LIPUTAN KHUSUS:

KPA Anggap Revisi UU Pokok Agraria Ingkari Konstitusi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Usulan revisi UUPA dianggap berkaitan erat dengan upaya untuk memberikan kemudahan bagi pengadaan tanah untuk investasi dan proyek-proyek strategis nasional (PSN).

Agraria

Selasa, 24 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, lewat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 yang diusulkan DPR RI, mendapat kecaman masyarakat sipil, dan dianggap sebagai pengingkaran konstitusi. Sebab UUPA merupakan salah satu landasan hukum rakyat atas tanah dan kekayaan agraria yang dijamin oleh konstitusi.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melihat usulan revisi tersebut erat kaitannya dengan upaya memuluskan rencana pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi pengadaan tanah untuk investasi dan proyek-proyek strategis nasional (PSN).

“Hal ini juga berkaitan erat dengan lahirnya UU (Undang-Undang) Cipta Kerja, yang telah memangkas hak-hak masyarakat atas tanah,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, dalam sebuah pernyataan, Jumat (20/12/2024).

Dewi menjelaskan, revisi UUPA 1960 merupakan upaya untuk menghilangkan landasan hukum rakyat atas tanah dan kekayaan agraria yang telah dijamin oleh konstitusi. KPA, lanjut Dewi, juga menganggap revisi ini sebagai upaya untuk mengubah mekanisme penerbitan dan penertiban HGU/HGB agar selaras dengan UU Cipta Kerja. Seperti diketahui, UU Cipta Kerja telah memberi kemudahan dan menghapus sanksi (pencabutan) hak atas tanah bagi korporasi yang terbukti melakukan pelanggaran.

Sejumlah Petani, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Seripak Petani pasundan (SPP) melakukan aksi demonstrasi pengusutan korupsi agraria di KPK. Foto: KPA

“Revisi UUPA ini juga upaya untuk memaksakan HPL (hak pengelolaan) sebagai hak baru untuk mengikuti logika dari UU Cipta Kerja. Hal ini tentunya bertentangan dengan UUPA 1960 yang tidak mengenal HPL sebagai hak,” ujar Dewi.

Atas situasi tersebut, KPA menyatakan bahwa upaya revisi UUPA sebagai bentuk pengingkaran penyelenggaraan negara atas amanat konstitusi dan akan mencerabut kedaulatan rakyat dan bangsa atas kekayaan agraria. KPA dengan tegas menolak upaya revisi UUPA sekaligus mendesak DPR RI mengeluarkan usulan revisi tersebut dari Prolegnas 2025-2029.

“Mendesak pemerintah dan DPR RI mempercepat penyelesaian konflik agraria, penertiban tanah terlantar, dan redistribusi tanah kepada rakyat untuk mengurangi ketimpangan sosial di Indonesia,” kata Dewi.

KPA, sambung Dewi, menuntut pemerintah dan DPR RI menempatkan agenda reforma agraria sebagai basis utama swasembada pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan industri nasional. Terakhir, KPA juga mendesak pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang reforma agraria, sebagai landasan hukum pelaksanaan reforma agraria yang selaras dengan konstitusi dan UUPA 1960.

“Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Agar menjadi perhatian bersama dan dapat menjadi masukan bagi DPR RI dan Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk tetap menjaga cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi terhadap kekayaan agraria nasional,” ucap Dewi.

Reforma agraria adalah kewajiban konstitusi

Dewi menjelaskan, reforma agraria adalah kewajiban konstitusi, sebab ia merupakan amanat dari cita-cita kemerdekaan nasional. Sebagai upaya untuk meneguhkan kembali hubungan yang luhur dan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah-airnya. Hubungan yang telah terkoyak-koyak akibat kolonialisasi yang telah berlangsung selama tiga setengah abad.

Di berbagai negara belahan dunia manapun, lanjut Dewi, terutama negara-negara yang baru merdeka, reforma agraria adalah agenda pokok untuk mengikis habis sisa-sisa kolonialisme dan sebagai peta jalan pembangunan nasional.

Di Indonesia, agenda reforma agraria tertuang jelas dalam Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Terjemahan langsung dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD 1945) yang mengamanatkan bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kelahirannya, imbuh Dewi, juga menandai berakhirnya periode panjang kolonialisme agraria melalui Agrarische Wet 1870. Alat penghisapan rakyat dan tanah air Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang agraria.

Sebagai UU payung agraria nasional, proses penyusunannya mencapai 12 tahun, karena dilakukan dengan prinsip-prinsip kehati-hatian. Melibatkan berbagai pakar, akademisi dan kelompok sosial.

Menurut Dewi, para pendiri bangsa Indonesia menyadari betul, bahwa UUPA 1960 merupakan panduan dalam mengelola kekayaan agraria secara berkeadilan, menjadi jalan kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang bersendikan pada kehidupan agraris.

“Lebih jauh, para pendiri bangsa ini menempatkan agenda reforma agraria sebagai prasyarat utama dalam membangun industri nasional, kedaulatan pangan dan energi, serta fondasi pembangunan nasional yang berprinsip kerakyatan agar tercipta kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat,” tutur Dewi.