LIPUTAN KHUSUS:

Proyek Gasifikasi Batu Bara Prabowo Berpotensi Bebani Rakyat


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME dapat menggantikan 15% impor LPG Indonesia, tapi menurut IEEFA, kelayakan ekonominya diragukan.

Tambang

Kamis, 10 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Proyek gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) berkapasitas 1,4 juta ton yang didorong Presiden Prabowo Subianto, dinilai bukan investasi yang layak. Biaya pengembangan proyek DME cukup tinggi, mencapai US$3,1 miliar, profitabilitasnya meragukan, dan manfaat yang tidak signifikan, jadi penyebabnya. 

“Mempertimbangkan peluang dan biaya, serta harga energi lebih tinggi yang harus ditanggung masyarakat, proyek DME bukan investasi yang layak,” kata Ghee Peh, Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), dalam sebuah rilis, 27 Maret 2025.

Ghee mengatakan, proyek DME tersebut memang dapat menggantikan 15% impor LPG Indonesia. Namun, kelayakan ekonominya meragukan, mengingat profitabilitasnya tidak pasti. Hal ini berkaca pada proyek DME Shanxi Lanhua yang berhenti produksi lantaran biaya produksinya mencapai US$533 per ton, jauh lebih tinggi dari harga DME di China sebesar US$460 per ton pada 2023.

Untuk proyek DME di Indonesia, imbuh Ghee, sebelumnya PT Bukit Asam (Persero) Tbk menghitung kebutuhan biaya sebesar US$2 miliar pada 2020. Dengan faktor inflasi 30%, Ghee memperkirakan biaya tersebut dalam melonjak menjadi US$2,6 miliar pada 2025 ini.

Tongkang yang penuh dengan batu bara berlabuh di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, Senin, 19 Desember 2022. Foto: AP Photo/Dita Alangkara.

Padahal, lanjut dia, masih ada keuntungan yang hilang dengan batu bara diproses menjadi DME, alih-alih dijual begitu saja. Mengacu laporan keuangan PT Bukit Asam per September 2024, perusahaan untung US$8 untuk setiap ton batu bara yang dijual.

Menurut Ghee, jika 6,5 juta ton batu bara harus dialihkan untuk proyek DME pada harga yang mengacu biaya tunai produksi (cash cost), akan ada keuntungan yang hilang mencapai US$520 juta selama 10 tahun.

“Sehingga total biaya proyek DME akan menyentuh US$3,1 miliar—dengan belanja modal US$2,6 miliar ditambah hilangnya keuntungan US$520 juta—mencapai 70% dari biaya impor LPG Indonesia US$4,3 miliar per tahun, di mana volume impor LPG 7 juta ton. Namun, proyek ini hanya akan menghasilkan 1 juta ton setara energi LPG,” ujar Ghee.

Selain itu, masih kata Ghee, biaya produksi DME juga cukup tinggi, yakni mencapai US$614-651 per ton, setelah memasukkan komponen biaya batu bara dan non-batu bara dalam produksinya. Angka tersebut lebih tinggi dari harga LPG yang telah disetarakan dengan DME—lantaran DME menghasilkan energi yang lebih rendah dari LPG—yang hanya US$431 per ton.

“Jadi meski pada batas bawah biaya produksi non-batu bara, harga DME US$183 per ton atau 42% lebih mahal dari harga LPG, pada Maret 2025. Artinya, masyarakat Indonesia harus membayar 42% lebih mahal untuk setiap unit energi daripada ketika memakai LPG,” ucap Ghee.

Menurut informasi yang terhimpun, proyek DME ini akan dibangun secara bersamaan di Kabupaten Muara Enim dan Ogan Komering Ilir (OKI) di Sumatera Selatan, Kabupaten Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur.