LIPUTAN KHUSUS:

Menoken Mambesak: Merawat Buah Pikir Mambesak akan Tanah Papua


Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA

Semua lagu yang dibawakan Grup Musik Mambesak dari volume satu dan empat isinya hanya dua: manusia dan lingkungan.

Konservasi

Sabtu, 10 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Komunitas Noken Mamta dan The Samdhana Institute menggelar kegiatan Menoken Mambesak, kegiatan menoken sekaligus merayakan hari jadi Grup Musik legendaris Papua, Mambesak, yang ke-46. Kegiatan yang berlangsung dari 5-9 Agustus ini berkolaborasi dengan UPT Museum Loka Budaya Uncen, Balai Pelestarian Kebudayaan Papua, Oyandi, Insos.com, Papuan Voices, Yayasan Anak Dusun Papua, Folks Papua dan Yoikatra.

Mambesak (burung cenderawasih; bahasa Biak) adalah grup musisi tradisional rakyat Papua yang dibentuk pada 5 Agustus 1978 di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Pendirinya di antaranya Arnold Ap, Sam Kapissa, Yoel Kafiar, Eddy Mofu, Martiny Sawaki, dan Thontje Wolas Krenak. Ide pembentukan grup musisi ini adalah untuk mengangkat musik daerah Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tarian rakyat, dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan peralatan ukulele (gitar kecil), Tifa (kendang khas Papua), bas, dan gitar. Lagu-lagu Mambesak dipopulerkan oleh siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra di Studio RRI Nusantara V Jayapura setiap hari Minggu siang (Wikipedia).

Mambesak mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan permasalahan di Papua, seperti masalah lingkungan hidup akibat industri pertambangan. Pada tahun 1984, Arnold Ap, tewas ditembak aparat  (Tirto.id). Mambesak juga menginspirasi pembentukan grup musik Papua lainnya.

Salah satu pendiri Mambesak, Thontje Wolas Kresnak mengatakan apa yang ditanam oleh Mambesak dahulu, kini sedang bertumbuh di usia 46 tahun dan dilanjutkan oleh generasi sekarang. "Apa yang dibuat oleh Mambesak itu jangan sampai hilang, sebab Mambesak lahir itu untuk memberitahu kepada Negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bahwa Papua bagian dari Indonesia yang juga punya musik, 250 suku di Papua, dan punya tujuh wilayah budaya. Lagu yang dinyanyikan Mambesak itu memberikan inspirasi dan semangat bagi generasi muda Papua," ujarnya.

Thontje Wolas Kresnak, pendiri Grup Musik Mambesak Papua dalam acara Menoken Mambesak 2024.

“Kami menyanyi supaya Republik tahu dan ikut menyanyikan lagu dari Papua. Undang Undang Dasar 1945 mengatakan puncak-puncak kebudayaan nasional sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya lagu Yamko Rambe Yamko dan Apuse yang dikenal pada saat integrasi Papua, lebih dari itu kami punya masih lebih banyak dan ingin menginspirasi generasi muda,” katanya.

Dia berharap, apa yang sudah dilakukan oleh Mambesak dilanjutkan oleh generasi muda Papua. Harapan berikutnya, negara harus hadir dan ikut memikirkan para budayawan dan seniman. Dia mengaku tahu bahwa Kemendikbudristek sering memberikan penghargaan kepada seniman maupun budayawan, namun dia menilainya kurang cocok. Penghargaan semacam itu harus diberikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia kepada seniman, satu di antaranya Mambesak. “Mambesak tetap hidup, siapapun dari generasi ke generasi musik Mambesak tetap ada seperti di wilayah lain,” tambahnya.

Peringatan hari lahir Grup Musik Mambesak Papua ke-46.

Enrico Yori Kondologit, kurator dari Papua mengatakan, hari kelahiran Grup Mambesak dari tahun ke tahun selalu dirayakan dengan inisiatif penyelenggaraan bersama. Di tahun ini, The Samdhana Institute punya program Menoken dan Yayasan Anak Dusun Papua punya program masyarakat pribumi maka disepakati kolaborasi Menoken Mambesak. Noken, ujarnya, bukan hanya sebagai benda kebudayaan material tetapi noken memiliki nilai filosofi yang tinggi dalam kebudayaan Papua.

