LIPUTAN KHUSUS:

Warga Dairi Mangandung di Mahkamah Agung


Penulis : Aryo Bhawono

Mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses penerbitan dokumen kelayakan lingkungan hidup itu dan hidup mereka terancam tambang. Jejak rezim di Dairi, Sumatera Utara.

Tambang

Jumat, 09 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Warga Dairi mendesak Mahkamah Agung mencabut kelayakan lingkungan hidup PT Dairi Prima Mineral (DPM). Mereka menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses penerbitan dokumen kelayakan lingkungan hidup itu dan hidup mereka terancam tambang.

Desakan warga Dairi, Sumatera Utara, disampaikan melalui aksi teatrikal dan mangandung (meratap) di MA, Jakarta pada Selasa (6/8/2024). Mereka telah menempuh berbagai jalan untuk mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang seng. 

Mereka mengajukan kasasi terhadap putusan PTTUN Jakarta atas keabsahan dokumen Kelayakan Lingkungan PT DPM putusan No 265/B/LH/2023/PT.TUN.JKT. Sebelum putusan itu keluar, PTUN Jakarta menyebutkan dokumen itu tidak sah melalui putusan No  59/G/LH2023/PTUN.JKT. 

Salah seorang penggugat, Barisman Hasugian meminta majelis hakim agung mendengarkan permohonan masyarakat Dairi korban tambang PT DPM yang dirampas ruang hidupnya dan kini terancam keselamatannya. 

Warga Dairi menggelar aksi teatrikal mangandung meminta MA cabut izin lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Foto: Jatam

"Saya mewakili para penggugat, mendesak Majelis Hakim Mahkamah Agung RI yang mengadili dan menyidangkan perkara ini untuk membatalkan putusan PTTUN Jakarta dan menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Persetujuan Lingkungan PT DPM tidak sah," kata dia. 

Selama ini warga hanya ingin mempertahankan ruang pertanian sebagai sumber kehidupan dan menginginkan kehidupan yang sejahtera, jauh dari bayang-bayang ancaman tambang terhadap keselamatan para warga. 

Mentoria Situmorang, salah satu perwakilan warga Dairi berperan sebagai pangandung dalam aksi teatrikal menjelaskan kehidupan warga sudah melimpah. Kehadiran PT DPM ke kampungnya justru membawa marabahaya seperti seperti mulut terowongan tambang, gudang bahan peledak, dan bendungan limbah dekat rumah kami.

“Kami khawatir PT DPM membangun fasilitas bendungan limbah seluas 34 ha, dengan tinggi 30 meter yang terletak di Hulu desa dibangun di atas tanah yang tidak stabil, bagaimana jika bendungan limbah itu jebol dan mengubur kampung kami yang ada di hilir. Ini yang selalu kami andungkan (ratapi) dalam tiap-tiap aksi kami berharap para pengambil keputusan lebih memperhatikan hidup kami,” Kata Mentoria. 

Selama ini pemantauan Komnas Perempuan dan Komnas HAM pada 2023 merekomendasikan KLHK dan Kementerian ESDM untuk membatalkan proyek PT DPM karena memicu konflik sumber daya alam dan tata ruang, serta melanggar HAM. 

Kuasa hukum warga Dairi, Judianto Simanjuntak, yang juga mewakili Sekretariat Bersama Tolak Tambang menyatakan Dairi merupakan kawasan yang rawan gempa karena dilalui oleh tiga jalur patahan gempa yakni patahan Toru, Renun, dan Angkola. Kerawanan ini membuat Dairi tidak layak untuk ditambang karena peristiwa gempa dapat menjadi bencana yang membahayakan nyawa para warga di sekitar lokasi tambang. 

Steve Emerman, ahli hidrologi internasional dalam kajiannya terkait keberadaan PT DPM mengatakan bahwa rencana pertambangan yang diusulkan tidak tepat, karena berada di atas tanah yang tidak stabil dan lokasi gempa tertinggi di dunia. 

“PT DPM adalah tambang yang akan mengakibatkan bencana jika diizinkan untuk dilanjutkan,’’ ujarnya. 

Putusan PTUN Jakarta juga menyebutkan Kabupaten Dairi merupakan daerah rawan bencana sehingga tidak layak untuk ditambang. Selain itu, dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta menekankan Kecamatan Silima Pungga-Pungga sebagai kawasan lahan sawah fungsional yang tidak dapat beralih fungsi, ditinjau dari pengaturan tata ruang Kabupaten Dairi. 

Selama ini pun berdasarkan fakta penerbitan persetujuan lingkungan berupa dokumen kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan masyarakat yang terdampak secara langsung, sehingga PT DPM tidak menjalankan prosedur yang benar.