LIPUTAN KHUSUS:
Indonesia Tanah Nikel China
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Aryo Bhawono
China menang banyak atas investasi smelter nikel di Indonesia.
SOROT
Senin, 02 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Baso Mengi merasa putus asa melihat sungai yang mengalir di kampungnya, di Desa Pongian, Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng). Air sungai yang dulunya jernih itu kini berubah warna menjadi coklat pekat, terutama saat hujan deras datang.
"Kalaupun enggak hujan, air tetap tidak bagus karena berbau. Air sungai itu sudah tercampur dengan material ore nikel," kata Baso Mengi, 13 Juni 2024.
Air Sungai Pongian ini, lanjut Baso, sebelumnya biasa dimanfaatkan warga desanya yang berjumlah 416 kepala keluarga (KK) untuk kebutuhan domestik, seperti sumber air minum, mencuci pakaian, dan untuk ritual adat. Tapi kini untuk minum ternak pun sudah tak layak.
"Sangat resah, dulu sebelum ada tambang digunakan bahkan untuk air minum. Setelah adanya tambang, yang dulunya meski hujan tidak terjadi seperti itu, sekarang hujan satu jam langsung merah," ujarnya.
Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Desa Towara, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Sulteng. Arif, warga setempat mengungkapkan, sejak tambang dan smelter nikel beroperasi, kampungnya memang semakin ramai, pelaku usaha semakin banyak dan pendapatan ekonomi warga bertambah.
Tetapi itu semua dibarengi dengan perubahan lingkungan yang signifikan. Sampah menjamur di mana-mana, hutan di desanya semakin gundul, pemukiman warga dihujani debu tambang, dan sumber air tercemar.
Kondisi tersebut tak mengherankan, sebab menurut Arif, lokasi aktivitas pertambangan nikel dengan pemukiman warga hanya berjarak sekitar 1 kilometer (km) saja, dan kurang lebih 500 meter dari Jalan Trans Sulawesi. Sedangkan jarak antara smelter nikel dengan pemukiman warga sekitar 2 km.
"Sebagian besar warga pasrah, dan menyesuaikan diri. Hanya sebagian kecil warga yang berani menyampaikan atau mengekspresikan keluhan," kata Arif, Kamis (30/8/2024).
Demam nikel merupakan biang di balik keruhnya air sungai desa mereka. Tambang menjamur sejak pembangunan smelter digeber oleh pemerintah. Desa tempat Baso dan Arif juga terkepung konsesi tambang.
Tambang dan smelter menjamur
Demam nikel ini bermula semenjak pemerintah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM No 25 Tahun 2018 yang melarang ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen.
Tambang pun menjamur setelah investasi asing, terutama dari China, membangun smelter nikel di empat provinsi kaya nikel, termasuk provinsi tempat Baso dan Arif tinggal, Sulteng. Tiga provinsi lainnya adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.
Indonesia memang kaya nikel (Ni), bahkan dianggap sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Badan Geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), mencatat, pada 2023, sumber daya bijih nikel di Indonesia mencapai 18,6 miliar wet metric ton (wmt) dengan cadangan sebesar 5,3 miliar wmt. Sedangkan sumber daya logam nikel sebesar 158 juta ton, dengan cadangan 56,1 juta ton.
Beberapa sumber menyebutkan, permintaan global terhadap nikel telah meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 10%, dari 2,44 juta ton pada 2019 menjadi 3,61 juta ton pada 2023 (Statista, 2022). Sejalan dengan pertumbuhan ini, Indonesia terus meningkatkan produksi nikel tahunan nasional dari 0,2 juta ton pada 2016 menjadi 0,76 juta ton pada 2020, setara dengan 30% volume produksi global (MEMR, 2021).
Sementara itu, menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat United States Geological Survey (USGS), total produksi nikel Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau menyumbang 48,48% dari total produksi nikel global sepanjang 2022, menjadikan Indonesia sebagai penghasil nikel nomor satu di dunia. Nikel diproduksi menjadi 3 produk utama, yakni feronikel (FeNi), nickel pig iron (NPI), dan nickel matte.
