LIPUTAN KHUSUS:

Ketika Gen Z dan Alpa jadi Manula, Suhu Indonesia Bisa Naik 3,5 C


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Anak muda paling terpapar dampak perubahan iklim sekaligus yang paling bertanggung jawab untuk melakukan segala tindakan.

Perubahan Iklim

Jumat, 23 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan kenaikan suhu rata-rata global 1,45° C dan perubahan iklim adalah hal yang nyata. Dalam hal ini, anak muda menjadi kelompok yang akan paling terdampak.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia. Maka dari itu, seluruh generasi harus saling berkolaborasi untuk menahan laju perubahan iklim.

"Generasi Z dan Alpha akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Karenanya, saya yakin anak-anak muda yang jumlahnya mendominasi penduduk Indonesia bisa memberikan dampak signifikan terhadap aksi perubahan iklim," kata Dwikorita dalam Festival Aksi Iklim dan Workshop Iklim Terapan, di Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Dwikorita menjelaskan, perubahan iklim global bukanlah kabar bohong (hoax) dan prediksi untuk masa depan, melainkan realitas yang dihadapi miliaran jiwa penduduk Bumi. Karenanya, fenomena tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah persoalan sepele.

Dua dewasa dan satu anak-anak berjalan di tengah air pasca banjir besar melanda Pakistan Juni lalu. Bencana tersebut dipicu curah hujan ekstrem dan mencairnya gletser usai gelombang panas parah, yang semuanya terhubung dengan perubahan iklim. Dok EPA

Lebih lanjut, Dwikorita menerangkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.

Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement Tahun 2015, bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.

BMKG sendiri, lanjut Dwikorita, memproyeksi suhu udara di Indonesia akan melompat naik hingga 3,5° C dibandingkan zaman pra industri di 2100 mendatang apabila aksi mitigasi iklim gagal dilakukan.

"Sementara Badan Meteorologi Dunia (WMO), menyebut bahwa tahun 2050 mendatang, dalam skenario terburuk maka negara-negara di dunia akan menghadapi tidak hanya bencana hidrometeorologi, namun juga kelangkaan air yang berakibat pada krisis pangan. Jika melihat tahun tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Generasi Z dan Alpha-lah yang akan paling merasakan," katanya

Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan, menambahkan bahwa perubahan iklim akan terus terjadi dalam beberapa dekade mendatang apabila tidak dilakukan aksi mitigasi. Dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh perubahan iklim menuntut perlunya respon global untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi. Dalam World Economic Forum 2023, lanjut dia, disampaikan juga bahwa kegagalan mitigasi dan adaptasi iklim merupakan risiko global terbesar dunia.

Menurutnya, kunci keberhasilan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim itu ada pada upaya yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kesadaran dan pengetahuan yang mereka miliki. Yang menjadi tantangan, tambah Ardhasena, saat ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman iklim dan perubahan iklim di kalangan publik, terutama generasi muda.

Generasi milenial dan gen-Z, lanjut Ardhasena, adalah generasi yang akan paling terpapar dampak perubahan iklim dalam satu atau dua dekade mendatang, sekaligus yang paling bertanggung jawab untuk melakukan segala tindakan dan upaya untuk menanggulanginya. Tidak hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga mendorong aksi-aksi nyata dalam melakukan penanggulangan perubahan iklim melalui aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim.

"Karenanya, diperlukan kesadaran dan tindakan yang masif dalam berbagai tingkatan yang disertai dengan aksi iklim yang nyata dan terukur dalam mewujudkan target Perjanjian Paris, yaitu membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra industri, dan harus ada aksi nyata di lapangan yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goal (SDG), terutama pada SDG ke-13, climate action," ucap Ardhasena.