LIPUTAN KHUSUS:

China Menang Banyak dari Nikel Indonesia


Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

Ketergantungan ekspor Feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron) ke China menyebabkan Indonesia tidak menikmati nilai tambah yang besar.

SOROT

Rabu, 04 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Produksi nikel Indonesia beberapa tahun belakangan menjadi yang terbesar di dunia. Data US Geological Survey (USGS) mencatat sepanjang 2022 produksi nikel Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta metrik ton. Tapi sebagian besar nikel yang diproduksi Indonesia ini tidak untuk kebutuhan dalam negeri. 

Ekspor nikel Indonesia ke China tercatat selalu tinggi pada rentang 2017-2021, jauh melebihi ekspor ke negara lain. USGS mencatat total ekspor ke China pada rentang tahun itu mencapai 8.183.245 ton. Angka ini jauh di atas urutan kedua ekspor nikel dari Indonesia, yang diduduki India yang mencapai 367.492 ton, dan urutan ketiga yang diduduki Korea Selatan yang mencapai 261.289 ton. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan besarnya angka ekspor nikel ke China ini menunjukkan ketergantungan Indonesia.  “Jadi kondisinya sangat tidak sehat bagi ekonomi. Ketergantungan ekspor Feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron) ke China, menyebabkan Indonesia tidak menikmati nilai tambah yang besar,” kata dia. 

Dugaan Pelanggaran HAM Pekerja Cina di IMIP. Foto: Istimewa IMIP

Bahkan peningkatan ekspor nikel ke China terus terjadi, meski ada pembatasan ekspor bijih nikel dan negara lain mengalami penurunan. 

Hal ini tak lepas dari menjamurnya smelter-smelter China di penjuru provinsi kaya nikel seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Halmahera Tengah. 

Bagaimana monopoli China atas nikel Indonesia dan apa imbasnya bagi Indonesia, berikut petikan wawancara redaksi Betahita dengan Bhima:

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara. Foto: CELIOS

Betahita: Apakah dominasi China terkait ekspor nikel ini cukup sehat bagi Indonesia?  

Bhima Yudhistira: Cadangan nikel yang lebih dominan digunakan untuk stainless steel sebenarnya blunder bagi ekonomi. Harga nikel jatuh akibat kelebihan pasokan nikel kelas dua untuk stainless steel. Sementara nikel kelas satu yang ditujukan sebagai bahan baku baterai cadangannya diperkirakan 10-15 tahun lagi. Jadi kondisinya sangat tidak sehat bagi ekonomi. Ketergantungan ekspor Feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron) ke China, menyebabkan Indonesia tidak menikmati nilai tambah yang besar. 

Betahita: Apakah ada cara lain untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dari sumber daya nikel?

Bhima Yudhistira: Kalau mau serius memanfaatkan nikel domestik, pertama harus dikelola dengan bertanggung jawab secara lingkungan karena nikel premium terutama bahan baku baterai dibutuhkan untuk kendaraan listrik dan storage energi terbarukan. Artinya, tidak boleh ada izin PLTU di kawasan industri pengolahan nikel, sekaligus menutup PLTU yang tengah beroperasi untuk transisi ke energi terbarukan. Kedua, bangun rantai pasok pengolahan nikel kelas satu domestik untuk memenuhi permintaan energy saving storage energi terbarukan. Ketiga, selektif pilih investor yang bisa mengembangkan teknologi HPAL, dan hentikan berbagai fasilitas insentif yang dinikmati smelter RKEF (produksi feronikel dan NPI). Jangan semua investor masuk diberi karpet merah, padahal kondisi pengolahan nikel kelas dua sudah over supply.

Betahita: Data USGS 2017-2021 menunjukkan ekspor nikel Indonesia ke China selalu tertinggi dibandingkan ekspor ke negara lain. Apakah ini bisa disebut monopoli? 

