perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Baburino, Maba, untuk menolak aktivitas pertambangan di tanah adat mereka. Mereka mendesak pencabutan izin perusahaan tambang nikel, PT Sambaki Tambang Sentosa (STS). 

Warga menuntut penghentian pertambangan yang merusak lingkungan, pencabutan  izin usaha pertambangan PT STS, memulihkan hak masyarakat adat, lingkungan, dan bertanggung jawab atas penggusuran lahan kebun kelapa mereka di Dusun Memeli, Desa Pekaulang.

Namun aksi ini dibalas dengan pengerahan puluhan personel Polres Halmahera Timur yang dibackup oleh sekitar 20-30 anggota Brimob. Setelah terlibat adu mulut dan saling dorong dengan aparat kepolisian, sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata sebanyak 10 kali ke arah warga yang sedang berkumpul. 

Sekitar 300 warga yang tergabung dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, melakukan aksi menolak PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) . Foto: Dok Warga

Tembakan gas air mata ini, menurut Jatam,  diarahkan langsung kepada kerumunan warga tanpa adanya peringatan terlebih dahulu.

Beberapa warga mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata tersebut. Warga Wayamli, Mulyadi Palangi, terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas; Riski Boway terkena tembakan di kaki; dan Sulandra Asri di jemari tangan. Tindakan ini juga menyebabkan trauma psikologis bagi perempuan dan anak-anak yang ikut dalam aksi. 

Warga Wayamli, Mulyadi Palangi, terkena selongsong gas air mata yang ditembakkan polisi pada aksi to

Warga sebelumnya tak pernah mengalami kekerasan seperti ini.

Aksi represif aparat sendiri sudah berkali-kali terjadi di daerah itu. Pada Sabtu lalu (26/4/2025), polisi juga memaksa pulang warga dan sebagian warga sempat diborgol polisi, saat sedang berjaga di lokasi wilayah adat mereka yang telah digusur PT STS. 

Peristiwa ini, bermula ketika warga menerima informasi jika perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan yang merupakan wilayah adat Qimalaha Wayamli. Peristiwa itu terjadi ketika sekitar 13 orang yang diutus warga Wayamli naik ke lokasi guna melakukan pengecekan.

Polisi yang datang langsung meminta warga untuk pulang namun warga bersikeras bertahan untuk menjaga wilayah adat Qimalaha. 

STS sendiri memiliki konsesi seluas 4.480 hektare. Mereka mengantongi izin dari Bupati Haltim Welhelmus Tahalele periode 2005-2010.

Dinamisator Jatam Maluku Utara, Julfikar Sangaji menyebutkan rentetan kejadian kekerasan ini merupakan kejahatan struktural terhadap rakyat. Aparat justru berfungsi sebagai alat kekuasaan bagi korporasi yang merusak lingkungan dan menggusur tanah adat. 

“Polisi, yang seharusnya melindungi hak-hak warga, malah menggunakan kekuatan brutal untuk membungkam aspirasi mereka. Selain itu, elit lokal juga terkesan berdiam diri, membiarkan kejahatan ini terus berlanjut tanpa ada upaya nyata untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyat,” ujarnya pada Senin (28/4/2025).

Jatam bersama masyarakat sipil di Maluku Utara  mengecam keras brutalitas aparat tersebut dan menuntut pemerintah Kabupaten Haltim dan Provinsi Maluku Utara untuk segera menghentikan represi macam ini. 

Rakyat, kata Julfikar, harus dilindungi dari kekerasan yang terus berulang. 

“Kami juga mendesak agar perusahaan PT STS bertanggung jawab atas segala kerusakan yang telah mereka timbulkan dan menghentikan segala aktivitas pertambangan di tanah adat yang telah merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat,” ucapnya.