LIPUTAN KHUSUS:
25 NGO Mewanti-wanti Stelantis Soal Investasi Nikel di Indonesia
Penulis : Aryo Bhawono
Stelantis diperingatkan soal praktik pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan hutan, dan dampak perubahan iklim akibat penambangan dan pengolahan nikel di seluruh Indonesia.
Tambang
Rabu, 09 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebanyak 25 kelompok masyarakat sipil menyurati produsen otomotif Stellantis atas rencana kerjasama mereka dengan PT Vale Indonesia dan Huayou Cobalt. Mereka mewanti-wanti soal praktik pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan hutan, dan dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh penambangan dan pengolahan nikel di seluruh Indonesia.
Surat ini ditujukan ke Chairman Stellantis N.V, John Elkann di Belanda. Mereka merasa khawatir atas rencana kerjasama investasi pengolahan nikel perusahaan itu dengan Vale Indonesia dan Huayou Cobalt.
“Kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran serius bahwa rencana investasi Stellantis dalam fasilitas pengolahan nikel bersama Vale Indonesia dan Huayou Cobalt apabila tanpa perlindungan yang memadai, dapat membahayakan masyarakat adat, komunitas lokal, pekerja, dan lingkungan hidup,” tulis mereka dalam surat yang dipublikasikan pada Rabu (26/3/2025).
Stellantis, tulis mereka, merupakan pemimpin pasar produksi kendaraan di Amerika, Cina, dan kendaraan listrik (EV) Eropa. Perusahaan itu berkewajiban memastikan konsumennya tidak terlibat dalam perusakan hutan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ancaman kepada masyarakat adat terpencil (uncontacted tribes).
Stellantis juga perlu memperhatikan dan mengatasi risiko-risiko ini untuk mematuhi Regulasi Baterai Uni Eropa yang mulai berlaku pada tahun 2025.
Kelompok masyarakat sipil memaparkan data buruknya praktik pertambangan dan hilirisasi nikel di tanah air. Beberapa temuan tersebut diantaranya adalah:
- Penelitian Satya Bumi (2024) menunjukkan hubungan rantai pasok nikel dengan rusaknya pulau kecil, Kabaena, yang menjadi rumah bagi suku Bajau, suku nomaden laut terakhir di dunia. Penambangan ilegal dan tidak etis ini menyebabkan kematian dan perubahan gaya hidup suku Bajau. Bahan baku baterai yang digunakan oleh Stellantis berasal dari kegiatan ini.
- Laporan CSR Tahun 2023 milik Stellantis, pada halaman 280 menunjukkan bahwa perusahaan menerima input material baterai dari pertambangan nikel di Indonesia yang teridentifikasi adanya konflik lahan.
- Disamping itu, ditemukan bahwa Stellantis menggandeng kemitraan Joint Venture dengan pembuat baterai Samsung SDI asal Korea Selatan untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Amerika Utara, yang dijadwalkan dibuka pada tahun 2027 dengan kapasitas produksi awal 34 gigawatt jam/tahun. Sama halnya CATL, Samsung SDI juga menerima bahan baku pembuatan baterai dari perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
- Penelitian yang dilakukan oleh Survival International (2024) menunjukkan pertambangan nikel di Maluku menimbulkan ancaman genosida yang serius terhadap masyarakat adat Hongana Manyawa yang tidak tersentuh dunia luar. Perusahaan terbesar yang beroperasi di wilayah mereka, (Weda Bay Nickel) sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan pertambangan Prancis Eramet, yang telah menandatangani MoU dengan Stellantis.
- Seiring dengan perusahaan tambang yang merambah tanah milik masyarakat lokal, komunitas-komunitas ini dan pembela lingkungan semakin dikriminalisasi karena membela tanah mereka dari operasi pertambangan.
- Pada Desember 2023, sebuah ledakan di fasilitas pengolahan nikel di Morowali Industrial Park, yang dioperasikan oleh PT Gunbuster Nickel Industry, menewaskan 13 orang dan menyebabkan 46 orang terluka. Di seluruh Indonesia, 47 kematian dan 76 cedera terjadi di lokasi nikel antara tahun 2015 dan 2022, mencerminkan bahaya yang dihadapi pekerja di smelter nikel.
- Proses high-pressure acid leach (HPAL) yang digunakan untuk mengekstrak nikel dari tambang laterit di Indonesia meninggalkan tailing yang mengubah laut menjadi merah, mencemari saluran air lainnya, dan memindahkan komunitas lokal.
- Saat ini, pembangkit listrik berbasis batubara digunakan untuk mengolah nikel di Indonesia, menghasilkan emisi CO2 yang lebih besar dibandingkan negara lain. Kapasitas batu bara captive dari Morowali Industrial Park (IMIP) dan Weda Bay Industrial Park (IWIP) akan memiliki kapasitas pembangkit 5 GW dari pembangkit listrik berbasis batubara – setara dengan kapasitas seluruh Pakistan. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk mendukung produksi nikel menempatkan Indonesia pada jalur menuju salah satu negara dengan polusi iklim tertinggi di dunia, mengancam manfaat iklim dari EV.
“Sebagai produsen EV besar yang berencana berinvestasi di Indonesia, Stellantis memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam rantai pasokan kendaraan listriknya di Eropa, Cina, Inggris, dan AS bebas dari pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia semacam ini,” tulis surat itu.
Setiap investasi Stellantis dalam industri nikel Indonesia harus atau setidaknya, mencakup langkah-langkah perlindungan untuk iklim, ekosistem, dan masyarakat.
Mulai tahun 2025, produsen EV yang menjual produknya di pasar Uni Eropa wajib memiliki pelacakan penuh dan kewajiban kehati-hatian dalam rantai pasokan baterai. Atas dasar ini, Stellantis harus mengungkapkan informasi relevan kepada publik, diantaranya mempublikasikan informasi rinci tentang rantai pasokan, pemasok, pengolah, dan wilayah geografis sumber (provinsi, daerah, dan negara).
Selain itu mereka harus menyebutkan rantai pasokan yang tercakup, mempublikasikan bukti persentase mineral yang diperoleh sesuai dengan komitmen, mempublikasikan pengaduan terkait dengan sumber mineral dan tindakan yang diambil, mempublikasikan audit pihak ketiga dan pemeriksaan operasi tambang dan pemurnian, hingga melacak dan mengungkapkan dampak terhadap keanekaragaman hayati, dengan perhatian khusus pada perubahan penggunaan lahan dan deforestasi di konsesi tambang.
Stellantis sendiri tengah berdiskusi dengan PT Vale Indonesia (INCO) untuk berinvestasi di smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) yang mengubah bijih nikel berkadar rendah menjadi bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik. Mereka juga melakukan pembicaraan dengan Huayou Cobalt.