
LIPUTAN KHUSUS:
Demo Minta Listrik 24 Jam ke Harita Berbuah Kriminalisasi
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Sipil di Maluku Utara mendesak penghentian proses hukum warga dan evaluasi polisi serta TNI.
Hukum
Minggu, 20 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Warga Kawasi, Kecamatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, harus menghadapi proses hukum gara-gara demonstrasi meminta layanan listrik 24 jam. Masyarakat Sipil di Maluku Utara mendesak penghentian proses hukum dan evaluasi polisi serta TNI atas intimidasi.
Riski Jouronga alias Ubu harus menghadapi pemeriksaan Satuan Reserses dan Kriminal (Reskrim) Polres Halmahera Selatan (Halsel) atas dugaan pencemaran nama baik pada Senin (14/4/2025). Pemeriksaan bermula saat ia ikut serta dalam aksi bertajuk “Harita Gemerlap Kawasi Gelap” pada 17 Maret 2025 lalu.
Ia dilaporkan oleh Abiater Dowet Bagimana bersama kuasa hukumnya, Safri Nyong, yang menyebutkan Ubu melakukan tindakan pencemaran nama baik.
Keterangan pers yang diterima redaksi menyebutkan Ubu diperiksa oleh Bripka Muhammad Nur, S.H di dalam ruangan Unit II Tipidter Sat Reskrim Polres Halsel pada 14 April 2025 terkait dengan tuduhan pencemarkan nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Manajer Advokasi Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, Mubaligh Tomagola, menyebutkan Ubu adalah warga Desa Kawasi yang sedang memperjuangkan lingkungan hidup, menuntut pertanggungjawaban perusahan, serta mempertahankan kampung dari upaya relokasi paksa yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah daerah.
“Seharusnya polisi tidak perlu menindaklanjuti laporan ini karena Ubu dilindungi oleh UU PPLH,” kata dia melalui rilis pers.
Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyebutkan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Aturan ini ditegaskan dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 Tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat.
Aturan itu, kata dia, melindungi individu, kelompok, organisasi, akademisi, masyarakat adat, dan badan usaha yang berjuang untuk lingkungan dari upaya hukum yang bertujuan membungkam aksi mereka.
Aksi demonstrasi yang diikuti Ubu sendiri menuntut tanggung jawab perusahaan untuk memperbaiki sistem jaringan listrik yang padam di Desa Kawasi sejak kebakaran hebat yang terjadi pada 1 Maret 2025.
Warga, termasuk Ubu, menilai ada ketidakadilan yang sengaja diperlihatkan oleh perusahaan, pemerintah, dan anggota keamanan. Warga yang pro perusahaan dan kebijakan pemerintah diutamakan dalam segala urusan pelayanan publik. Sementara warga yang memilih berjuang mempertahankan kampung selalu dibatasi, dihalang-halangi, dipersulit, serta mendapat teror dan serangan intimidasi.
Warga Obo, Nurhayati Jumadi, menyebutkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah cara bagi warga Desa Kawasi sebagai pembela lingkungan untuk menuntut pemenuhan dan perlindungan hak mereka serta berjuang dari upaya relokasi paksa kampung mereka.
“Tindakan kriminalisasi terhadap Riski Jouronga serta pembela lingkungan lainnya melalui UU ITE berpotensi memperparah pelanggaran HAM dan kritik yang disampaikan para pembela lingkungan serta warga yang dirampas ruang hidupnya,” kata dia.
Menurutnya aksi yang dilakukan oleh Riski Jouronga merupakan puncak dari segala keresahan atas siasat buruk pemerintah, perusahaan, dan pihak anggota keamanan terhadap warga Desa Kawasi yang disampaikan dalam bentuk terbuka. Hal ini dijamin oleh UU PPLH maupun hukum internasional seperti Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Oleh karena itu, negara harus melindungi Riski Jouronga dan waarga Kawasi dari ancaman kriminalisasi.
“Proses hukum yang tengah dijalankan ini bukan hanya mencederai kebebasan berpendapat, namun juga mengancam seluruh pembela HAM yang berada di Pulau Obi, terkhusus Desa Kawasi. Terlebih lagi, penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE seringkali menjadi alat untuk menekan kritik dan membungkam suara-suara yang melawan ketidakadilan,” ungkapnya.
Sejak aksi demontrasi pertama pada 17 Maret 2025 hingga aksi lanjutan dengan tema “Menuntut Keadilan atas Lingkungan yang Sehat dan Bersih Tanpa Polusi” pada 15 April 2025, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejuang lingkungan hidup, dan warga masyarakat lainnya mendapatkan sejumlah bentuk intimidasi dari anggota TNI-Polri yang bertugas mengamankan perusahaan.
Ubu sendiri dilaporkan berdasar unggahan videonya saat aksi berlangsung. Dalam video itu Riski yang berdiri di atas mobil komando berteriak pada pemerintah desa, aparat keamanan, dan warga yang berusaha menghalang-halangi tuntutan masa aksi, “Baru kenal uang sedikit sudah gila. Daerah sendiri, desa sendiri saja mau jual!”
Ia mendapatkan surat panggilan pertama dengan nomor surat B/40/III2025/SKPT. Pada 14 April 2025 Riski Jouronga menghadiri surat panggilan kedua dari Polres Halsel dengan nomor surat B/432/IV/Res.2.5/2025 tertanggal 09 April 2025.
Polres Halsel memediasi pertemuan antara Abiater dan Ubu. Hasilnya, Ubu diminta segera meminta maaf dan membayar uang senilai seratus juta kepada pelapor. Hingga rilis ini dibuat Riski Jouronga masih berstatus sebagai terlapor karena tidak sanggup membayar dan terpaksa menunggu proses hukum berjalan.
Masyarakat sipil pun mendesak pemerintah menertibkan Polri dan TNI atas intimidasi dan kriminalisasi.
Proses hukum terhadap Ubu juga harus dihentikan. Mereka menilai UU ITE telah disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi. Seharusnya Polri dan TNI melindungi warga yang menyampaikan pendapat secara terbuka, bukan mengancamnya.