Filosofi menjaga tradisi, literasi, dan kebudayaan yang ada dalam Mambesak, ujar Enrico, diibaratkan seperti menoken. "Artinya kita sebenarnya sedang merajut kerja-kerja kebudayaan untuk tidak boleh kerja satu atau dua orang tapi kerja harus secara kolektif dan itu ide dasar yang sudah diletakkan oleh Mambesak dengan bukti dari 40 anggota Mambesak itu terdiri dari berbagai macam suku di tanah Papua dan semua lagu dikeluarkan mulai dari volume satu sampai empat itu dari berbagai macam daerah," kata dia. "Artinya kerja kebudayaan itu seyogianya kerja bersama. Tahun lalu kami punya tujuh penyelenggara di tahun ini bertambah hadirnya The Samdhana Institute. Kami berharap tahun-tahun berikutnya bertambah penyelenggara sehingga pengakuan terhadap ekspresi budaya itu lebih banyak dan itu yang kita inginkan,” katanya.

Enrico Kondologit menambahkan, pihaknya juga mengadakan beberapa agenda untuk memperkaya pikiran dan menetapkan bulan Agustus sebagai bulan budaya. “Dasar pemikirannya banyak, di antaranya tanggal lima Agustus adalah HUT Mambesak yang lahir pada 5 Agustus 1978 dan 9 Agustus adalah Hari Masyarakat Adat Internasional. Oleh karena itu, peluang kerja kita dari tanggal lima sampai sembilan itu lebih banyak yang terlibat karena kalau bicara masyarakat pribumi bukan hanya orang Papua, tapi semua masyarakat yang tinggal di Nusantara adalah bagian dari masyarakat pribumi,” ujarnya.

Enrico menambahkan, semua konten lagu yang dibawakan grup Mambesak dari volume satu dan empat itu isinya hanya dua: manusia dan lingkungan. Bayangkan dari 46 tahun lalu, Mambesak sudah membayangkan hutan Papua akan mengalami deforestasi dan masifnya pembangunan yang merusak lingkungan. Tak hanya itu, bahkan ada lagu tentang hutan Sagu yang sewaktu-waktu akan hilang. “Makanya mereka (Mambesak) ini sudah punya visi yaitu adalah kita menyanyi dahulu, kini, dan nanti. Karena mereka tahu dan sudah memperkirakan masa depan dengan masuknya transmigrasi, pembangunan, kebutuhan akan tanah, tak lupa juga mereka selalu menampilkan slogan Papua bukan tanah kosong dan tanah itu tidak bertambah yang bertambah itu manusia. Kebutuhan akan tanah itu semakin tinggi, maka ruang-ruang hidup termasuk di dalam Hak Asasi Manusia (HAM) terancam dan bukan saja secara fisik tapi terancam secara budaya seperti hilangnya lagu dan benda-benda kebudayaan,” ujarnya.

Staf Program The Samdhana Institute, Ambrosius Ruwindrijarto mengatakan Menoken itu adalah fraksis dari tas Noken, bagaimana nilai-nilai kelenturan, keterbukaan, merajut kebersamaan Noken itu disebarluaskan dan hidup di tengah masyarakat Papua dan Indonesia bahkan seluruh dunia. “Menoken itu menjadikan nilai-nilai Noken itu menjadi berkat bagi tanah Papua,’’ kata Ruwi.

Ruwi mengatakan, grup musisi Mambesak adalah kekayaan luar biasa dari orang Papua dengan budayanya, jati dirinya, dan aspirasinya. Mambesak sendiri telah lama menjadi berkat juga bagi tanah untuk menyuarakan dan memperkuat pelestarian lingkungan serta penguatan masyarakat adat Papua. “Semuanya itu akan sangat memperoleh inspirasi kekuatan budaya dalam hal ini diwakili Mambesak. Jadi kalau kita bicara Menoken Mambesak, artinya mari menyebarluaskan membagikan berkat berupa nilai-nilai budaya Papua ini dari kegembiraannya, pengetahuannya, musiknya, seninya. Semua orang tahu Mambesak dan merasa dirinya adalah Mambesak baik lagu dan sejarahnya itu hidup di hati semua orang Papua,” ujarnya.