LIPUTAN KHUSUS:

Butuh Strategi Transisi untuk Membangun Energi Terbarukan: IESR


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh panggang dari api, kata Direktur Eksekutif IESR.

Energi

Minggu, 17 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana pembangunan 75 Gigawatt (GW) pembangkit energi terbarukan oleh PT PLN, sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi 2060, perlu disertai strategi pengurangan pembangkit listrik batu bara. Soalnya, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), tanpa pengurangan pembangkit batu bara, rencana tersebut belum sepenuhnya selaras dengan target Persetujuan Paris dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C yang menuntut transisi energi terbarukan yang lebih agresif.

Di perhelatan COP28 yang digelar di Dubai, Uni Emirate Arab, Indonesia telah menyepakati keputusan COP untuk mencapai target pembatasan laju kenaikan temperatur dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada 2030. IESR menilai persetujuan ini harusnya dituangkan dalam target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dan aksi yang nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris. Untuk itu, menurutnya, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai dengan strategi mengurangi bertahap (phase-down) dan penghapusan bertahap (phase-out) PLTU batu bara paling lambat 2045, agar selaras dengan target pembatasan kenaikan temperatur 1,5 C. IESR menilai kombinasi langkah ini akan krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan dekarbonisasi sektor kelistrikan di 2050.

“Selama ini, implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Walaupun rencana besar sering kali diumumkan, IESR mencatat bahwa implementasinya masih jauh dari target yang dicanangkan. İni terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025,” kata Fabby, Kamis (14/11/2024).

Gambar udara PLTS hibrida di Nusa Penida, Bali. Dok PLN

Fabby mendesak agar pemerintah tidak hanya menyampaikan target fantastis di forum internasional, tetapi juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan. Dengan demikian, target yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai dan bukan sekadar wacana.

Tak hanya itu, IESR juga mendorong Indonesia untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya yang paling murah dan dengan keandalan pasokan yang optimal dan teknologi yang handal. Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi, IESR mengungkapkan rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus memperhatikan kesiapan institusi, kesiapan dan kehandalan teknologi dan biaya investasi, biaya sosial serta risiko lainnya.

“Berdasarkan perhitungan IESR, dengan elektrifikasi yang masif dan akselerasi energi terbarukan yang lebih cepat dibangun, murah, dan rendah risiko keterlambatan, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin. Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045,” ujar Deon.

IESR berharap agar pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki pengaruh dalam sektor strategis, untuk menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif. Strategi ini tidak hanya sekadar menyampaikan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan bahwa PLN dan pihak terkait mampu memenuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan.

Dalam hal pendanaan, investasi sebesar USD235 miliar harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan. IESR juga mendorong agar sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang jelas dan berpotensi memberikan dampak nyata dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia berencana membangun 100 GW pembangkit listrik dengan 75 persen kapasitas dari energi terbarukan hingga 2040, yang membutuhkan investasi mencapai USD 235 miliar atau Rp3.710 triliun (kurs Rp15.790,62/USD). Rencana ini disampaikan Ketua Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties (COP) ke-29, Hashim S Djojohadikusumo di Baku, Azerbaijan (12/11/2024).