Bhima Yudhistira: China bukan hanya memonopoli sebagai tujuan ekspor, tapi juga monopoli teknologi, pembiayaan dan perusahaan yang beroperasi di smelter nikel Indonesia. Kerugian tentu sangat besar bagi pelaku usaha domestik dan pemerintah, misalnya harga bijih nikel yang dijual ke smelter milik perusahaan China jauh lebih rendah dibandingkan harga internasional. Apalagi pasca-pelarangan ekspor bijih nikel, satu-satunya pembeli bijih nikel adalah perusahaan smelter yang didominasi China. Selanjutnya, berbagai insentif tax holiday dan tax allowance yang dinikmati perusahaan nikel China merugikan rasio pajak. 

Booming eksploitasi nikel besar-besaran di Indonesia hanya menguntungkan China, dan itu fakta yang tidak bisa dibantah. Maraknya pencemaran udara karena perusahaan China membangun PLTU kawasan industri atas nama hilirisasi nikel. Jadi China sedang memindahkan sampah industri kotornya ke Indonesia. China juga melakukan strategi mengirimkan banyak TKA di smelter nikel, dan proyek smelter nikel dilabeli PSN agar tidak diganggu. Pemda saja kan kesulitan melakukan pengawasan di kawasan industri smelter nikel. 

Tampak dari ketinggian kawasan industri nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Sulaw

Betahita: Siapa sebenarnya penikmat nikel Indonesia ini?

Bhima Yudhistira: Perusahaan China yang bergerak di smelter dan pengolahan lanjutan menikmati kue nilai tambah paling besar, Pemerintah China juga diuntungkan dari eksploitasi nikel di Indonesia karena mendukung cadangan devisa China, sekaligus mengurangi biaya kerusakan lingkungan di China. Selanjutnya adalah para oligarki perusahaan lokal dan oknum pejabat yang mendapatkan bagian dari sengkarut korupsi dan tata kelola nikel.

Betahita: Apakah bisa dibilang nikel Indonesia ini hanya akan memperkaya China? Atau apakah karena nikel Indonesia inilah yang membuat China menjadi raja nikel dunia?

Bhima Yudhistira: Karena sebagian besar produk olahan primer nikel China diperoleh dari Indonesia, kemudian diolah lanjutan menjadi produk jadi, maka China mengklaim sebagai raja nikel. Padahal nikelnya dari Indonesia. Perusahaan yang menikmati nikel dalam 10 tahun terakhir banyak perusahaan baru. Meskipun ada Vale ya, punya konsesi tambang sejak 1920-an.  

Betahita: Investasi China tak datang begitu saja, apa saja keringanan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik investor nikel ini? 

Bhima Yudhistira: Pembebasan bea keluar olahan nikel, insentif pajak dalam bentuk tax holiday dan tax allowance sampai 20 tahun, kawasan industri yang masuk dalam PSN, jaminan pembelian bijih nikel dari konsesi tambang. 

Betahita: Apa kira-kira kerugian yang akan dialami Indonesia di masa mendatang?

Bhima Yudhistira: Ke depan Indonesia akan kehabisan bahan baku nikel untuk transisi energi di dalam negeri. Begitu mau dorong kendaraan listrik, baterainya akan diimpor dengan volume lebih besar daripada saat ini. Sama halnya dengan pengembangan energi panel surya yang bersifat intermiten, butuh ESS (baterai penyimpan energi) dan ini akan bergantung pada impor. Ya paradoks, antara klaim cadangan nikel jumbo dengan pemenuhan kebutuhan domestik yang tidak nyambung. 

Betahita: Bisakah ore nikel ini disimpan, sebagai stok? Atau sebaliknya, tidak bisa disimpan dan harus segera dijual dan diolah?

Bhima Yudhistira: Ore nikel bisa disimpan dengan cara konservasi barang tambang. IUP tambangnya tidak diobral. Produksi dikendalikan. Insentif dikurangi sehingga tidak over eksploitasi. China melakukan hal yang sama dalam konteks konservasi energi dan mineral kritis. Artinya, begitu Indonesia sudah kehabisan stok mineral kritis, China punya cadangan yang disiapkan untuk antisipasi kekurangan stok.

