LIPUTAN KHUSUS:

Kelompok Masyarakat Sipil Gugat PSN Energi Jawa Barat


Penulis : Kalakay

Pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) ikut merampas hak asasi manusia, kata Walhi Jawa Barat.

Energi

Rabu, 05 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aliansi Jurnalis Independen berkolaborasi dengan Wahana Lingkungan Hidup dan Lembaga Bantuan Hukum menggelar kampanye Proyek Strategis Nasional (PSN) di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) di Kota Bandung, Senin pagi, 3 Februari 2025. Kampanye bertajuk “Sorotan PSN Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU di Jawa Barat” itu diisi talkshow dan diskusi bersama empat narasumber, yakni Direktur LBH Bandung Heri Pramono, Direktur Walhi Jabar Wahyudin, akademisi Universitas Padjadjaran Erri Megantara yang sekaligus anggota Tim Kajian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, kemudian Analis Ketahanan Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi Jawa Barat Arnold Mateus.

Kampanye yang didukung oleh Yayasan Kurawal ini dan bermitra dengan Tempo Witness itu dihadiri sekitar 70-an orang dari kalangan umum serta mahasiswa.

Direktur LBH Bandung Heri Pramono mengatakan sebaran PLTU di Jawa Barat yaitu PLTU Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, PLTU 1 Indramayu, kemudian PLTU 1 dan 2 Cirebon. Adapun dua PLTU lainnya yaitu PLTU 2 Indramayu dan PLTU Tanjung Jati A, keduanya belum beroperasi. “Kedua PLTU itu sempat kami gugat rencana keberadaan dan izin dampak lingkungannya. Sampai sekarang masih belum bisa pembangunan PLTU-nya,” kata Heri.

Saat ini LBH mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral untuk mengeluarkan PLTU Tanjung Jati dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Sebelumnya upaya gugatan pada PLTU 2 Indramayu dengan daya 2.000 megawatt (MW) di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra dan Desa Mekarsari, Desa Patrol Lor, Desa Patrol Baru, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu. Rencana pembangunan PLTU itu lokasinya dekat dengan PLTU Indramayu 3 x 330 MW.

Petani di Indramayu turut menolak pengeluaran FABA dari daftar limbah B3. Foto: Bersihkan Indonesia

Alasan gugatan karena pengeluaran izin tidak sesuai kewenangan dan  izin dikeluarkan tanpa adanya Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH). Warga menurut LBH sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun kesempatan partisipasi dalam terbitnya keputusan tentang kegiatan pembangunan PLTU 2 x 1000 MW. “Selain merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar, pembanguan PLTU Indramayu pun mengganggu keberadaan petani di kawasan Patrol Indramayu,” ujarnya.

Sementara Direktur Walhi Jabar Wahyudin mengatakan, pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) ikut merampas hak asasi manusia. “Karena kegiatan pembangunan ini selalu dipaksakan pemerintah dan mengesampingkan masalah lingkungan dan keselamatan manusia,” ujarnya. Dia mencontohkan mata pencaharian nelayan di laut yang semakin hilang dan semakin jauh tempat penangkapan ikannya di laut. Di daratan pun hak warga dirampas lahannya yang produktif untuk pembangunan PLTU.

Dari hasil riset dan kajian mengenai dampak pangan dan kesehatan warga Indramayu yang tinggal di sekitar PLTU, tren penyakit infeksi saluran pernafasan atas atau ISPA meningkat secara drastis. “Walau Puskesmas tidak mau menyampaikan hal itu salah satunya dari abu PLTU,” ujarnya. Warga yang terdampak masalah kesehatan itu paling banyak anak usia 2-7 tahun, juga kalangan orang lanjut usia.

Walhi Jabar juga menyoroti kebijakan tentang co-firing atau pembakaran bersama batubara dengan bahan biomassa di PLTU. Caranya bisa dicampur secara langsung, tidak langsung seperti diolah menjadi gas baru dibakar, dan secara paralel dengan menggunakan boiler berbahan bakar pelet bio massa.

Temuan Walhi di lapangan mengenai implementasi Hutan Tanaman Energi dan Industri Sawdust atau serbuk gergaji di Jawa Barat, yaitu terjadi pelepasan emisi baru sebanyak 26,48 juta ton emisi. Tanaman energi yang ditanam dianggap menyerap emisi pembakaran biomassa di PLTU. Sementara  potensi deforestasi sekitar 1 juta hektar, dan potensi konflik di wilayah hulu terkait lahan KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) yang digunakan. “Sosialisasi tidak partisipatif, implementasi tidak efektif contohnya, di wilayah Sukabumi penyemaian tanaman energi dilakukan di tahun 2022 tetapi ditinggalkan begitu saja,” ujar Wahyudin.

Akademisi dari Universitas Padjadjaran yang juga anggota tim kajian lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Erri Noviar Megantara mengatakan, bukan PSN yang salah melainkan pengurusan proyeknya. Permasalahan yang muncul di masyarakat seakan membuat kehadiran negara tidak ada. “Ini bukan saja proyek PLTU, dari awal sampai akhir seringkali abai,” katanya. Jika dari awal proyek benar, menurutnya tidak bakal ada warga yang protes ketika istilah ganti rugi diganti dengan ganti untung. Kemudian pendapatan nelayan yang hilang, diganti dengan penghasilan yang lebih baik.

Jika semua semua persoalan seperti itu tidak diselesaikan semua proyek akan bermasalah. Instrumen dari proyek itu adalah analisis dampak lingkungan atau amdal. Erri yang duduk di tim komisi penilai pusat dan daerah sering meninjau dokumen yang memuat data dan terapinya. “Masalahnya itu dilaksanakan atau tidak, itu di luar kewenangan saya,” kata Erri. Dia berharap lembaga atau organisasi masyarakat yang diundang ketika pembahasan amdal bersikap kritis.

Analis Ketahanan Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi Jawa Barat Arnold Mateus mengatakan dinas tidak punya kewenangan apa pun untuk bertindak dan ikut dalam pelaksanaan proyek-proyek skala besar dari pemerintah pusat. Proyek skala besar itu direncanakan oleh pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi pada 2016 yang diantaranya memproyeksikan kebutuhan energi listrik di jaringan koneksi Jawa, Madura, dan Bali itu akan mengalami peningkatan. Sehingga ada beberapa PSN atau proyek ketenagalistrikan yang dibangun dan direncanakan juga di Jawa Barat.

Seiring waktu proyeksi pertumbuhan konsumsi energi listrik itu mungkin tidak meningkat sehingga sekarang pemerintah pusat memutakhirkan beberapa peraturan terkait kebijakan energi nasional. Terkait wacana penerapan teknologi carbon capture storage (CCS) pada PLTU menurut Arnold, bisa secara teori namun belum banyak dilakukan. Dari sisi investasi, CCS relatif mahal dan pengembalian investasinya terkait dengan skema jual beli karbon. “Teknologi untuk mengendalikan emisi dari cerobong PLTU sebenarnya bisa diterapkan lebih dulu daripada CCS,” ujarnya.