Dalam laporannya, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dan Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut, berdasarkan pemanfaatan cadangan yang tersedia saat ini, Badan Geologi Kementerian ESDM memperkirakan total umur tambang limonite (0,8-1,5%Ni, kaya besi) adalah 34 tahun dan saprolite (1,5-3%Ni, dengan kandungan 0,1-0,2%Co yang dapat diekstraksi melalui proses kimia) adalah 15 tahun.
Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2023, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Indonesia sebanyak 300 unit dan 3 unit Kontrak Karya (KK) nikel. Para pemegang IUP dan KK ini menggali nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, untuk kemudian dijual ke puluhan smelter yang beroperasi di Indonesia.
Auriga Nusantara mencatat, ada sekitar 71 smelter atau fasilitas pengolahan pirometalurgi dan hidrometalurgi nikel yang beroperasi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Jawa. smelter-smelter ini memiliki total output capacity sebesar 22,9 juta ton berbagai jenis olahan nikel.
Beberapa smelter dengan output capacity terbesar di antaranya, PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan output capacity sebesar 3 juta ton jenis NPI (10-12% Ni), PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng), sebesar 2 juta ton jenis NPI (10-12% Ni), dan Harita Group di Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut), sebesar 1,3 juta ton jenis NPI (10.5% Ni).
Nikel Indonesia dalam kuasa China
Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.
Peneliti Auriga Nusantara, Ki Bagus Hadikusumo, menyebut banyak smelter yang dibangun di Indonesia terindikasi milik investor China, termasuk smelter dengan produksi terbesar. Smelter yang berada di kampung Arif, salah satunya.
Smelter-smelter milik China tersebut di antaranya PT OSS dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe-Sulteng, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP)/PT Baoshuo Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) di Morowali-Sulteng, PT GNI di Morowali Utara-Sulteng, dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)/PT Weda Bay Nickel) di Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut).
Ki Bagus menilai menjamurnya smelter nikel di Indonesia ini menjadi salah satu pemicu melonjaknya produksi nikel secara drastis di Indonesia. Pengadaan dan pengoperasian sebanyak mungkin smelter, inilah yang dikenal dengan hilirisasi yang kerap didengungkan Pemerintah Indonesia.
Namun, lanjut Ki Bagus, hampir seluruh nikel yang diproduksi Indonesia ini ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Nikel-nikel tersebut ditambang dan diproses setengah jadi demi pemenuhan kebutuhan pasar di luar Indonesia. Selain memiliki banyak smelter di Indonesia, China juga hampir memonopoli ekspor nikel Indonesia.
"93 persen atau sebesar sekitar 8.183.245 ton ekspor feronikel (FeNi) Indonesia ditujukan ke China sepanjang 2017-2021. Pada 2021 sendiri sebesar sekitar 3.116.970 ton," kata Ki Bagus.
China bukan hanya menjadi negara tujuan ekspor legal, tetapi juga ilegal. Beberapa tahun lalu, berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pemerintah Indonesia diperkirakan mengalami kerugian atas terjadinya ekspor ilegal bijih nikel ke China, saat larangan ekspor bijih nikel Indonesia diberlakukan. Sejak Januari 2020 hingga Juni 2022, sekitar 5.318.087.941 ton bijih nikel diekspor secara ilegal ke China.
Sejak 2012, kata Ki Bagus, peningkatan konsumsi nikel secara signifikan sejatinya hanya terjadi di China. Peningkatan terjadi di Amerika, Eropa dan Afrika hanya sejak 2021. Tapi, di saat yang sama konsumsi di negara Asia, selain China, justru menurun.
Ki Bagus melanjutkan, eksistensi China dalam konstelasi nikel global ternyata tidak sebatas sebagai pasar utama, tapi juga dominasi korporasinya sejak paruh kedua dekade 2010. Dua perusahaan nikel terbesar dunia saat ini, Tsingshan Group dan Delong Group, bahkan belum tercatat berproduksi, secara berturut, pada 2015 dan 2017. Tapi, sejak 2018, empat perusahaan nikel terbesar China, yakni Tsingshan Group, Delong Group, Jinchuan, dan Shandong Xinhai, menguasai 35% perdagangan nikel global.
