LIPUTAN KHUSUS:

Petani Buta Huruf Tana Tidung Selamat dari Bui: Korban Adindo


Penulis : Aryo Bhawono

Adindo Hutani Lestari dan segelintir korporasi besar menguasai 70 persen Kabupaten Tana Tidung dengan luas total 4.828,58 kilometer persegi.

Hukum

Selasa, 15 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Putusan bebas terhadap petani Desa Buong Baru Kabupaten Tana Tidung, Ahmad bin Hanapi oleh Pengadilan Negeri Tanjung Selor menjadi kabar baik. Namun upaya kriminalisasi, masih mengancam para petani kabupaten itu.

Putusan bebas ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Budi Hermanto dalam persidangan pada Kamis pekan lalu (10/10/2024). Budi membacakan putusan No 83/Pid.Sus/2024/PN Tanjung Selor memerintah pembebasan Ahmad dari tahanan. Ahmad tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dikeluarkan dari Rumah Tahanan Nunukan.  

Ahmad mengaku bersyukur atas putusan bebas ini. Menurutnya putusan majelis hakim sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang selama ini tidak memiliki kebebasan untuk mengolah lahan miliknya karena secara sepihak dimasukkan ke dalam kawasan hutan dan diberikan izinnya kepada para pengusaha besar. 

“Nasib saya ini sebenarnya dialami banyak masyarakat di desa Buong Baru dan desa-desa sekitar yang setiap saat dapat dijadikan tersangka di atas tanahnya sendiri,” ungkap Ahmad melalui rilis pers. 

Petani Desa Buong Baru Kabupaten Tana Tidung, Ahmad bin Hanapi diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Foto: Istimewa

Sebelumnya Ahmad dilaporkan oleh PT Adindo Hutani Lestari (AHL) pada 25 Maret 2024 karena dianggap menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Padahal menurut penjelasannya tanah yang digarap merupakan warisan turun temurun dari kakeknya. 

Ia menggarap tanah keluarga seluas 3 hektare yang sudah memiliki bukti penguasaan tanah berupa SPPT yang diterbitkan tahun 1990. Sementara itu pihak perusahaan mengklaim bahwa tanah yang dikerjakan oleh Ahmad berada dalam Konsesi HTI yang telah mendapatkan izin dari pemerintah pada tahun 1996. 

“Ada saya punya SPPT sejak 1990, sementara PT AHL itu ada di KTT pada 1996. Kenapa saya dituduh menyerobot lahan perusahaan?" kata Ahmad.

Pengadilan berpihak pada Ahmad majelis beranggapan kawasan hutan di KTT belum pernah dilakukan penataan batas, pemetaan dan penetapannya secara hukum, sesuai dengan perintah dari Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan. Selain itu, PT AHL sebagai pemilik konsesi HTI juga tidak pernah melakukan musyawarah dengan masyarakat Desa Buong Baru yang telah memiliki tanah, tegalan, persawahan atau tanah garapan sebelum izin HTI diterbitkan. 

Seharusnya PT. AHL melaksanakan perintah untuk mengeluarkan tanah-tanah warga desa dari area HTI sesuai dictum keempat dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 88/kpts-II/1996 tentang pemberian HTI. 

Pengacara Ahmad, Asep Y. Firdaus, menyebutkan putusan hakim ini sangat penting karena majelis hakim setuju bahwa klaim hak atas tanah yang dimiliki oleh kliennya di kawasan hutan tetap dinyatakan sah karena sampai saat ini Kementerian LHK tidak pernah melakukan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan perintah Pasal 14 dan 15 UU Kehutanan.  

Artinya putusan ini memberi signal keras kepada para pemegang izin usaha kehutanan agar mengikuti aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan memenuhi kewajiban hukumnya dalam menjalankan usaha. 

“Putusan ini juga telah memberikan keadilan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini memperjuangkan hak atas tanahnya yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan secara sepihak,” kata dia.

Namun Asep menyayangkan ketidakadilan proses hukum yang dihadapi kliennya. Ahmad merupakan seorang petani buta huruf yang harus menghadapi proses hukum berliku. Ia ditangkap sehari setelah laporan PT AHL itu. Kliennya tidak mendapatkan pendampingan di proses penyidikan oleh kepolisian hingga sampai dihadirkan dalam pemeriksaan saksi dan ahli dari jaksa penuntut umum.

Padahal polisi menjeratnya dengan dugaan tindak pidana mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki Kawasan hutan secara tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan dan diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah.

KUHAP pasal 56 ayat (1) mengatur jika tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.

“Dan tidak disediakan bantuan hukum secara probono oleh negara. Ini masuk dalam keajaiban negara sesuai KUHAP,” kata dia melalui pesan kepada redaksi. 

Ia merasai risiko petani lain yang senasib dengan Ahmad cukup besar.

Aktivis Green of Borneo (GoB), Darwis, menyebutkan ketimpangan kepemilikan lahan sangat besar akibat ketidakjelasan kebijakan pemerintah soal kawasan hutan. Hingga saat ini korporasi besar menguasai 70 persen wilayah Kabupaten Tana Tidung. 

Korporasi tersebut adalah  PT Adindo Hutani Lestari, PT Intraca Wood, dan HGB milik PT Inhutani Lestari. Sampai-sampai beberapa infrastruktur pemerintah daerah, termasuk jalan, masuk dalam kawasan izin pinjam pakai kawasan hutan produksi. 

“Itu baru di sektor pemerintah. Nah, kalau petani itu seperti yang dialami oleh Ahmad. Dan rata-rata mereka tidak tahu harus bagaimana menghadapi konflik kepemilikan ini sehingga rentan dikriminalisasi,” ucap dia.