Betahita: Beberapa tahun lalu, KPK menemukan adanya 5,1 juta ton nikel diekspor ilegal bijih nikel ke China. Mengapa itu bisa terjadi? 

Bhima Yudhistira: Penyebab bijih nikel ilegal diekspor keluar karena lemahnya pengawasan, permainan oknum di dalam perizinan ekspor, dan harga jual bijih nikel di pasar internasional jauh lebih tinggi dibanding menjual ke smelter lokal. 

Sektor tambang penuh dengan praktik korupsi. Celahnya cukup banyak, dan sejak perizinan dan pengawasan terpusat atau sentralisasi dalam rezim UU Cipta Kerja mengakibatkan pengawasan jadi lemah. Pemerintah pusat nya kewalahan untuk melakukan pengawasan. Pemda yang lebih paham lapangan, bisa dikatakan pasif karena banyak kewenangan dicabut. 

Betahita: Pemerintah selalu menggadang-gadang nikel terkait kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV). Apa saja sih jenis nikel yang diproduksi di Indonesia yang menjadi bahan pembuatan baterai kendaraan listrik?

Bhima Yudhistira: Nikel kelas satu yang jadi bahan baku baterai kendaraan listrik. Tapi dengan catatan, lithium untuk dicampur dengan nikel masih mengandalkan impor dari Australia. Indonesia per tahun impor 60.000 ton lithium dari Australia. Artinya, tidak lantas punya cadangan nikel kelas 1 lalu bisa jadi tempat produksi baterai terbesar. Itu cuma mitos.

Betahita: Berapa banyak smelter nikel di Indonesia yang bisa membuat bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik?

Bhima Yudhistira: Yang punya teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) masih sedikit hanya ada 4 perusahaan yang bergerak di pengolahan HPAL untuk produksi nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik. 

Betahita: Akan bertahan lama era EV berbahan nikel ini? 

Bhima Yudhistira: Saya memperkirakan umurnya tidak akan lebih dari 5-7 tahun. Penemuan teknologi pengganti nikel untuk bahan baku baterai seperti LFP (Lithium Ferro Phosphate), hingga Sodium berpotensi besar membuat nikel tidak lagi menjadi bahan baku utama. Teknologi makin canggih, dulu LFP diragukan karena jarak tempuh nya tidak sejauh baterai nikel. Tapi sekarang LFP bahkan di beberapa produsen otomotif dianggap lebih superior, dan lebih ramah lingkungan. 

Betahita: Dengan cadangan nikel tersisa, dan smelter pengolah bahan baku baterai kendaraan listrik, bisakan Indonesia menjadi pemain utama di bisnis kendaraan listrik?

Bhima Yudhistira: Diragukan Indonesia jadi pemain utama. Kalau dengan asumsi eksploitasi nikel seperti saat ini, Indonesia bisa terancam impor bijih nikel. Ancaman ini sudah terjadi, beberapa waktu lalu ada perusahaan smelter Indonesia yang mengimpor bijih nikel dari Filipina. 

Betahita: Apakah hilirisasi nikel ini menguntungkan bagi daerah penghasil nikel sendiri, termasuk masyarakatnya? 

Bhima Yudhistira: Daerah penghasil nikel hanya mendapat bagi hasil yang tidak adil. Misalnya soal pajak kan banyak masuk ke kantong pemerintah pusat. Sementara pemda hanya mendapat bagian kecil, salah satunya pajak penerangan jalan, dan PBB (pajak bumi bangunan) di kawasan industri. Kalaupun ada CSR dari perusahaan smelter nikel jumlahnya tidak signifikan, bahkan beberapa kasus timbul masalah. Perusahaan membangun rumah sakit, tapi peralatan hingga pengelolaan diberikan ke Pemda. Padahal kas Pemda terbatas.