LIPUTAN KHUSUS:

Kurang Gigi UU Konservasi bagi Perlindungan Orang Utan


Penulis : Kennial Laia

Habitat orang utan di luar kawasan konservasi harus segera dilindungi.

Konservasi

Rabu, 28 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dinilai belum cukup efektif melindungi satwa terancam punah dan kritis seperti orang utan. Regulasi baru ini merupakan revisi dari UU Nomor 5/1990.  

Peneliti Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi menyebut UU KSDAHE yang disahkan Juli lalu sebagai inisiatif pemerintah untuk melindungi orang utan yang ada di luar kawasan konservasi. Hal ini diatur dalam pasal 5A, pasal 8 ayat (3) dan (4), serta pasal 9 yang mengatur tentang penetapan area preservasi, termasuk kawasan hutan yang belum berstatus area konservasi. “Namun penetapan ini harus merujuk pada peta arahan yang belum diatur secara spesifik dalam undang-undang yang baru, yang dikhawatirkan akan memperpanjang proses penetapannya,” kata Riezcy. 

Ketentuan pidana dalam UU KSDAHE juga belum saklek mengatur hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar. Dalam konteks orang utan, menurut Riezcy, tidak ada kategorisasi jerat terhadap perbuatan pidana membunuh, menangkap, memburu, dan memperdagangkan orang utan. 

Sejumlah pasal lainnya juga dinilai problematik dan berpotensi mengganggu habitat orang utan. Pasal 26 ayat (2) dan pasal 34 ayat (3), misalnya, mengatur pemanfaatan jasa lingkungan untuk wisata alam, air dan energi air, panas matahari, angin, panas bumi, dan karbon. 

Togos, jantan alfa di Batang Toru. Spesies orangutan ini berada di ambang kepunahan karena proyek bendungan PLTA. Kredit Foto: Andrew Walmsley

“Aturan ini dikhawatirkan menimbulkan misinterpretasi bagi sebagian orang dan melanggengkan sejumlah proyek yang sudah dibangun, seperti di ekosistem Batang Toru,” kata Riezcy. 

Ekosistem Batang Toru (yang disebut masyarakat lokal Harangan Tapanuli) di Kabupaten Tapanuli, Sumatra Utara, merupakan rumah terakhir bagi orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Spesies ini baru ditemukan pada 2017, dan diperkirakan tersisa sekitar 800 individu di alam liar. 

Namun habitat mereka itu terancam oleh berbagai proyek milik pemerintah maupun swasta. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Utara, Rianda Purba, saat ini area tersebut digempur oleh berbagai ekspansi seperti logging, hutan tanaman industri, dan pertambangan. Aktivitas ilegal seperti penebangan kayu juga terjadi. 

Di antaranya adalah proyek strategis nasional PLTA Batang Toru, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla, dan tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources. Yang terakhir, kata Rianda, tumpang tindih dengan habitat orang utan. 

“Habitat orang utan tapanuli sedang dalam kondisi yang sangat terancam, karena adanya izin-izin proyek yang masuk, termasuk PLTA Batang Toru yang dijadikan PSN, sehingga memotong habitat yang mempersempit ruang gerak orang utan,” kata Rianda. 

Ancaman ini terus terjadi. Menurut Rianda, penebangan masif di habitat orang utan di area Dolok Sibualbuali, misalnya, terus terjadi beberapa bulan terakhir sehingga menghancurkan empat sarang orang utan. “Area ini sebenarnya kawasan hutan dengan kanopi rapat. Tetapi malah jadi kawasan area penggunaan lain atau APL,” kata Rianda. 

"Area ini sebenarnya kawasan hutan dengan kanopi rapat. Tetapi malah jadi kawasan area penggunaan lain atau APL."

“Sementara itu di lapangan saat ini pembangunan (PLTA Batang Toru) terus berlanjut, yang memutus koridor orang utan, sehingga semakin teralienasi,” kata Rianda. 

Rianda menilai UU KSDAHE juga belum menagtur soal ancaman di Batang Toru, termasuk tata kelolanya. “Pemerintah harus melakukan penegakan hukum serta kembali memantau izin-izin proyek di habitat orang utan tapanuli,” ujarnya. 

“Ekosistem Batang Toru merupakan kawasan yang rawan bencana alam sehingga perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap izin-izin industri ekstraktif di kawasan tersebut. Kehadiran proyek-proyek ini dikhawatirkan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan dan meningkatkan risiko bencana ekologis akibat pembukaan lahan yang luas,” kata Rianda. 

Ancaman deforestasi di habitat orang utan

Deforestasi turut menjadi penyumbang besar berkurangnya habitat orang utan sumatra (Pongo abelii). Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh, misalnya, menjadi rumah bagi sekitar 1.400 individu orang utan. Namun wilayah ini terus mengalami perambahan. 

Foto udara menunjukkan alat berat yang membuka lahan di ekosistem gambut Babahrot, Aceh Barat Daya,

Menurut GIS Officer Yayasan HAkA Alfarazi Kamal, pembukaan hutan ini banyak terjadi di kawasan tersebut. Meski trennya menurun pada periode 2019-2023, deforestasi di sejumlah area penting justru meningkat. 

“Hampir 72% deforestasi di Ekosistem Leuser terjadi di dalam kawasan hutan, dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebagai ancaman utama, sehingga banyak masyarakat yang ikut merambah hutan,” kata Alfarazi. 

Salah satunya terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang merupakan habitat alami orang utan, yang mengalami lonjakan deforestasi pada tahun 2022-2023. “Kondisi ini memprihatinkan. Jika ini berlanjut, keberadaan orang utan dan satwa lain di kawasan ini akan sangat terancam,” ujarnya. 

Alfarazi juga menekankan pentingnya untuk menjaga habitat yang tersisa, memperbaiki habitat yang rusak, dan menghentikan kerusakan lebih lanjut. Di Ekosistem Leuser, upaya yang dapat dilakukan termasuk menghubungkan koridor, mencegah alih fungsi lahan, serta menyelesaikan keterlanjuran izin di dalam kawasan hutan.

Penyempitan habitat ini berdampak pada turunnya jumlah orang utan. Menurut Manajer Program Penyelamatan Satwa Yayasan Palung, Sulidra Fredrick, hal ini terjadi di lanskap Kubu Raya, Kalimantan Barat, dimana populasi orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus) menurun sejak 2016. Pemicunya termasuk aktivitas konsesi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. 

Orang utan juga masih dianggap hama oleh masyarakat sekitar sehingga kerap kali terjadi konflik. Namun hal ini masih bisa diatasi melalui pendampingan hutan desa, seperti di wilayah hutan adat dampingan organisasi tersebut di Kubu Raya. 

Namun, ada pemicu-pemicu yang tak bisa dikendalikan. Hutan adat dampingan tersebut, misalnya, berbatasan langsung dengan konsesi perusahaan hutan tanaman industri PT Mayawana Persada. Perusahaan ini diduga menebang hutan alam seluas 33 ribu hektare di provinsi tersebut selama periode 2021-2023. “Ini menjadi tantangan besar perlindungan mereka,” kata Fredrick. 

Mengutip data International Union for Conservation of Nature (IUCN), Fredrick menyebut konsesi PT Mayawana Persada berada di dalam dan sekitar orang hutan.  “Jika hutan di dalam konsesi PT MP yang menjadi habitat orangutan ini ditebang dan perusahaan tidak mau menyediakan area dengan nilai konservati tinggi (HCV) yang layak, maka bisa terjadi migrasi lokal. Salah satunya ke hutan desa, sehingga bisa menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal,” ujarnya.