Dominasi korporasi China ini, sambung Ki Bagus, juga terlihat dari penguasaan industri nikel di dalam negeri yang bahkan secara vulgar dipertontonkan dengan kehadiran korporasi berbahasa China, seperti Tsingshan, Huayou, Ang & Fang, dan sebagainya.
"Tak berlebihan bila disebut bahwa eksploitasi nikel Indonesia sejak booming kendaraan listrik sejauh ini lebih melayani kepentingan dan dominasi China dalam industri nikel," kata Ki Bagus.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan ada korelasi erat antara banyaknya perusahaan smelter China terhadap dominasi ekspor nikel Indonesia ke negara itu. Mereka bukan menguasai tujuan ekspor, tapi juga teknologi, pembiayaan dan perusahaan yang beroperasi di smelter nikel Indonesia.
Sebagian besar produk olahan primer nikel China diperoleh dari Indonesia. Mereka kemudian melakukan pengolahan lanjutan menjadi produk jadi, maka China menjadi raja nikel. Padahal nikelnya dari Indonesia.
“Booming eksploitasi nikel besar-besaran di Indonesia hanya menguntungkan China, dan itu fakta yang tidak bisa dibantah,” kata dia melalui jawaban tertulis.
China mengklaim sebagai raja nikel. Padahal nikelnya dari Indonesia.
Ia pun menduga, China juga melakukan strategi mengirimkan banyak tenaga kerja asing (TKA) di smelter nikel, dan proyek smelter nikel dilabeli Proyek Strategis Nasional (PSN) agar tidak diganggu. Pemerintah daerah saja, kata dia, kesulitan melakukan pengawasan di kawasan industri smelter nikel.
Kerugian justru dialami pelaku usaha domestik dan pemerintah, misalnya harga bijih nikel yang dijual ke smelter milik perusahaan China jauh lebih rendah dibandingkan harga internasional. Apalagi setelah pelarangan ekspor bijih nikel, satu-satunya pembeli bijih nikel adalah perusahaan smelter yang didominasi China.
China pun ‘menang banyak’ atas investasi smelter nikel di Indonesia. Mereka mendapatkan beberapa keringanan yang diberikan pemerintah Indonesia. Keringanan itu di antaranya pembebasan bea keluar olahan nikel, insentif pajak dalam bentuk tax holiday dan tax allowance sampai 20 tahun, kawasan industri yang masuk dalam PSN, hingga jaminan pembelian bijih nikel dari konsesi tambang.
“Selanjutnya, berbagai insentif tax holiday dan tax allowance yang dinikmati perusahaan nikel China justru merugikan rasio pajak,” ujarnya.
Penyebab industri mobil listrik China meningkat
Ki Bagus mengungkapkan, industri baja (stainless steel)--yang diolah dari feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI)--menjadi pengguna nikel terbanyak di dunia, mencapai 70% pada 2022. Tetapi, hadirnya penggunaan nikel untuk industri baterai sejak 2015 menjadi faktor penentu peningkatan konsumsi nikel global.
Itu terlihat dari peningkatan jumlah konsumsi global yang tidak jauh berbeda dari jumlah konsumsi industri baterai. Fenomena ini, kata Ki Bagus, sekaligus menandai hadirnya kendaraan listrik sebagai pengguna penting produk nikel. Dalam hal ini, nikel yang diproduksi Indonesia punya andil besar dalam perkembangan mobil listrik, terutama China.
Ki Bagus menjelaskan, penjualan mobil listrik di Indonesia terbilang masih kecil, tercatat terjual 125 unit pada 2020, 687 unit pada 2021, 10.327 unit pada 2022, dan 17.062 unit pada 2023. Secara global, konsumsi mobil listrik di Eropa dan Amerika Serikat meningkat secara konstan tahun demi tahun sejak 2016, akan tetapi peningkatan terbesar terjadi di China.
"Secara total penjualan mobil listrik di China pada rentang 2016-2023 mencakup 54 persen secara global," kata Ki Bagus.