LIPUTAN KHUSUS:

Kamu Butuh Glowing, Gambut Perlu Wetting - Untuk Apa?


Penulis : Kennial Laia

Wetting pada lahan gambut bisa menjadi bagian penting dari upaya penurunan emisi Indonesia. Terungkap dalam riset di Kalimantan Barat.

Sawit

Minggu, 15 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Studi terbaru mengungkap pembasahan kembali lahan gambut yang rusak berhasil mengurangi emisi karbon dioksida di Kalimantan Barat. Upaya restorasi ini dinilai akan berdampak positif terhadap mitigasi perubahan iklim di Indonesia. 

Para peneliti menghitung, kontribusi penurunan emisi dari pembasahan (rewetting) gambut ini bisa mencapai 13% dari total potensi mitigasi solusi iklim alami. “Penelitian kami menemukan, intervensi rewetting melalui pembangunan sekat kanal di perkebunan sawit yang ditanam di lahan gambut ini mengurangi emisi gas karbondioksida secara signifikan dan tidak ada efek untuk emisi metana,” kata Nisa Novita, peneliti utama yang juga merupakan Manajer Senior Karbon Hutan dan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Jumat, 12 September 2024.

Peneliti melakukan riset di tiga area berbeda yakni perkebunan kelapa sawit yang telah dikeringkan, perkebunan kelapa sawit yang telah dibasahi kembali, serta hutan yang tumbuh kembali setelah mengalami kerusakan atau hutan sekunder di Kabupaten Mempawah dan Kubu Raya, Kalimantan Barat. 

Hasilnya, pembasahan lahan gambut mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) secara signifikan, sebesar 3,9 MtCO2 per tahun. Di sisi lain serapan metana tidak berbeda secara signifikan di lahan gambut yang dibasahi dibandingkan dengan lahan gambut yang diberikan. 

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Kalimantan Barat. Dok. YKAN

“Hasil ini menegaskan bahwa pembasahan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tropis merupakan solusi iklim alami yang efektif untuk mencapai target pengurangan emisi nasional,” tulis para peneliti. 

Menggunakan metode dynamic closed chamber–yang mengukur suhu tanah dan juga tinggi muka air tanah dan parameter iklim–para peneliti mengukur fluks atau aliran gas rumah kaca dalam bentuk karbondioksida dan metana. 

“Penelitian kami menemukan upaya rewetting melalui pembangunan sekat kanal dapat mengurangi laju dekomposisi gambut sebesar 34% dibandingkan dengan gambut yang tidak dibasahi,” ujar Ahli Utama Pusat pada Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho yang juga terlibat dalam penelitian tersebut. 

Menurut penelitian yang terbit di jurnal Science of the Total Environment pada 26 Agustus 2024 itu, lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi diperkirakan berkontribusi hingga 5% dari seluruh emisi GRK global yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Selama beberapa dasawarsa, lahan gambut tropis mengalami deforestasi karena alih fungsi lahan, terutama ke perkebunan kelapa sawit. Lahan gambut yang harusnya basah dikeringkan untuk perkebunan monokultur ini. Data terbaru mencatat, perkebunan kelapa sawit tumbuh drastis sebesar 145%, dari 7,25 juta hektare pada 2001 menjadi 17,77 juta hektare pada 2022. 

Lahan gambut menyimpan cadangan karbon yang besar. Ketika dikeringkan, lahan akan melepaskan emisi yang besar dan rentan terbakar. Estimasi dari data Sipongi KLHK menghitung, pelepasan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 182,7 juta setara karbon dioksida. Jika ditotal selama periode kebakaran 2018-2023, karhutla di Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 1,08 miliar Co2e. 

Menurut Wahyu, selama ini sudah dilakukan sejumlah riset tentang dampak pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi. Namun studi untuk mengukur penurunan emisi dari aktivitas ini belum banyak dilakukan. Sehingga, intervensi pembasahan kembali dari para pihak belum dapat dikuantifikasi pada kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (NDC).

Kebakaran di lahan gambut. Dok Alif Rizky/Greenpeace

Laporan Forest Reference Level (FREL) atau Tingkat Rujukan yang menunjukkan kinerja dari Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus (REDD+) juga belum memasukkan potensi mitigasi dari intervensi restorasi gambut karena data terbatas. 

Menurut para peneliti studi ini menjadi kabar baik bagi upaya Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi, khususnya dari upaya solusi iklim alami. Solusi iklim alam adalah serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam yang mencakup perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove.

“Memang lahan gambut yang masih utuh jauh lebih membawa manfaat iklim dibandingkan restorasi gambut yang terdegradasi.  Tapi upaya rewetting ini sudah terbukti bermanfaat. Sehingga diharapkan bisa berkontribusi untuk mencapai target pengurangan emisi nasional,” kata Nisa. 

Sejalan dengan Perjanjian Paris yang ingin menahan laju pemanasan global di 1.5 derajat Celcius, Indonesia memiliki target iklim yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen termutakhir, Enhanced NDC, pemerintah menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan bantuann finansial international. 

Hutan sekunder di lahan gambut Kalimantan Barat. Dok. YKAN